Dulu, nilai-nilai Chira sering berada di peringkat terakhir.
Namun, suatu hari, Chira berhasil menyapu bersih semua peringkat pertama.
Orang-orang berkata:
"Nilai Chira yang sekarang masih terlalu rendah untuk menunjukkan betapa hebatnya dia."
Dia adalah mesin pengerjaan soal tanpa perasaan.
Shen Zul, yang biasanya selalu mendominasi di Kota Lin, merasa sedikit frustrasi karena Chira pernah berkata:
"Kakak ini adalah gadis yang tidak akan pernah bisa kau kejar."
Di reuni sekolah beberapa waktu kemudian, seseorang yang nekat bertanya pada Shen Zul setelah mabuk:
"Ipan, apakah kau jatuh cinta pada Chira pada pandangan pertama, atau karena waktu yang membuatmu jatuh hati?"
Shen Zul hanya tersenyum tanpa menjawab. Namun, pikirannya tiba-tiba melayang ke momen pertama kali Chira membuatkan koktail untuknya. Di tengah dentuman musik yang memekakkan telinga, entah kenapa dia mengatakan sesuatu yang Chira tidak bisa dengar dengan jelas:
"Setelah minum minumanmu, aku milikmu."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pria Bernada, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Zul, Lo Berubah"
Chira baru balik ke sekolah sehari kemudian, dan meja dia entah udah dirapihin sama siapa.
Nabila, yang liat Chira muncul lagi setelah lama ngilang, langsung girang banget, “Rara, akhirnya lo balik! Gue udah bilang lo nggak mungkin nyontek.”
Chira senyum tipis, “Udahlah, nggak usah bahas-bahas itu lagi.”
Setelah insiden kepala pengajar minta maaf di depan seluruh sekolah, Chira sekarang jadi terkenal.
Semua orang tahu kalo di kelas 8 sains kelas tiga ada satu jenius hebat, nggak cuma keren sendiri, tapi bahkan bokapnya juga keren parah.
Chira masih duduk satu meja sama Nabila, bedanya sekarang, di bangku belakang yang biasanya Fajar dudukin sendirian, udah ada temen sebangku baru.
“Hei, Zul, kenapa lo pindah duduk sama gue? Bukannya dulu lo sering bilang gue ribut pas lo tidur?” Fajar nanya ke Zul yang lagi rebahin kepala di meja.
“Ada masalah?” Nada suara Zul kayak males banget digangguin.
“Enggak ada, kok.”
Pas banget guru fisika, Pak Ajat, masuk ke kelas. Begitu masuk, dia ngeliatin bangku belakang tempat Zul sama Fajar duduk bareng, dan natap mereka beberapa detik. Sampai Fajar nggak tahan sama tatapan itu, dia dorong tangan Zul yang duduk di sebelahnya.
Akhirnya, Zul ngangkat kepala, tapi keliatan banget terganggu dari tidurnya, aura di sekitarnya penuh sama rasa nggak puas.
Fajar pelan-pelan geser dikit. Dia tahu betapa buruknya temperamen Zul waktu bangun tidur, soalnya dia pernah nggak sengaja tidur satu kasur sama Zul.
Karena ini kelas Pak Ajat, Zul nggak balik tidur. Dia nyangga dagu pake tangan kiri sambil nyipit-nyipitin mata, sambil atur posisi duduk.
Baru deh Pak Ajat mulai ngajar.
Chira, pas ikut pelajaran, punya kebiasaan ngikutin alur pikir guru dan nyatet materi di buku catatan.
Tapi, ada orang di belakang dia yang kayak nggak tau mau naruh kakinya di mana, malah seenaknya ngelurusin kaki sampai nyentuh kursinya. Nggak cuma itu, kakinya sering gerak-gerak.
Chira akhirnya nggak tahan dan nengok ke belakang. Zul yang liat tatapan Chira langsung berhenti gerak.
Pas istirahat, kursi Chira lagi-lagi ditendang dari belakang.
Chira: “...”
“Kecil, sini dulu.” Suara malas seorang cowok kedengeran dari belakang.
“Ada apa?”
“Nggak penting sih,” Zul senyum tipis, “pinjem catatan lo bentar.”
Fajar: “??”
Nabila: “??”
Anak-anak lain di sekitar yang kepo: “??”
Sejak kapan Zul belajar?
Dan pinjem catatan orang lain? Hal yang belum pernah kejadian, tapi terasa begitu alami di depan mereka. Bener-bener ngejutin.
“Zul, lo kenapa?” Fajar nggak percaya. Dia sama Zul udah temenan dari TK, dan dia belum pernah liat Zul serius belajar.
“Mau belajar, emangnya kenapa?” Zul ngelirik dia santai.
Fajar cuma bisa geleng-geleng sambil cekikikan. Dulu, pas Zul ngejar cewek populer di sekolah, Ripa, dia aja nggak pernah repot-repot belajar buat nyenengin ceweknya.
Gila, orang bisa berubah juga ya.
“Hei, kecil, lo mau pinjemin apa nggak?” Zul nanya lagi.
Chira akhirnya ngambil buku catatan hitam dari mejanya dan nyodorin ke meja belakang tanpa banyak omong.
“Kecil, gue nggak ngerti nih,” kata Zul.
“...”
“Kecil, ajarin gue dong.”
“...”
“Kecil...”
Ngerasa udah nggak tahan, Chira berbalik dan natap Zul, “Zul.”
Ekspresinya serius banget, kayak lagi marah, bikin Zul langsung diem.
Pas banget bel pelajaran berikutnya bunyi, dan Chira balik ngadep ke depan.
Pas waktu istirahat, Nabila nyenggol Chira pelan-pelan, “Rara, ada apa sih antara lo sama Kak Zul?”
Chira: "..."
Awalnya, dia pengen jawab “nggak ada apa-apa,” tapi setelah mikir sejenak, dia jawab, “Temen.”
“Temen? Temen kayak gimana?”
Namanya juga cewek, gosip emang udah sifat alami.
“Temen biasa aja.” Chira ngomong tegas, kayak mau nutup pembicaraan.
Nabila sebenernya pengen nanya lebih lanjut, tapi inget yang lagi dibicarain duduk persis di belakang mereka, dia nahan diri dan ngelihatin topik obrolan, “Rara, anak-anak dari Sekolah Nanshi yang dateng ke sini, mereka semua temen deket lo ya?”
Chira ngangguk, “Sebagian besar, iya.”
“Pantes aja mereka bela lo abis-abisan. Lo nggak tau, cewek yang kemarin naik ke panggung itu luar biasa tegas, bahkan negur kepala sekolah kita.”
Chira senyum tipis, emang itu khas banget dari Dara.
“Eh, Chira, lo deket banget ya sama Dara?” Tiba-tiba Fajar yang duduk di belakang ikutan nimbrung.
Chira natap dia, “Hmm?”
“Jangan liatin gue kayak gitu,” Fajar ketawa canggung, “Perempuan cantik emang harus dikejar, kan? Bukannya ini hal normal?”
Nabila langsung ketawa ngeledek, “Ayolah, lo mimpi. Jelas-jelas dia dewi, lo apa pantes?”
“Dara bakal balik ke sekolahnya dalam dua hari.” Chira dengan satu kalimat udah ngejelasin betapa kecilnya kemungkinan Fajar bisa deket sama Dara.
Tapi Fajar nggak menyerah, “Hubungan jarak jauh itu soal gampang. Chira, cepet kasih tau gue, apa yang Dara biasanya suka? Dia suka pergi ke mana?”
“Kalau penasaran, kenapa nggak tanya langsung sama gue aja?” Tiba-tiba suara cewek di atas kepala Fajar bikin dia kaget.
Dalam sekejap, ada dua tangan yang menyangga meja di kedua sisinya. Pas Fajar nengok, dia langsung ketemu sama sepasang mata genit punya Dara yang senyum setengah. Mata itu punya aura yang bikin jantungnya dag-dig-dug nggak karuan.
Aksi menggoda ini bikin Chira inget kalau Dara emang bener-bener “ratu player” yang jago.
Cuma ngegoda tanpa tanggung jawab. Dara terus ngeluarin tangannya dari meja dan ngeliat ke Chira, “Lo kok susah banget dihubungin? HP lo cuma buat pajangan ya?”
Chira angkat bahu, “Mati.”
“Malam ini kita makan malam bareng Dewi dan yang lain, jam tujuh. Saran gue, jangan cari-cari alasan buat batal atau telat.”
Chira: "..."
Jelas banget, kali ini dia nggak bisa ngeles.
“Dara, boleh nggak gue ikut?” Fajar nggak nyia-nyiain kesempatan buat lebih deket.
Dara natap dia lagi, senyum genit muncul di wajahnya, tapi jawabannya tegas dan jelas, “Nggak boleh.”
Pas bel tanda masuk bunyi, Dara mau pergi, tapi ada yang manggil dia.
“Dara,” suara itu dari seseorang yang bahkan nggak pengen dia liat sama sekali, sepupunya sendiri, “Tante semalem nelepon gue, katanya gue harus jaga lo baik-baik.”
Baru kali ini Chira tau kalau ada hubungan keluarga antara Dara dan Zul.
“Oh, tolong deh, jangan kayak gitu,” Dara buru-buru nolak, “Lo urusin urusan lo, gue urusin urusan gue.”
“Tapi nyokap gue minta lo makan malam di rumah malem ini.”
Dara: "..."
“Zul, lo sengaja nyari gara-gara ya? Mana mungkin nyokap lo tau gue ada di Lin City?”
“Nyokap lo ngomong ke nyokap gue, makanya dia tau,” Zul senyum dengan nada ngeselin, “Begini aja, biar gue yang urus nyokap gue, sebagai gantinya, lo utang budi sama gue. Gimana?”
Dara belum tau apa rencana Zul, tapi dari pengalamannya, urusan sama Zul biasanya bawa masalah.
“Jadi gimana? Mau nerima atau nggak? Kalau nggak, bisa jadi nyokap gue bakal nelepon lo langsung nanti.”
“Baiklah, lo menang.” Dara akhirnya nyerah.