Jika cinta pertama bagi setiap anak perempuan adalah ayah, tetapi tidak bagi Lara. Menurut Lara ayah adalah bencana pertama baginya. Jika bukan karena ayah tidak mungkin Lara terjebak, tidak mungkin Lara terluka.
Hidup mewah bergelimang harta memang tidak menjamin kebahagian.
Lara ingin menyerah
Lara benci kehidupan
Lara lebih suka dirinya mati
Di tuduh pembunuh, di usir dari kediamannya, bahkan tunangannya juga menyukai sang adik dan membenci Lara.
Lantas, apa yang terjadi? Apakah Lara mampu menyelesaikan masalahnya? Sedangkan Lara bukanlah gadis tangguh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blue.sea_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27
Lara hanya diam, ia hanya memandangi tangannya yang kembali mengeluarkan darah padahal tadi sudah berhenti.
"Sebaiknya kamu segera menghilang Lara, saya tidak membutuhkan anak tidak tahu diri seperti kamu."
Lara benar benar tidak berharga Dimata ayahnya sendiri dan siapa yang tidak sakit hati dengan kalimat seperti itu dilontarkan dari mulut ayah kandungnya sendiri. Lara memejamkan mata, rasa sakit antar luka fisik dan luka batin kian menyatu. Tidak ada obat, tetapi, bahkan luka yang belum sembuh semakin menganga.
"Apa aku pernah mengemis pada ayah supaya bisa jadi anak ayah? Aku gak pernah minta ayah, bahkan dalam mimpi aku sekalipun aku gak berani buat melakukannya. Darah ayah yang mengalir dalam tubuh ini bukanlah kebanggaan bagiku." Lara membalikkan tubuhnya agar dapat membelakangi Ravindra
Selama ini Lara tidak melawan bukan karena tak bisa. Tapi Lara hanya bisa menerima apapun yang Ravindra lakukan padanya karena hanya Ravindra, selain itu Lara tak punya orang tua yang lain lagi. Bohong jika dia tak berharap Ravindra kembali seperti tujuh tahun lalu karena Lara sangat sangat mengharapkan hal itu.
Lara masih berharap Ravindra bisa menjadi sosok yang menyayangi dirinya lagi. Kembali memperlakukan Lara sebagai seorang putri. Tapi, dalam mimpinya sekalipun itu tidak akan terjadi.
Bughh
"Akhhhhh."
Sretttttt
Lara terpaksa mendongak. "A... Ay ayah."
Ravindra menjambak Rambut Lara, amarahnya semakin memuncak saat mendengar ucapan Lara. "Jika bukan karena Alena saya tidak akan pernah mengizinkan kamu menginjakkan kaki kamu di mansion saya."
Setelah itu Ravindra pergi dari kamar Lara, meninggalkan kamar yang sudah dalam keadaan berantakan sama seperti gadis yang menghuni kamar tersebut.
Keesokan harinya
"Kak, aku bawain kakak makanan kakak harus sarapan. Oh ya, sini aku bakal obatin luka kakak."
Lara memutar bola mata sinis melihat sosok yang sok memperdulikan dirinya ini. Jengah, itulah yang Lara rasakan. "Keluar, siapa yang izinin Lo masuk ke kamar gue." Lara berucap datar.
"Tapi aku mau obatin luka kakak, atau kakak mau aku suapin?"
"Sudah Alena, apa peduli Lo ke gue?"
"Aku peduli karena kakak adalah kakak aku."
"Kalo Lo peduli maka keluar dari kamar gue. Gue gak butuh obat biasanya juga bakal sembuh seiring waktu setelahnya, luka itu bakal muncul lagi." Lara menatap datar Alena, tak hanya ekspresi Lara saja yang datar tapi ucapannya juga.
Alena langsung sedih karena mengira bahwa Lara malah memarahinya. "Kak, aku cuma khawatir sama kakak. Aku harus berangkat ke sekolah yah kak, kak Rey udah nungguin aku, cepat sembuh kak." Alena meletakkan kotak P3K dan sarapan untuk Lara kemudian keluar dari kamar Lara. Tak lupa Alena menutup pintu itu kembali.
"AAGGRRRRHHH KENAPA SEMUA HARUS ALENAAA." Lara memeluk kedua lututnya, tubuh gadis itu bergetar. Semesta, apakah Lara tak pantas mendapat kebahagiaan?
"Aku juga butuh ayah, apa ayah tahu kalau aku juga hancur? Hahahhaaha aku lupa kalau ayah gak pernah peduli sama aku." Tertawa dengan deraian air mata, sepertinya Lara sudah naik satu level lebih kuat dari sebelumnya. "Rey juga, aku butuh kamu."
"Miris banget nasib gue."
Sedangkan disisi lain, masih di tempat yang sama dengan mansion Revelton.
"Ma, ayah aku pamit kasihan kak Rey kalo harus nunggu lama." Alena berlari menuruni anak tangga kemudian setelah berhasil menuruni semuanya Alena segera berlari ke meja makan. Menyampirkan tas di bahu gadis itu segera berlari keluar dengan tergesa gesa.
"Alena kamu belum sarapan sayang."
Alena kembali kemudian mencium pipi Ravindra. "Nanti aja deh sarapan bareng kak Rey. Bye bye ayah."
"Anak itu." Lirih Ravindra sambil tersenyum tipis.
Alena segera keluar dari mansion,di luar ia dapat melihat sosok tampan tengah menunggunya. "Haii, kak."
"Kakak kamu mana?"
Alena mengerucutkan bibir kala mendengar Rey menanyakan sang kakak. "Ada di dalam, kak Lara kena hukum ayah tapi aku yakin dia baik baik aja, kak Lara juga gak sekolah untuk beberapa hari karena harus memulihkan diri."
"Apa? Lena dia pasti terluka." Rey hendak masuk ke dalam tapi Alena menahannya.
"Kak, kita hampir telat."
Astaga, Rey menyisir rambutnya yang sedikit panjang dengan jari jarinya. "Kamu benar ayo."
Lagipula kenapa Rey harus mengkhawatirkan Lara? Bukankah selama ini Lara sudah biasa mendapat hukuman dari Ravindra, tapi Rey biasanya bersikap biasa saja tidak seperti ini.
Tak lama setelah Alena pergi ke sekolah, Ravindra juga ikut berangkat ke kantor. Ada beberapa urusan yang harus diselesaikan pagi ini. Hanya tersisa Rania sedang sibuk dengan ponselnya yang terhubung dengan seseorang melalui panggilan suara.
"Aku rasa kita berhasil."
"....."
"Ckk ini sepertinya tidak sulit, akan aku lakukan setelah ini."
"Secepatnya aku tidak sabar menikmati harta mereka."
"Aku juga."
"Salah mereka yang tidak ingin berbagi, maka aku akan merampasnya dengan caraku sendiri."
"Tapi bagaimana caranya untuk langkah yang selanjutnya?"
"....."
"Satu lagi tugas untukmu. Ini juga tak kalah penting aku harap kau tidak gagal."
"Baiklah sayang, setelah ini dia pasti hancur."
"Hancur? Siapa yang akan hancur? Ini pasti ada sesuatu yang gak beres. sepertinya ini juga sudah di rencanakan dari lama, ini pasti perlu diselidiki." Lirihnya pelan, kemudian melangkahkan kaki ke dapur.
salam kenal
terus semangat
jangan lupa mampir ya