Seorang pengangguran yang hobi memancing, Kevin Zeivin, menemukan cincin besi di dalam perut ikan yang tengah ia bersihkan.
"Apa ini?", gumam Kevin merasa aneh, karena bisa mendengar suara hewan, tumbuhan, dan angin, seolah mampu memahami cara mereka berbicara.
"Apakah aku halusinasi atau kelainan jiwa?", gumam Kevin. Namun perlahan ia bisa berbincang dengan mereka dan menerima manfaat dari dunia hewan, tumbuhan, dan angin, bahkan bisa menyuruh mereka.
Akankah ini berkah atau musibah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardi Raharjo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Frekuensi Khusus
Pagi itu, ia memasang umpan di mata kail. Kevin mendengar jelas suara merintih kesakitan, namun tetap mengabaikan.
"Kalau memang mimpi semalam itu benar, maka aku harus pastikan semuanya", benak Kevin.
Pemuda itu mengambil sekor cacing dan mengajaknya bicara. Tidak seperti manusia, Kevin kesulitan memahami dunia cacing yang malah mengatakan lezatnya humus dan deritanya saat terpapar sinar matahari.
"Apa kamu tahu apa yang kukatakan?", Kevin bertanya lagi, menguji kebenaran mimpi itu. Kevin mendengar sesuatu yang sangat pelan namun bisa ia dengar seakan ada sensor pelantang di telinga yang bekerja tepat sasaran.
"Aneh, mereka bisa mengerti ucapanku? Tapi bahasa mereka", gumam Kevin.
"Vin! Aduh Vin, Vin. Baru kehilangan satu ikan kemarin, sekarang kau sudah sinting. Jangan lah kau terlalu memuja dunia, itu takkan kau bawa ke alam sana. Sedekahmu itu yang akan membantumu, kawan", tegur Hendra tiba-tiba menepuk pundak Kevin, membuat pemuda itu berjingkat.
"Sialan! Siapa yang gila? Kau yang gila, sudah ambil ikan paling besar, hari ini masih mau narget pula", sahut Kevin, seraya meletakkan kembali cacing tanahnya.
"Hahahaha, mana ada orang gangguan jiwa yang mengakui kondisi kejiwaannya? Itu buktinya, cacing pun diajak bercengkerama", terang Hendra.
"Bego! Ini namanya berbicara dengan diri sendiri. Cacing ini cuma obyek pengganti. Makanya, sekolah biar kenal dunia, Ndra!", Kevin mencoba mencari alasan yang lebih masuk akal.
"Loh, hebat juga ngeles kau. Kukira, kau akan gila. Siapa tahu, semua tangkapan hari ini akan kau berikan padaku secara sukarela", balas Hendra yang memang tidak pernah sekolah kecuali sampai sekolah dasar kelas tiga saja.
"Ck! Pergi sana, jangan ganggu aku!", usir Kevin.
Hendra pun mendengus dan pergi, merasa percuma juga di sini. Karena memang Kevin baru mulai memancing.
"Kalau saja ada tempat mancing yang lain, aku akan pergi jauh daripada dirusuh benalu tak tahu malu itu", gumam Kevin.
Suara di telinganya tidak riuh saat para cacing telah bersembunyi, juga umpan telah dilemparkan. Hanya suara angin yang bertiup dan suara gumam yang malas ia telisik, sayup-sayup terdengar.
"Nah, kalau hening begini, kan nyaman", lirih Kevin, melihat pelampung kailnya tertarik dan muncul berulang. Saat ia menarik joran, kembali ia mendengar suara yang ia yakin berasal dari ikan di ujung kail.
"Aagh!"
Segera, Kevin melepas mata kail dan hendak memasukkan ikan hasil tangkapannya ke dalam jaring seperti biasa.
"Apa mereka hanya mengeluh lantas diam?", gumam Kevin.
"Tentu saja tidak. Kalian para manusia memang boleh memanfaatkan kami. Kamu beruntung sekaligus 'bodoh' karena harus menanggung tugas dan tanggung jawab lebih berat dari pada manusia lainnya", ucap ikan yang nampak hanya menggerak-gerakkan mulutnya layaknya ikan biasa, namun Kevin jelas memahami ucapannya dan meletakkan ikan itu ke dalam jaring.
Kevin pun termenung. Beberapa saat kemudian, ia hendak melepas cincin di tangannya, namun Kevin baru ingat bahwa cincin itu sudah lenyap sejak mimpi aneh semalam.
"Kalau cincin itu hilang, lalu mimpi semalam artinya benar dong", gumam Kevin, curiga cincin itu masuk ke dalam tubuhnya selayaknya susuk.
"Sial! Aku ngga sudi seperti ini. Keluar!", pekik Kevin, tak ingin sulit mati nantinya jika tubuhnya dimasuki benda astral seperti cincin itu. Namun tidak ada respon atau kejadian apapun. Kevin pun duduk dan merenung, tapi tetap saja ia tidak menemukan solusi.
"Ah, sudah lah. Satu saat, kalau aku menemukan kiyai yang tepat, akan kukatakan masalahku", pikir Kevin, lantas melanjutkan mancingnya.
"Hei, ikan, apa kalian punya nama?", tanya Kevin pada ikan di dalam jaringnya.
"Kami tidak seperti manusia. Kami tidak dimintai pertanggungjawaban seperti kalian"
"Lalu, kalau kalian bisa berpikir, kenapa makan umpanku?", heran Kevin.
"Tuhan lah yang menggerakkan kami dalam berperilaku mengikuti insting, bukan berpikir dengan banyak alasan seperti kalian"
"Apa kamu bisa tunjukkan tempat ikan besar sepertimu?", keserakahan Kevin muncul, jikalau ia bisa menangkap semua ikan besar di sungai ini.
"Tempat ini dan di dekat batu besar di tengah sungai sana"
Kevin mengedarkan pandangan, kira-kira 100 meter, memang ada batu besar yang hanya nampak sedikit di permukaan air. Batu itu akan tenggelam saat debit air sungai tinggi.
"Tapi joranku takkan sampai ke sana. Pantas saja di sana banyak ikan besar, jarang ada yang bisa sampai ke sana kecuali naik sampan", gumam Kevin, mengangguk setuju.
"Eh ikan, apa jumlah kalian lebih banyak di sana daripada di sini?", Kevin masih penasaran.
"Aku tak tahu pastinya. Sepertinya memang lebih banyak"
Kevin ingin sekali menyewa sampan dan memancing di area yang dimaksud. Namun ingatannya tiba-tiba mengarah pada cara memanggil hewan dengan menebar gelombang pada frekuensi tertentu agar terjadi resonansi.
Tidak seperti pencari ikan yang memanfaatkan gelombang ultrasonik untuk mendeteksi gerombolan ikan, Kevin mampu menghasilkan getaran frekuensi unik untuk memanggil spesies ikan tertentu.
Pemuda itu menjulurkan joran, mengalirkan getaran yang dihasilkan lengannya ke air. Pada percobaan pertama, tak ada satu pun efek kecuali ikan kecil yang beriak di sekitar kail. Tentu itu tidak berguna baginya.
"Wah, keren!", seru Kevin, melihat riak dari ikan mujaer yang besar di sekitar kail, bahkan satu ikan segera menyambar umpannya.
"Strike!"
Kevin mendapat banyak ikan dalam waktu singkat hingga jaringnya penuh.
"Yo.. Aku akan segera kaya!", pekik Kevin, sontak menjadi pusat perhatian orang yang lewat di sekitarnya. Tentu saja ia diabaikan dan bahkan dianggap kelainan jiwa.
"Ups!", Kevin menutup mulutnya. Ia bergegas mengangkut hasil tangkapannya ke penjual ikan yang begitu terheran-heran. Pasalnya pemuda kumal ini berhasil meraup 1,5 juta dari hasil penjualan kali ini.
"Kamu bisa dapat banyak, mancing di mana? Jangan bilang nyuri di empang orang", pedagang itu benar-benar penasaran.
"Ck! Ngga penting lah bos. Nanti kuberitahu, malah hilang spot mancingku!", elak Kevin, agar tidak dicurigai. Untung saja alasan itu memang logis, sehingga pedagang ikan itu tidak lagi bertanya.
Segera saja, Kevin membeli pakaian bekas yang masih sangat bagus untuk mengubah penampilannya, sekalian membeli joran pancing yang bagus beserta umpan palsu agar tidak perlu mencari umpan hidup. Ia bahkan membeli ransel dan jaring baru untuk memudahkan hobi cuannya.
"Wah wah wah, si gembel sekarang sudah banyak uang. Lihat pakaian dan joran pancingnya yang bagus. Dapat mangsa curian dari mana kau? Sini, setoran!", dua preman menghadang Kevin yang tengah bahagia, baru saja mendapat keuntungan, kini harus menghadapi preman pasar yang memainkan belati di tangannya.
"Apa sih bang? Gembel pun dipalak! Tuh yang pakai motor dipalak, banyak duitnya", ujar Kevin yang sudah siap lari daripada berkelahi. Mau bagaimana pun, staminanya cukup bagus untuk melarikan diri dibanding para preman yang hobi mabuk itu.