Memiliki kehidupan yang nyaris sempurna, Marsha memiliki segudang prestasi, ia juga terampil dalam seni lukis dan percintaan yang bahagia bersama Reno─sepupunya sendiri. Mereka telah membangun rencana masa depan yang apik, namun siapa yang akan menyangka takdir tidak selalu mengikuti semua rencana.
Marsha tiba-tiba harus menggantikan Maya─kakaknya yang kabur karena menolak menikahi Alan─pria pilihan orang tuanya berdasarkan perjanjian bisnis. Masa depan perusahaan orang tuanya yang diambang kebangkrutan sebagai konsekuensinya.
Bagai simalakama, terpaksa Marsha menyetujuinya. Statusnya sebagai pelajar tidak menunda pernikahan sesuai rencana diawal. Alan adalah pria dewasa dengan usia yang terpaut jauh dengannya ditambah lagi ia juga seorang guru di sekolahnya membuat kehidupannya semakin rumit.
Menjalani hari-hari penuh pertengkaran membuat Marsha lelah. Haruskah ia berhenti mengukir benci pada Alan? Atau tetap melukis cinta pada Reno yang ia sendiri tidak tahu dimana ujung kepastiannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rieyukha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CINCIN PERNIKAHAN
"Marsha,"
Bisik Sarah sambil memeluk sahabatnya dari belakang. Seperti biasa jika Marsha belum selesai membacanya ia akan berjalan menuju pustakawan untuk melakukan prosedur peminjaman buku.
"Selagi di perpus, ambil gitu satu buat dibaca Sar."
"Marshaaaaa!" Sarah malah memeluk erat sahabatnya, ia tidak peduli dengan teriakannya maupun nasehat rutin yang selalu ada jika keluar dari perpustakaan.
"Kangeeennn!" Sarah masih memeluknya dan menggoyangkan badan mereka ke kiri dan ke kanan dalam pelukan.
"Iya, gue juga kangen tapi jangan rusuh gini juga dong Sar, seragam gue jadi kusut nih."
"Ups," Sarah melepaskan pelukannya "Gue hampir lupa lagi berpelukan dengan Nona perfeksionis."
"Apa sih," Marsha merapikan seragamnya yang memang sedikit kusut karena pelukan Sarah.
"Balik kelas yuk, ada oleh-oleh kan pasti buat gue."
"Ada dong," Marsha kini menggandeng Sarah untuk mengikuti langkahnya, namun baru beberapa meter berjalan ia menghentikan langkahnya membuat Sarah yang dalam gandengannya hampir saja oleng.
"Kenapa?" tanya Sarah bingung, matanya mengikuti arah pandangan Marsha yang tidak jauh didepan mereka. Teguh, kepala sekolah mereka sedang berbincang serius dengan seseorang pria tampan berpenampilan rapi nan karismatik membuat Sarah tertegun sesaat. Menunjuk-nunjuk seolah sedang memberitahu.
"Ganteng, Sha. Mata lo ya bisa aja cepat lihat yang segar-segar." lirih Sarah yang kini ikut memperhatikannya alias menikmati pemandangan didepannya.
Marsha menoleh kesal kearah Sarah yang memuji Alan terang-terangan.
"Mata lo picek atau gimana sih yang begitu dibilang ganteng," protes Marsha, lalu kembali berjalan. "Ngapain coba disini?" desis Marsha kemudian.
"Kenal?" tanya Sarah yang jelas mendengar desisan Marsha.
"Nggak." jawab Marsha lantang
"Terus kenapa ditanya?"
"Nggak suka aja."
"Nggak suka apa nih? Nggak suka gue muji orang itu, atau apa?"
Kini Marsha melangkah cepat meninggalkan Sarah yang berlari kecil mengejarnya. Pemandangan itu terlihat jelas oleh Alan dari kejauhan. Ia pun tahu dimana kelas Marsha berada.
Kelas Marsha sudah bising, sudah kebiasaan dihari pertama masuk sekolah setelah liburan para murid perempuan lebih banyak menghabiskan waktunya menunggu bel masuk dikelas. Mereka berbagi cerita liburan dan juga oleh-oleh.
"Ganteng banget asli, artis juga kalah."
Ocehan-ocehan selain liburan dan ganteng yang tersebar dikelasnya kini membuat Sarah tidak bisa diam. Ia juga penasaran, pasti laki-laki tadi pagi yang sedang berbicara dengan kepala sekolahnya.
"Tiwi nih, informan kelas mana sih?"
Sarah menoleh celingukan mencari teman kelasnya bernama Tiwi. Marsha tidak peduli ia hanya melanjutkan membaca buku yang ia bawa dari perpustakaan tadi.
"Sha, ciwi-ciwi pada penasaran tahu, lo nggak ikut penasaran apa?"
Marsha berdecak kesal, "Sejak kapan gue ikut penasaran buat hal begituan, Sar." ucap Marsha cuek tanpa menoleh kearah Sarah.
Sebenarnya yang membuat Marsha penasaran bukan Alan tapi keberadaannya yang disekolah dan bercengkerama akrab tapi dimata Marsha sok akrab dengan kepala sekolahnya. Menyebalkan, ya apa saja akan terlihat salah dimata Marsha yang memang dasarnya tidak suka.
"Hai beb, liburan kemana kalian kali ini?" Dina datang menghampiri meja Marsha dan Sarah, ia sedang membagikan oleh-oleh liburannya.
"Nggak kemana-mana, Din. Nih, liburan sendiri tanpa gue." adu Sarah pada Dina, cukup membuat Dina menaikkan alisnya karena kaget karena persahabatan Marsha dan Sarah bagai lem dan kertas yang selalu menempel.
"Gue kaget lho kalian nggak liburan bareng, hal yang langka banget." ucapnya lembut.
"Iya kan," Sarah mengambil susu pisang yang diberikan Dina, lalu membolak-balikkan susu itu melihat kemasannya dengan teliti.
"Thanks Din," ucap Marsha sambil mengambil oleh-oleh pemberian Dina. Ia tidak menggubris percakapan mereka.
"My pleasure." balas Dina santai.
"Lo dari Korea, Din?" tanya Sarah karena sudah membaca produk itu berasal dari Korea. Dina hanya mengangguk mengiyakan. "Ketemu Lee Min Ho nggak?" goda Sarah menahan tawa.
"Please deh, Sar."
Dina mengibaskan tangannya seraya berjalan meninggalkan meja Marsha dan Sarah, melanjutkan pembagian oleh-oleh darinya. Sarah hanya tertawa puas menggoda temannya, ia berhenti begitu melihat Tiwi yang dari tadi dicarinya muncul.
"Tiw! Tiw!" panggil Sarah begitu melihat Tiwi berjalan masuk ke dalam kelas.
Tiwi langsung memutar langkahnya ke meja Sarah, "Nama gue Tiwi, Sar! Please ya nggak enak banget dengar panggilan lo kayak bunyi alarm sumbang."
Sarah terkekeh mendengar protes Tiwi yang terlihat sok serius dimata Sarah, "Lo kan emang alarm kelas, Info dong." ucapnya kemudian.
"Info apa?" tanya Tiwi sambil berjalan ke mejanya yang tidak jauh dibelakang Sarah.
"Ituuu yang tampan rupawan sama kepsek, siapa sih?" Sarah memutar badannya menghadap Tiwi yang dibelakangnya.
"Nggak tahu Sar, ini dari lapangan cari info belum dapat juga." keluh Tiwi tampak kecewa kinerjanya kini tidak membuahkan hasil.
"Ah gimana sih informan kelas," Sarah turut kecewa dan kembali memutar badannya ke depan.
"Tiwi nggak tahu tuh, Sha." lapor Sarah.
Marsha mengernyit, "Apa hubungannya sama gue?" tanyanya heran, padahal ia juga mendengar percakapan Sarah dan Tiwi tadi, tidak perlu Sarah melapor segala.
"Kan lo yang pertama terpesona tadi, sampai berhenti melangkah gitu buat ngeliatnya. Jangan bilang lo nggak mau tahu," sindir Sarah membuat Marsha berekspresi ingin muntah mendengarnya.
"Terpesona, huek!" ucap Marsha penuh kejengkelan.
"Lebay." Sarah mendorong pelan lengan Marsha.
Aneh, itu yang terlintas dipikiran Sarah terhadap penolakan Marsha tentang pria yang belum ia ketahui itu siapa. Sarah tahu betul bagaimana sahabatnya ini menilai orang, jika suka atau pun tidak ia akan menjabarkannya secara logis, yang membuat Sarah berhenti menggodanya atau mencari tahu melaluinya. Bukan langsung berekspresi seperti ini. Marsha ini positif vibes kenapa jadi kayak udah kenal aja.
"Nih, buat lo aja." Marsha mendorong susu cokelat dari Dina tadi pada Sarah dengan tangan kanannya, kebetulan Sarah memang duduk disebelah kanan Marsha.
Sarah melirik susu yang didorong Marsha, "Cokelat ya, gue pikir sama-sama rasa pisang. Mana punya gue udah diminum lagi."
"Nggak apa-apa, nggak usah berniat mau tukaran sama susu yang udah di lambung lo. Nih, ambil." tegas Marsha.
Sarah hendak mengambilnya namun matanya terfokus pada jari manis Marsha. Alih-alih mengambil susu kotak didepannya, ia malah mengangkat jari Marsha berniat melihat secara dekat, "Tumben pakai cincin."
Marsha membeku, napas berhenti sesaat.
***