Ratri Swasti Windrawan, arsitek muda yang tidak ingin terbebani oleh peliknya masalah percintaan. Dia memilih menjalin hubungan tanpa status, dengan para pria yang pernah dekat dengannya.
Namun, ketika kebiasaan itu membawa Ratri pada seorang Sastra Arshaka, semua jadi terasa memusingkan. Pasalnya, Sastra adalah tunangan Eliana, rekan kerja sekaligus sahabat dekat Ratri.
"Hubungan kita bagaikan secangkir kopi. Aku merasakan banyak rasa dalam setiap tegukan. Satu hal yang paling dominan adalah pahit, tetapi aku justru sangat menikmatinya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Keputusan Mengejutkan
Setelah tiba di terminal, Ratri sengaja tidak menghubungi siapa pun. Dia memilih pulang ke tempat kost, dengan menggunakan angkutan kota.
Beberapa saat kemudian, Ratri sudah tiba di tempat tujuan. Dia ingin langsung mandi dan beristirahat. Mengumpulkan tenaga untuk kembali beraktivitas esok hari.
Namun, niat Ratri sepertinya akan sedikit terganggu, saat melihat seorang pria yang sudah menunggu. Malas, Ratri menghampiri pria itu.
"Kamu dari mana saja?" tanya seseorang, yang tak lain adalah Prama. Raut khawatir tergambar jelas di paras tampan khas pria Indonesia.
"Aku baru pulang dari Bandung," jawab Ratri, seraya menatap sesaat pria berkulit sawo matang di hadapannya. "Kenapa kamu ada di sini?"
"Ya, ampun." Prama menggeleng tak percaya. "Aku hanya kebetulan lewat sini. Lagi pula, semua orang mengkhawatirkanmu karena tiba-tiba menghilang," ujarnya.
"Semua orang?" ulang Ratri, seraya menautkan alis.
Prama tersenyum hangat, sambil berjalan mendekat. Dia mengangguk pelan. "Ya. Aku, Elia. Kami sangat mengkhawatirkanmu. Kenapa kamu pergi secara diam-diam?" tanya pria dengan potongan rambut belah pinggir itu penasaran. Rambut gelap mengilap, dan terlihat sangat terawat.
"Oh, aku ...." Ratri terdiam sejenak karena merasakan telepon genggamnya bergetar. Dia yakin itu pasti panggilan dari Eliana.
Perkiraan Ratri tidak keliru. Nama sangat rekan kerja tertera di layar.
"Sebentar. Aku harus menjawab ini dulu," ucap Ratri, agak menjauh dari Prama. "Iya, El," sapanya cukup pelan.
"Kamu di mana?" tanya Eliana.
"Aku baru tiba di tempat kost," jawab Ratri.
"Astaga. Kenapa tidak menghubungiku? Bukankah sudah kubilang tadi, aku yang akan menjemputmu ke terminal," ujar Eliana agak sewot.
"Sudahlah. Aku tidak apa-apa. Lagi pula, kamu pasti sedang sibuk dengan pekerjaan. Jadi ...."
"Aku tidak tahu ada apa denganmu akhir-akhir ini. Kamu seperti menyembunyikan banyak hal dariku."
Ratri tak segera menanggapi. Dia tersenyum kikuk, meskipun Eliana tidak bisa melihatnya. "Itu hanya pikiranmu, El," bantah Ratri, berusaha tak terpengaruh.
Eliana mengeluh pelan, sebelum bicara lagi. "Besok kamu ke kantor, kan?"
"Ya. Tentu. Ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan tepat waktu."
"Kupikir, kamu masih dalam suasana berkabung. Jadi, kamu istirahat saja dulu. Tenangkan pikiran." Nada bicara Eliana mulai terdengar seperti biasa. Lembut dan bersahabat di telinga.
"Kurasa akan lebih baik dengan beraktivitas. Dengan begitu, aku jadi tidak banyak melamun." Ratri menoleh sekilas pada Prama, yang setia menunggu. "Aku sedang bersama Prama. Dia tiba-tiba sudah ada di depan tempat kost" bisiknya.
"Ow. Semoga dia bisa menghiburmu," ujar Eliana menanggapi. "Ya, sudah. Aku juga harus bersiap-siap. Ada acara makan malam bersama orang tua Sastra. Semoga saja mereka berhasil membujuk pacarku itu untuk segera melamarku." Eliana mengakhiri kalimatnya dengan tawa renyah. Dia terdengar begitu bersemangat.
Namun, hal sebaliknya justru dirasakan Ratri. Entah mengapa, ada rasa tak suka mendengar apa yang Eliana ucapkan tadi. Hingga panggilan berakhir, Ratri masih merasakan ganjalan besar dalam dada.
"Maaf, Pram. Aku sangat lelah. Kita bicara lain kali saja," ucap Ratri, setelah kembali ke hadapan Prama.
"Kamu yakin tidak apa-apa?" tanya Prama khawatir. "Kamu terlihat lain," ujarnya kemudian.
"Jangan khawatir. Aku baik-baik saja. Aku hanya butuh istirahat." Ratri memaksakan tersenyum.
"Ya, sudah. Kalau begitu, aku pulang dulu," pamit Prama. "Bagaimana jika kapan-kapan kita keluar?"
Ratri tidak segera menjawab. Dia hanya menanggapi dengan senyum simpul, kemudian mengangguk pelan.
"Baiklah. Bye." Prama masuk ke mobil. Tak berselang lama, sedan hitam miliknya melaju tenang meninggalkan jalan depan tempat kost Ratri.
Sepeninggal Prama, Ratri bergegas masuk. Setelah tiba di dalam kamar, dia langsung merebahkan diri di matras, sambil menatap langit-langit. Pikirannya melayang jauh entah ke mana.
......................
Seperti yang Eliana katakan tadi siang. Malam itu, kedua orang tua Sastra bertandang ke kediamannya. Mereka disambut baik oleh orang tua Eliana.
Carson Chandler, pria berusia hampir 60 tahun berdarah Skotlandia. Setelah sang istri tiada, Carson kembali terpikat dan menikahi wanita Indonesia. Carson Chandler merupakan pengusaha dalam beberapa bidang di sana. Kekayaannya tak perlu dipungkiri lagi.
"Kamu tampan sekali malam ini, Honey," sanjung Eliana, seraya berbisik tepat di telinga Sastra. Dia terlihat sangat ceria, membayangkan pertunangan yang akan segera dilangsungkan.
"Kamu juga sangat cantik," balas Sastra, diiringi senyum kalem. Namun, dia hanya menoleh sekilas pada Eliana, sebelum kembali menyimak obrolan orang tuanya dan orang tua sang kekasih.
Di awal perbincangan, mereka membahas masalah seputar bisnis. Makin lama, obrolan terus mengalir ke topik lain, hingga tiba pada niat utama kedatangan keluarga Sastra ke sana.
"Sebenarnya, saya ingin Sastra menetap di Skotlandia setelah menikah nanti," ucap Carson penuh wibawa. Usia tua tak terlihat dari fisiknya, yang masih gagah dan tampan. Sangat terawat.
"Semoga Elia tidak keberatan harus tinggal jauh dari Indonesia," timpal Laras, ibu tiri Sastra,
"Tentu tidak, Tante. Aku senang dibawa ke manapun oleh Sastra," ujar Eliana, menanggapi ucapan calon ibu mertuanya.
"Elia sebenarnya sudah tidak sabar untuk melangsungkan acara pertunangan. Namun, kami tetap harus menunggu keputusan dari keluarga Sastra terlebih dulu. Apalagi, anda berdua jarang sekali berkunjung ke Indonesia," ucap Dhania, ibunda Eliana.
"Sebenarnya, saya sering mengajak papanya Sastra sering-sering pulang ke Indonesia. Tetapi, kesibukan mengalahkan segalanya." Laras tersenyum lembut, seraya menoleh kepada Carson yang menanggapi dengan senyum kalem.
"Saya menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada Sastra. Dia yang mengetahui betul jadwal serta kesibukannya saat ini. Makin cepat memang makin baik Lagi pula, kami juga ingin segera memiliki menantu." Carson mengalihkan perhatian pada Sastra, yang tidak banyak berkomentar.
Sastra hanya tersenyum simpul menanggapi ucapan sang ayah. Dia tak mengatakan apa pun. Entah apa yang dipikirkan pria tampan berkemeja putih, dengan lengan dilipat tiga per empat tersebut.
"Jadi, bagaimana Nak Sastra? Kira-kira, kapan kita bisa merencanakan pesta pertunanganmu dengan Elia?" tanya Baskara, ayahanda Eliana.
Sastra tidak segera menjawab. Dia justru menatap lekat Eliana, yang sedari tadi tidak melepas senyum manis penuh kebahagiaan. Harapan indah yang selama ini jadi impiannya, akan segera terwujud setelah Sastra memberikan keputusan.
Akan tetapi, senyum manis Eliana makin lama makin memudar, saat melihat ekspresi Sastra yang terlihat sangat datar. Wanita cantik berambut panjang itu merasakan ada sesuatu yang tak beres dengan sang kekasih. Eliana mulai resah.
"Honey," bisik Eliana, seraya menyenggol paha Sastra.
Sastra tersadar, lalu tersenyum simpul. "Maaf," ucapnya pelan, kemudian mengalihkan perhatian dari paras cantik Eliana.
"Jadi bagaimana?" Baskara bertanya sekali lagi.
"Saya ingin menunda rencana pertunangan kami," putus Sastra tanpa ragu.
makin seru aja niih...
lanjut lagi atuuh momy nya maher yg cantik jelita