Di balik kehidupan mereka yang penuh bahaya dan ketegangan sebagai anggota organisasi rahasia, Alya, Alyss, Akira, dan Asahi terjebak dalam hubungan rumit yang dibalut dengan rahasia masa lalu. Alya, si kembar yang pendiam namun tajam, dan Alyss, yang ceria serta spontan, tak pernah menyangka bahwa kehidupan mereka akan berubah drastis setelah bertemu Akira dan Asahi, sepupu yang memimpin di tengah kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azky Lyss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27: Intervensi Tak Terduga
Malam itu, jalanan sunyi menjadi saksi pertarungan antara Asahi dan Sagaras. Asahi terengah-engah, merasa tekanan dari Sagaras yang tampak lebih dominan. Namun, suasana berubah ketika suara mesin motor meraung dari kejauhan, mendekat ke arah mereka. Akira, yang berdiri di samping Asahi, langsung mengerutkan kening saat melihat dua sosok yang turun dari motor.
Yin dan Yana, ketua Divisi 1 dan Divisi 2, muncul dengan sikap yang kontras. Yin dengan senyuman riang, sementara Yana menampilkan ekspresi serius yang sudah menjadi ciri khasnya.
“Ada apa di sini?” tanya Yin dengan nada ringan, meskipun tatapan matanya mengawasi situasi dengan penuh waspada.
“Bukan urusanmu, Yin,” jawab Sagaras dengan nada dingin, merendahkan. “Pergilah sebelum keadaan makin buruk.”
Namun, Yana tidak terpengaruh. Dengan tatapan tajam, ia mendekati Sagaras tanpa rasa takut. “Kau tahu siapa dia?” tanya Yana dengan suara tegas, menunjuk ke arah Sagaras. “Dia adalah ketua divisi utama musuh.”
Akira dan Asahi saling memandang dengan keterkejutan yang tak bisa disembunyikan. “Apa?!” Asahi berseru, tidak percaya. “Jadi, kau ketua divisi utama mereka?” tatapannya beralih tajam ke arah Sagaras.
Sagaras hanya tersenyum sinis, tetap berusaha mempertahankan dominasinya. “Kalian cuma anak-anak yang terlalu jauh terlibat. Ini bukan permainan untuk kalian,” jawabnya tanpa sedikit pun menunjukkan rasa takut.
Yin melangkah lebih dekat, namun senyumnya tetap menghiasi wajahnya. “Sagaras, kau sebaiknya berpikir dua kali sebelum bermain dengan anak buahku. Aku tak sabar ingin melawanmu sendiri,” ucapnya dengan nada yang anehnya lembut. Kemudian, dia mendekat dan berbisik di telinga Sagaras, “Jika kau menyentuh mereka lagi, aku akan menghabisimu.”
Yana kemudian menyela dengan suara tegas, “Hentikan. Tidak perlu ada pertumpahan darah di sini. Ini bukan waktu dan tempat yang tepat.”
Asahi, meski terprovokasi, tahu bahwa mereka tidak bisa sembarangan menghadapi seorang ketua divisi musuh. Dengan berat hati, ia mengangguk. “Baiklah. Tapi ini belum selesai, Sagaras. Aku tidak akan melupakan semua ini.”
Sagaras tersenyum dingin. “Kau sebaiknya berhati-hati, Yin, Yana. Setiap langkah yang kalian ambil akan ada konsekuensinya,” ancamnya dengan tatapan tajam.
Yana, tanpa ragu, membalas tatapan itu. “Ancamanmu tidak membuat kami gentar. Kami tahu cara menghadapimu.”
Dengan ancaman menggantung di udara, Sagaras akhirnya berbalik dan meninggalkan tempat itu. Namun, aura ancaman yang dia tinggalkan masih terasa kuat. Yin dan Yana kemudian memalingkan perhatian mereka kepada Asahi dan Akira.
“Kita perlu bicara di markas. Tapi mungkin bukan sekarang. Kalian butuh waktu untuk memulihkan diri,” kata Yin, tatapan riangnya berubah menjadi lebih serius.
Akira dan Asahi mengangguk pelan, masih belum sepenuhnya bisa mencerna kejadian yang baru saja mereka alami. Mereka tahu, konflik ini belum berakhir—malam itu hanyalah permulaan dari sesuatu yang lebih besar.
Dengan beban yang terasa semakin berat, mereka berjalan kembali menuju motor, bersiap untuk menghadapi hari-hari yang lebih sulit di depan.
Setelah malam yang penuh ketegangan, Akira dan Asahi kembali ke apartemen mereka. Hati mereka masih belum tenang, terutama setelah mengetahui bahwa Sagaras, sahabat masa kecil Asahi, kini menjadi musuh utama sebagai ketua divisi musuh. Keheningan menyelimuti mereka sepanjang perjalanan pulang, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri.
Di depan pintu apartemen, Akira berhenti sejenak, menatap Asahi dengan tatapan penuh kekhawatiran. "Kau baik-baik saja?" tanya Akira, suaranya tenang tapi sarat perhatian.
Asahi mengangguk pelan. “Aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah. Kita bisa bicarakan tentang Sagaras besok.”
Malam itu, setelah mandi dan mengganti pakaian, mereka duduk di ruang tamu. Televisi menyala, tapi pikiran mereka jauh dari apa yang ditampilkan di layar.
Akira mencoba mencairkan suasana. “Bagaimana kalau kita nonton film komedi? Menghilangkan beban sedikit.”
Asahi tersenyum tipis. “Setuju.” Mereka kemudian mulai mencari film yang bisa membuat mereka tertawa, meskipun di dalam hati mereka tahu bahwa masalah besar masih menunggu di luar sana.
---
Di tempat lain, Alya dan Alyss juga merasakan ketegangan yang sama meskipun suasana di apartemen mereka tampak lebih ceria. Alya berdiri di dekat jendela, memperhatikan salju yang turun pelan-pelan, melapisi jalanan kota dengan putih yang menenangkan.
"Aku melihat Asahi dan Akira semalam," kata Alya tiba-tiba, suaranya tenang tapi jelas terdengar oleh Alyss yang sedang duduk di sofa.
Alyss mengangkat alis, tertarik. "Siapa yang mereka temui?"
Alya mengangkat bahu, “Aku tidak tahu pasti, tapi Asahi tampak tegang. Dari atas sini, aku bisa melihat dia mengepalkan tinjunya.”
Alyss tersenyum kecil, “Wah, pandanganmu tajam sekali. Tapi ya, kau kan sniper, itu sudah keahlianmu.”
Setelah beberapa saat, Alya mengalihkan pandangannya dari jendela dan berkata, “Mungkin kita harus mengajak mereka ke sini untuk bersantai. Mereka pasti sedang tertekan.”
Alyss setuju dengan antusias. “Ya, kita bisa membuat makanan enak dan menonton film bersama. Itu pasti membantu mereka.”
---
Keesokan harinya, Alya dan Alyss menyiapkan hidangan hangat di apartemen mereka. Aroma sup yang harum menyebar di seluruh ruangan, membuat suasana menjadi lebih hangat dan menyenangkan. Ketika Akira dan Asahi tiba, mereka disambut dengan senyuman lebar oleh si kembar.
“Selamat datang! Kami sudah menyiapkan sesuatu yang spesial untuk kalian,” Alyss berseru dengan riang, membuat suasana menjadi lebih ringan.
Akira mencium aroma makanan dan tersenyum kagum. “Wah, kalian benar-benar jago masak!”
Asahi ikut tersenyum, merasa nyaman dengan kehadiran kedua saudara kembar itu. “Terima kasih. Aku langsung merasa lapar.”
Mereka duduk di meja makan, berbagi cerita sambil tertawa. Momen ini terasa sangat berharga, mengingat betapa tegangnya keadaan di luar. Alyss dan Alya saling melempar candaan, membuat suasana semakin ceria dan membuat Akira serta Asahi lupa sejenak tentang beban yang mereka tanggung.
Setelah makan malam, mereka berkumpul untuk menonton film. Alyss memilih film komedi, berharap bisa menghibur semua orang. Namun, meski suasana terlihat ceria, pikiran Asahi tetap berkutat pada sosok Sagaras yang terus menghantui.
Ketika film berakhir, Alya berbicara, “Aku senang kita bisa berkumpul seperti ini. Semoga kita bisa melupakan masalah-masalah untuk sementara.”
Asahi mengangguk, meski dalam hatinya ia sadar bahwa masalah itu masih belum selesai. Dia berdiri dan berjalan keluar menuju balkon, menikmati udara dingin malam yang dipenuhi butiran salju. Alya, penasaran, mengikutinya.
“Siapa lelaki yang kau temui kemarin?” tanya Alya tiba-tiba, suaranya pelan tapi jelas terdengar di keheningan malam.
Asahi menoleh, sedikit terkejut. “Kau melihatnya, ya?” Dia tersenyum lemah. “Langsung to the point, seperti biasanya.”
Alya hanya mengangkat bahu. “Aku kan sniper, penglihatanku tajam. Kau tak perlu kaget.”
Asahi tertawa kecil sebelum akhirnya menjawab dengan nada yang lebih serius. “Namanya Sagaras. Dulu dia sahabatku. Tapi setelah satu konflik besar, kami berakhir sebagai musuh. Dan sekarang, ternyata dia ketua Divisi Utama dari organisasi yang kita hadapi.”
Alya terdiam, teringat sesuatu. Nama itu... sepertinya pernah ia dengar sebelumnya, tapi ia menahan diri untuk tidak melanjutkan. “Sepertinya… tidak ada apa-apa,” katanya, mengalihkan pandangan ke arah langit yang tertutup salju.
---
Keesokan harinya, Akira dan Asahi kembali ke markas. Ketegangan tampak jelas di wajah semua orang di sana. Mereka tahu bahwa setelah insiden dengan Sagaras, situasi bisa meledak kapan saja.
“Kita perlu bertemu dengan yang lain,” kata Akira pada Asahi, yang mengangguk setuju.
Saat mereka masuk ke ruang rapat, Yana dan beberapa anggota penting lainnya sudah menunggu. Suasana serius terasa begitu pekat. Yana langsung memulai rapat tanpa basa-basi.
“Kita dalam situasi yang berbahaya sekarang. Sagaras adalah ancaman serius. Kita perlu menyusun strategi yang kuat untuk menghadapinya.”
Akira dan Asahi duduk, mendengarkan dengan seksama setiap rencana yang dibahas. Mereka tahu, perang ini baru saja dimulai, dan mereka harus bersiap menghadapi apa pun yang akan datang.