Karena tidak ingin menyakiti hati sang mama, Garren terpaksa menikahi gadis pilihan mamanya.
Namun baru 24 jam setelah menikah Garren mengajukan perceraian pada istrinya.
Tapi perceraian mereka ada sedikit kendala dan baru bisa diproses 30 hari kedepan.
Bagaimanakah kisahnya? Apakah mereka akan jadi bercerai atau malah sebaliknya?
Penasaran? Baca yuk! Mungkin bisa menghibur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pa'tam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode dua dua.
"Mbak aku mau tas yang itu saja." Septy menunjukkan salah satu tas yang tidak kalah bagus dengan yang dipegang oleh Anindita.
"Gak salah kamu? Heh miskin, jangan sok-sokan beli barang mahal deh."
"Emang masalah buat kamu? Dan aku juga tidak minta dibayarin sama kamu. Dan ingat, kesombongan mu akan menghancurkan hidupmu!"
Septy tidak peduli lagi dengan cacian dan hinaan dari Anindita. Ia mengambil tas yang diberikan oleh pelayan kepadanya.
"Hey tunggu! Kamu yakin mampu bayar? Lihat harganya, nanti kamu akan menangis darah."
Septy melihat harganya dan kemudian tersenyum. "Mbak, satu lagi tas yang sama harganya dengan ini."
"Baik Nona," jawab pelayan.
Dari kejauhan Garren memperhatikan Septy, ia ingin lihat sejauh mana Septy bisa menyelesaikan masalah itu?
Namun Garren tersenyum karena Septy membalas hinaan Anindita dengan cara elegan.
Septy hendak berjalan ke kasir untuk membayar tas miliknya. Sementara Anindita tersenyum sinis memperhatikan Septy membayarnya.
Septy memberikan kartu hitam miliknya kepada pegawai kasir. Kemudian langsung digesek oleh pegawai kasir.
Anindita melongo karena pembayaran dua tas berhasil. Karena kurang puas, ia merebut kartu hitam milik Septy.
"Darimana kamu mendapatkan kartu hitam ini?" tanya Anindita.
Anindita belum melihat logo dari kartu hitam tersebut. Jadi dia belum tahu jika kartu hitam itu adalah milik keluarga Henderson.
"Kamu pasti menjual diri, kan?"
Plaak ...
"Tutup mulutmu! Dari tadi aku sudah berusaha bersabar. Tapi kamu malah semakin keterlaluan!" Septy menunjuk wajah Anindita.
Ia benar-benar sudah kehilangan kesabaran, ditambah lagi mood nya sedang tidak baik-baik saja.
Anindita terdiam mematung memegang pipinya yang terasa perih. Tamparan Septy tidak main-main. Sehingga tercetak lima jari dipipi Anindita.
"Bagaimana mungkin dia seberani ini? Dulu saat sekolah dia diam saja saat ditindas," batin Anindita.
Septy berbalik hendak pergi setelah mengambil kembali kartu hitam miliknya dari tangan Anindita.
Baru beberapa langkah, Anindita segera menjambak rambut Septy dari belakang. Sehingga wajah Septy mendongak keatas.
Septy menangkap tangan Anindita, kemudian ia memutar tubuhnya sehingga tangan Anindita terpelintir.
Anindita menjerit, dan jambakan nya pada rambut Septy pun terlepas. Septy menimpuk kaki Anindita dengan kakinya.
Sehingga Anindita terjatuh kelantai. Para pengunjung dan pelayan pun tertawa melihatnya.
"Kamu pikir aku masih Septy yang dulu? Sekarang aku bisa saja menghancurkan keluargamu," ucap Septy.
"Sayang, sudah selesai?" tanya suara berat dari arah belakang.
"Sudah sayang, ini aku beli tas," jawab Septy berubah manja.
"Garren?" gumam Anindita.
"Oya, karena kamu mengganggu istriku, maka aku akan bekukan perusahaan papamu. Biar kamu merasakan bagaimana rasanya menjadi orang miskin!"
"Jangan, Garren. Tolong jangan lakukan," ucap Anindita memohon.
"Bukannya kamu tadi begitu sombong? Sehingga menghina orang lain," tanya Garren.
"Aku minta maaf Garren, Septy tolong bujuk Garren agar tidak membekukan perusahaan papaku."
Garren tidak peduli, kemudian ia mengetik sesuatu diponsel nya. Dan dalam sekejap, aset perusahaan milik orang tua Anindita pun dibekukan.
Dan juga kartu kreditnya pun tidak bisa digunakan lagi. Anindita menangis di lantai. Anehnya tidak ada seorangpun yang merasa kasihan padanya.
Garren membawa Septy pergi dari tempat itu. Ia tidak ingin berlama-lama melihat Anindita. Dari tadi Garren menahan diri saat istrinya dihina.
Sementara Anindita tidak berdaya, apalagi tubuhnya terasa sakit karena jatuh ke lantai. Ditambah lagi kartunya tidak bisa berfungsi sama sekali.
"Sombong sih, keluarga Henderson dilawan," ucap penjaga kasir. Ia tahu saat melihat kartu hitam yang diberikan Septy sebagai pembayaran.
Anindita perlahan bangkit, ia tidak jadi membeli tas tersebut. Beruntung manager toko masih berbaik hati mau menerima tas itu kembali.
Dengan langkah lesu dan jalan tertatih-tatih, Anindita keluar dari mall tersebut. Ia tidak habis pikir, mengapa Septy bisa menjadi istrinya Garren.
Padahal ia dulu pernah mengejar-ngejar Garren, namun tidak digubris sedikitpun. Akhirnya Anindita pun menyerah karena ancaman Garren kepadanya.
Dan sekarang ancam itu sudah terlaksana. Dan Garren benar-benar membekukan perusahaan papanya.
Sementara Septy dan Garren sedang berjalan-jalan di mall. "Mas, maaf ya. Aku beli tas sampai dua dan harganya sangat mahal. Habisnya aku jengkel sih," ucap Septy.
Garren malah tersenyum, bahkan mengecup pipi Septy dengan lembut. Septy melotot karena Garren mengecupnya didepan umum.
"Mas, gak lihat tempat."
"Berarti kalau tidak ada orang, mau dong?"
Septy tidak menjawab, ia malah berjalan cepat mencari yang ia inginkan. Ia melarang Garren untuk ikut, karena ia malu jika dilihat Garren.
"Aku sudah sering beli itu untuk kakakku," kata Garren.
"Ya tetap saja aku malu. Jangan lihat!"
Garren malah merasa tingkah Septy sangat lucu. Garren hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah istrinya itu.
"Kok aku baru tau jika ada sifat manjanya," batin Garren.
Kemudian ia hanya memperhatikan Septy dari kejauhan. Ia tidak mengikuti Septy saat membeli kebutuhannya.
"Sudah selesai?" tanya Garren saat Septy mendekatinya.
"Sudah," jawab Septy.
Garren dan Septy pun akhirnya pulang, karena sudah tidak ada lagi yang ingin Septy beli.
"Mas, apa benar kamu membekukan perusahaan orang tuanya Anin?"
"Hmmm, aku hanya ingin memberikannya pelajaran. Biar dia merasakan, bagaimana rasanya menjadi orang miskin."
Septy tidak lagi bertanya, pasti ada alasannya sehingga suaminya melakukan itu. Dan dia tidak ingin ikut campur.
Garren membuka pintu mobil untuk Septy, Septy tersenyum lalu mengucapkan terima kasih.
Garren menjalankan mobilnya perlahan keluar dari parkiran tersebut. Setelah itu barulah ia melajukan mobilnya saat sudah berada dijalan raya.
"Mas, kapan kamu merenovasi rumah panti?"
"Setelah kamu pulang dari panti. Dan aku mengikuti mu."
"Jadi Mas tahu kalau aku dari panti?"
Garren menggeleng, karena ia tidak menyelidiki Septy lebih jauh. Dan juga waktu itu ia tidak begitu tertarik dengan kehidupan Septy.
Yang Garren tahu, Septy tinggal sendiri dan kedua orang tuanya sudah meninggal. Yang lain-lain yang berkaitan dengan Septy Garren tidak ambil tahu.
"Aku juga baru tahu jika ada panti didaerah itu. Dan kawasan cukup jauh dari perkotaan."
"Iya Mas, dan tidak ada donatur tetap di panti tersebut. Dulu almarhum bapak Murad lah yang bekerja untuk kami. Dan aku jualan kue buatan orang untuk mencari uang, berharap bisa meringankan beban bapak dan ibu."
Septy tidak dapat membendung airmata nya mengingat bagaimana nasibnya? Bagaimana bapak dan ibu panti membesarkan mereka.
Hingga pak Murad meninggal dunia karena kelelahan dalam bekerja. Itulah sebabnya Septy selalu menyisihkan sebagian gajinya untuk Bu Sum.
Garren menepikan mobilnya dipinggir jalan, ia merangkul istrinya dan membiarkan istrinya menceritakan tentang perjalanan hidupnya.
Hingga Septy kuliah dan keluar dari panti, sampai ia bekerja paruh waktu demi menyambung hidup.
Garren mengelus kepala istrinya yang menangis sesenggukan. Hatinya yang rapuh semakin rapuh saat mengingat masa-masa sulit hidupnya.
semngat thor..
itu sih yg aq tau dari ceramah nya UAS