Rain, gadis paling gila yang pernah ada di dunia. Sulit membayangkan, bagaimana bisa ia mencintai hantu. Rain sadar, hal itu sangat aneh bahkan sangat gila. Namun, Rain tidak dapat menyangkal perasaannya.
Namun, ternyata ada sesuatu yang Rain lupakan. Sesuatu yang membuatnya harus melihat Ghio.
Lalu, apa fakta yang Rain lupakan? Dan, apakah perasaannya dapat dibenarkan? bisa kah Rain hidup bersama dengannya seperti hidup manusia pada umumnya?
Rain hanya bisa berharap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon H_L, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sosok di Rooftop
Seperti halnya perintah Asyama kemarin, hari ini Rain melakukan survei lokasi. Rain benar-benar menuruti ucapan kakaknya. Ia datang ke tempat tujuan tanpa motornya.
Rain belum masuk langsung ke dalam kontrakan kecil itu. Ia malah sibuk berbincang dengan beberapa penghuni komplek.
"Yang bener, Bu?" tanya Rain.
"Iya, nak Rain. Ibu dengar sendiri dengan telinga ibu. Itu sebabnya, satu bulan yang lalu, anak-anak gadis yang baru menempati kontrakan itu langsung pindah. Iya kan, nak Nelli?" Paruh baya itu menatap Nelli meminta persetujuan.
Gadis bernama Nelli itu mengangguk cepat. "Iya. Mbak kalo gak percaya, tanya semua penghuni komplek ini. Kami semua saksi ketika mereka berteriak histeris keluar dari rumah pas malam-malam. Mereka bilang rumah itu ada penghuninya. Besoknya mereka langsung pindah."
"Nak Rain, cari kontrakan yang lain aja. Jangan yang itu, bahaya!"
"E hemm!"
Dehaman keras membuat mereka menoleh terkejut. Termasuk Rain.
"Kalian jangan bicara sembarangan tentang kontrakan saya, ya!"
Inilah orang yang Rain tunggu-tunggu sejak tadi. Pemilik kontrakan.
"Kontrakan saya gak angker. Lagi pula, dimana-mana itu ada hantu. Nah, kamu Jumi." Pemilik kontrakan menunjuk ibu-ibu yang bercerita tadi. "Di samping kamu juga ada hantu."
Ibu Jumi melirik sampingnya dengan takut. "Bu Halidah jangan bercanda," katanya memelas.
"Sudah-sudah! Pada bubar semuanya! Jangan ada cerita-cerita begitu lagi, semuanya itu hoaks. Kalian semua senang sekali pembeli saya pada kabur semua," kata Bu Halidah dengan menatap mereka semua tajam.
Satu-persatu, orang-orang mulai bubar. Bu Jumi sempat-sempatnya berbisik ke arah Rain. "Makanya kontrakannya murah, emang karena ada hantunya, nak Rain."
"Bu Jumi!" kesal Bu Halidah.
Bu Jumi segera lari terbirit-birit, meninggalkan Rain yang terkekeh pelan dan Bu Halidah yang siap menguliti paru baya itu.
Bu Halidah segera tersenyum setelah Bu Jumi tak nampak. Ia menatap Rain. "Jangan percaya omongan mereka, nak Rain. Mari, ikut ibu memeriksa tempatnya!"
Rain mengangguk dan mengikuti Bu Halidah dari belakang. Bukan hanya mereka berdua, ada satu lagi paru baya yang ikut beserta mereka. Kemungkinan, dia adalah penjaga keamanan di komplek itu.
Mereka berhenti di depan kontrakan paling sudut. Posisi paling ekstrim memang. Beberapa pohon, sekitar dua atau tiga mengelilingi kontrakan itu. Dibandingkan dengan kontrakan yang lain, kontrakan satu ini terlihat lebih sejuk. Dari luar, Rain langsung menyukai tempat ini.
Posisi Kontrakan di komplek ini tidak terlalu berdempetan. Setiap bangunannya memiliki jarak 3-5 meter. Semuanya sederhana dan terdiri dari satu lantai. Kontrakan yang sangat ideal bagi kaum muda seperti Rain.
"Ayo masuk!"
Rain mengangguk dan mengikuti Bu Halidah masuk ke dalam.
Saat mereka sudah di dalam, pintu yang tadinya terbuka sedikit, tiba-tiba terbuka lebar.
Brak!
"Astagfirullah!"
"Allahuakbar!"
Rain hanya terperanjat sedikit sambil memegang dadanya tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.
Mereka serentak menoleh ke arah pintu yang terbuka lebar.
"hehehe... Maaf! Saya boleh ikutan, gak?"
"Nelli!" teriak Bu Halimah dengan ekspresi marahnya. Tangannya memegang dada. Hampir saja jantungnya copot.
Rain geleng-geleng kepala melihat gadis muda itu. Rain tahu, gadis itu mungkin berusia beberapa tahun di bawahnya. Jadi, ia bersikap ala kadarnya saja dengan gadis itu ketika baru mengenalnya tadi.
"Maaf Bu Ali!" kata gadis itu cengengesan.
"CK! Nyusahin aja."
Nelli segera berlari ke arah Rain. "Saya ikut mbak, ya! Hehehe..."
Rain tersenyum sambil mengangguk.
Setelah itu, Bu Halidah mulai menunjukkan bagian-bagian ruangan.
Rain mengamati seluruh isi ruangan. Kalau boleh jujur, ini terlalu berantakan untuk ukuran ruangan sebagus ini. Rain suka desainnya yang tidak ribet. Hanya saja, caranya menyusun perabotan sangat berantakan.
Saat masuk, di depan bagian kiri Rain adalah ruang tamu, sementara di kanan ada satu kamar. Di depannya lagi, di bagian kiri ada meja panjang dan dua kursi yang menghadap ruang tamu. Itu adalah meja makan sederhana. Antara meja makan dan ruang tamu ada pembatas setinggi meja. Dari atas pembatas, menjuntai tanaman gantung berwarna ungu yang memanjang. Benar-benar asri.
Kemudian, di bagian kanan belakang ada dapur dan kamar mandi/toilet. Benar-benar simpel. Rain benar-benar suka desainnya.
Ketika Bu Halimah menjelaskan lebih banyak lagi, mata Rain terpaku pada lukisan-lukisan abstrak yang melekat di dinding kanan, di samping pintu kamar. Di bawah lukisan itu, berdiri satu laci besar. Dan atas laci dipenuhi patung-patung tanah liat dan kayu.
Namun, Rain lebih tertarik dengan lukisan-lukisan itu. Ia hendak menyentuhnya, namun dengan cepat Nelli mencekal tangan gadis itu.
"Jangan!" kata Nelli.
"Kenapa?" Rain bertanya bingung.
Mata Nelli menyipit. "Mbak jangan sentuh karya-karya di sini. Nanti pemiliknya marah."
"Siapa? Bu Halidah?" tanya Rain.
Nelli menggeleng kuat. "Bukan. Lain kali aja saya ceritakan sama Mbak Rain. Sekarang bukan waktu yang tepat. Tapi, yang pasti jangan sentuh barang-barang ini kalau mbak gak mau diganggu."
Dahi Rain berkerut dalam. Siapa? Apa hantu yang mereka bicarakan itu? Akhirnya Rain tidak jadi mengusap lukisan itu. Padahal ia sangat penasaran dengan teksturnya.
"Lukisan ini milik siapa? Hantu yang kalian bicarakan?" tanya Rain.
Nelli mengangguk spontan.
"Tahu dari mana kalau ini lukisan hantu itu?" tanya Rain lagi.
Bulu kuduk Nelli langsung berdiri ketika mendengar pertanyaan Rain. "Mbak Rain jangan ngomong sembarangan. Lagian, ini kayaknya emang lukisan dia. Coba lihat nama pelukisnya!" kata Nelli sambil menunjuk sebuah nama di sudut kanan paling bawah di lukisan itu.
Rain membaca dengan seksama. "Ghio?" tanyanya. "Jadi, maksudnya nama hantunya Ghio?"
Brak!
"Aaaa..." teriak Nelli kencang.
"Allahuakbar!"
Baik Nelli maupun Rain, begitu juga dengan dua orang lainnya terperanjat kaget.
Bu Halidah dan asistennya yang awalnya berada di dapur berlari cepat ke raung tamu.
"Kenapa? Apa yang terjadi?" tanya Bu Halidah.
Nelli menggeleng kuat sambil memeluk lengan Rain. Sementara Rain memegang dadanya karena terkejut.
"Barusan yang jatuh itu apa?" tanya Surya, asisten Bu Halidah.
Rain menunjuk kursi yang tadi menghadap ruang tamu kini tergeletak di bawah.
"kursinya jatuh, pak."
Pak Surya mengelus dada. "Oh... Kirain apa, neng. kenapa bisa jatuh? Kalian gak hati-hati, ya?"
Nelli menggeleng kuat. "Jatuh sendiri, pak Sur," katanya.
"Jatuh sendiri? Bagaimana ceritanya?"
"Enggak, tadi cuma disenggol kucing, pak. Kucingnya sudah kabur," kata Rain. Ia memang sempat melihat kucing. Mungkin saja kucing itu yang menyebabkan kekacauan.
"Kirain apa," kata Bu Halidah sambil menghembuskan napas lega.
"Kucing apa bisa menjatuhkan kursi kayu seberat itu? Mbak Rain, itu pasti hantu. Hantunya marah gara-gara Mbak Rain nyebutin namanya," kata Nelli pelan. Gadis itu masih memeluk lengan Rain dengan kuat.
"Itu bukan hantu," kata Rain seraya meyakinkan dirinya. Lagi pula, ia sangat suka dengan tempat ini. Di tambah lukisan-lukisan bagus ini. Tahu saja jika Rain pecinta seni rupa.
Rain mengamati kembali lukisan itu.
"Kalau nak Rain tidak suka dengan barang-barang di sini, bilang, ya! Nanti pak Sur simpan barang-barang yang tidak di butuhkan ke dalam gudang. Kalau gak suka lukisan itu, sekarang juga bisa dibawa."
Rain menggeleng kuat. "Eh, enggak, Bu. Saya suka lukisan ini. Trus, patung-patung ini biar aja di sini. Kebetulan, saya anak seni rupa juga. Jadi, saya suka barang-barang ini," kata Rain cepat.
Rain kemudian mengelus lukisan yang tak sempat dia sentuh tadi. Mata Nelli membola melihat itu. Hampir saja ia berteriak.
"lukisannya bagus," kata Rain sambil tersenyum senang.
Saat itu juga, Nelli merasa aneh. Hawa dingin mulai menerpa telinga dan lehernya. Ia melirik takut sekelilingnya.
Nelli mengusap tengkuknya. "Mbak Rain merasa kedinginan gak?"
Rain menatap Nelli, lalu menggeleng pelan.
Nelli menggigit bibirnya. "Apa cuma saya yang merasakan, ya?"
"Heh! Kamu ini mulai, ya. Kamu gak senang lihat ibu dapat pembeli, hah? Niat kamu datang ke sini cuma mau nakut-nakutin apa gimana?" kata Bu Halidah kesal.
"Saya gak nakut-nakutin, Bu. Kalian tidak merasakan sesuatu?" tanya Nelli.
Mereka semua menggeleng.
Raut wajah Nelli terlihat seperti ketakutan. Saat itu juga, gadis itu segera berlari keluar rumah.
"Anak itu," kesal Bu Halidah. "Jangan hiraukan Nelli, nak Rain. Ayo, ikut ibu ke belakang. Di bagian belakang ada tangga buat naik rooftop kecil. kalau kamu suka yang sejuk kamu bisa ke sana."
"Iya, Bu."
Rain mengikuti Bu Halidah dan pak Surya. Kali ini ia tidak lagi mengamati, ia hanya bertanya-tanya tentang kebiasan-kebiasaan disana dan banyak hal terkait pembelian kontrakan.
Hingga waktu berlalu, sore pun tiba. Matahari yang hampir tenggelam terlihat sangat indah. Warna kemerahan mulai menghiasi langit.
Rain dan Bu Halimah berdiri di luar rumah. Saat itu juga, Bu Halimah menyerahkan kunci ke tangan Rain. Pembelian sudah deal. Sekarang Rain adalah penghuni kontrakan itu.
"Besok saya transfer, Bu. Terima kasih," ucap Rain seraya menunduk singkat.
Bu Halimah tersenyum lebar. "Ah... Boleh-boleh, nak Rain. Minggu depan juga boleh. Yang penting, nak Rain suka dulu tempatnya. Kalau begitu, ibu permisi. Semoga aman dan nyaman tinggal di sini."
"Baik, Bu."
Bu Halimah kemudian meninggalkan Rain sendirian di tempat itu. Pak Surya sudah lebih dulu pergi, karena ada kerjaan.
Rain menghela napas. ia mengotak-atik ponselnya dan menempelkannya ke telinga.
"Beres," kata Rain.
"Bisalah. Besok gas aja, langsung beberes."
"Yoo... Hati-hati." Rain mematikan ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku.
Lantas Rain mulai berjalan meninggalkan kontrakan itu. Namun, ketika beberapa langkah ia berjalan, ekor matanya menangkap sesuatu di atas rumah.
Rain belum berbalik. Namun, walau pun ia melihat ke depan, ekor matanya masih bisa melihat sesuatu di sampingnya.
Tepat di rooftop kecil kontrakannya, Rain menemukan sesuatu.
Rain berbalik dan ingin melihat secara langsung. Saat itu juga, pupil matanya membesar.
Sosok di rooftop itu... siapa?