Alana, seorang gadis yang harus tinggal bersama keluarga Zayn setelah kehilangan kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan tragis, merasa terasing karena diperlakukan dengan diskriminasi oleh keluarga tersebut. Namun, Alana menemukan kenyamanan dalam sosok tetangga baru yang selalu mendengarkan keluh kesahnya, hingga kemudian ia menyadari bahwa tetangga tersebut ternyata adalah guru barunya di sekolah.
Di sisi lain, Zayn, sahabat terdekat Alana sejak kecil, mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Alana telah berkembang menjadi lebih dari sekadar persahabatan. Kini, Alana dihadapkan pada dilema besar: apakah ia akan membuka hati untuk Zayn yang selalu ada di sisinya, atau justru untuk guru barunya yang penuh perhatian?
Temukan kisah penuh emosi dan cinta dalam Novel "Dilema Cinta". Siapakah yang akan dipilih oleh Alana? Saksikan kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nungaida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Jam terakhir pelajaran olahraga, Lana duduk bersama Zayn di tangga depan lapangan yang ramai oleh teman-teman mereka yang berlatih. Suara tawa dan sorakan menyelimuti lapangan, tetapi Lana tenggelam dalam pikirannya, menatap kosong ke arah lapangan.
Zayn meliriknya sejenak dan bertanya, "Kamu udah selesai mengecatnya?"
"Aku malah menghancurkannya... huhu," jawab Lana dengan wajah murung.
"Apa lagi yang dilakukan anak ini." batin zayn.
"Za..." panggil Lana.
"Hmm? Kenapa, La?"
"Za, menurut kamu aku bisa, nggak ya... dekat sama Om yang tinggal di bawah rumah kita?" tanyanya, matanya berbinar penuh harap.
"Guru praktik Bahasa Inggris yang baru itu? Kenapa?" tanya zayn. Ia mencoba terlihat tenang meskipun hatinya mulai terasa panas.
"Aku cuma pengen tahu lebih banyak tentang dia... apa hobinya, apa yang bisa bikin dia tersenyum tanpa alasan, kebiasaannya yang dia lakukan tanpa sadar, atau hal-hal kecil yang mungkin bagi orang lain biasa aja tapi bagiku terasa spesial," ujar Lana sambil tersenyum tipis, seolah sedang membayangkan sosok yang ia bicarakan ada tepat di hadapannya.
Zayn terdiam, menelan perih yang semakin mendalam. Ia tahu Lana sedang mengungkapkan rasa sukanya pada guru bahasa inggris itu secara tidak langsung. Dia ingin tetap menjadi orang yang selalu mendukung setiap hal yang ingin dilakukannya, tetapi kali ini, rasa sakit itu terlalu menusuk. Seolah ribuan duri menghujam hatinya, meninggalkan luka yang tak mudah ia sembunyikan.
Dalam hatinya yang terluka, Zayn berbisik getir, "Andai saja orang itu aku… andai saja senyum itu untukku. Aku pasti akan berjuang habis-habisan buat bikin kamu bahagia, La. Tapi di matamu, aku hanyalah keluarga… bukan seseorang yang bisa kamu cintai."
Panggilan dari lapangan tiba-tiba memecah keheningan. “Oi, Zayn! Cepat sini, bro!” teriak salah seorang temannya.
“Aku mau main bola dulu sama anak-anak,” kata zayn, suaranya nyaris bergetar. Ia berdiri, memaksakan senyum agar Lana tak melihat hatinya yang hancur.
Tanpa menyadari perasaan Zayn, Lana tersenyum. "Oke, nanti pulang bareng, ya."
Langkah Zayn terhenti sesaat. “Hari ini... kamu pulang duluan aja,” sahutnya pelan, berpura-pura memperhatikan lapangan yang ramai.
Lana mengernyit, “Ah... aku kan mau lihat-lihat dulu,” gumamnya sambil menunduk, nada suaranya sedikit lesu.
Dari bangku tangga, Lana tetap memperhatikan Zayn yang mulai pemanasan di lapangan. Tapi begitu melihat sosok Zidan di pinggir lapangan, fokusnya langsung beralih.
Pak Bakri, guru olahraga, melambaikan tangan ke arah Zidan. “Pak Zidan…!” panggilnya.
“Iya, Pak!” Zidan berhenti sejenak dan menoleh.
Pak Bakri menghampirinya dengan langkah cepat. "Anak-anak mau main bola, tapi kurang satu pemain. Ikut main, ya?"
Zidan tampak berpikir sejenak, lalu tersenyum. “Oh iya? Jam mengajar udah selesai sih... jadi saya ikut deh,” jawabnya bersemangat.
"Bagus, bagus!" seru Pak Bakri, menepuk bahunya sambil menggiringnya ke tengah lapangan. "Akhirnya, dari kemarin aku incar buat rekrut kamu... berhasil juga hari ini, hahaha!"
“Eh, Pak, tapi saya harus ganti sepatu dulu…” ujar Zidan sambil menatap sepatu kerjanya yang jelas tak cocok untuk olahraga.
Dari bangku tangga, Lana tak melepaskan pandangannya. Ketika Zidan selesai mengganti sepatu dan melipat lengan kemejanya hingga siku, ia tak bisa berpaling. Gaya Zidan yang rapi namun siap berolahraga membuat sosoknya terlihat lebih menarik. Lana tersenyum kecil, merasa kagum dengan aura tenangnya.
“Apa dia jago main bola?” Batin Lana, matanya terus mengikuti setiap gerakan Zidan.
Saat Zidan memasuki lapangan, ia menyapa para siswa, termasuk Zayn. “Senang bertemu denganmu, Zayn,” ucapnya dengan ramah.
Namun, Zayn hanya menatapnya dengan sorot mata mengevaluasi, tanpa membalas sapaan itu.
Zidan merasa sedikit canggung karena diacuhkan. Dalam hati, ia bertanya-tanya, "Kenapa dia nggak membalas?" Meski begitu, Zidan tetap mempertahankan senyumnya, berusaha menjaga sikap profesional.
“Oh iya, Pak,” ujar Zayn dengan nada sedikit tajam, “kalau nanti baju yang bapak kenakan nggak nyaman atau sampai sobek, jangan dijadikan alasan, ya.”
Zidan terdiam sejenak, tampak sedikit heran, lalu ia tertawa, “Hahaha!!! Jangan khawatir, aku nggak berencana untuk kalah.” Balasnya sambil memasang senyum miring yang penuh percaya diri.
Zayn menatap Zidan dengan sorot mata tajam, seolah memperhitungkan makna dari senyum miring itu, ia merasakan tantangan yang tersirat di dalamnya.
Priiiit! Tiupan peluit dari Pak Bakri memecah suasana. "Ayo bersiap dengan posisi masing-masing! Pertandingan segera dimulai!" serunya, membangkitkan semangat semua siswa di lapangan.
Setelah peluit panjang berbunyi, Zidan segera menggiring bola dengan gesit, sementara Zayn berusaha menjaganya dari depan, berusaha menahan agar Zidan tidak melewatinya.
“Tahan dia…!” teriak rekan setim Zayn yang mulai berlari mendekati mereka.
Zidan mulai mendribel, menggocek bola secara bergantian antara kedua kakinya, hingga membuat Zayn terkecoh. Ia berlari memutari tubuh Zayn dengan penuh percaya diri. “Yang tadi itu fake!!” seru Zidan.
Zayn terkejut, sementara teman setimnya segera menjegal Zidan dari arah samping, membuat Zidan tersungkur.
“Bruk!” Suara tubuhnya mendarat di lapangan disertai pekik kesakitan. “Ahh...!”
Priiit! Pak Bakri mengacungkan kartu kuning kepada siswa yang melakukan pelanggaran, menandakan bahwa tendangan bebas diberikan untuk tim Zidan.
Meskipun terjatuh, Zidan segera bangkit dan bersiap menendang bola. Ia memusatkan pandangannya pada gawang yang dijaga ketat oleh beberapa pemain lawan. Namun, semangatnya tak surut. Dengan tekad membara, ia mengambil ancang-ancang untuk menendang bola sekuat tenaga.
“Ayo, Pak Zidaaan! Pasti bisa!” seru para siswi di pinggir lapangan, histeris menyemangati Zidan yang bermain.
Lana menatapnya dengan penuh harap, tetapi hatinya dilema. Di satu sisi, ia ingin Zidan bermain dengan baik dan mencetak gol. Namun, di sisi lain, ia ingin menyemangati zayn, yang juga bermain dalam tim lawan.
Zidan menendang, tetapi tendangannya melenceng tipis di atas gawang. “Aaah...gagal deh!" gumamnya sambil menghela napas, merasakan ketidakpuasan mengalir dalam dirinya.
Permainan dilanjutkan, dan para pemain kembali berebut bola.
Dari kejauhan, Airin menatap lapangan setelah mencuci tangan. Ia melihat Lana yang tampak fokus menonton permainan. "Apa yang disukai Lana adalah anak yang selalu bersamanya?" batin Airin, sambil mengalihkan pandangannya ke arah Zayn.
“Buat apa aku tahu?!” sangkalnya, lalu ia berbalik dan berjalan pergi.
Di lapangan, pertandingan kembali memanas. Zidan berlari kencang membawa bola, tanpa sadar bahwa di depannya ada Zayn yang tiba-tiba menghadang.
Brak! Zidan menabrak Zayn yang berdiri di depannya, membuat keduanya terjatuh.
"Suara peluit menggema di lapangan, menandakan akhir dari permainan yang mendebarkan. 'Prit... prit... priiiiiit!' suara Pak Bakri mengalun, membuat semua orang terdiam sejenak dalam suasana tegang yang masih terasa di udara."
Rekan-rekan setim Zayn segera mengerubunginya. “Kamu nggak apa-apa? Nggak ada yang luka, kan?” tanya mereka dengan cemas.
Tak jauh berbeda, Zidan juga dikerubungi oleh timnya. “Bapak baik-baik saja?” tanya mereka khawatir.
“Iya, bapak nggak papa,” jawab Zidan sambil tersenyum.
Lana menghampiri Zayn dan memberinya sebotol air mineral. "Tumben, kamu mainnya semangat banget hari ini."
Zayn tak mampu menjawab. Ia menenggak minumannya dengan napas memburu, tampak kelelahan setelah pertandingan yang intens.
Zidan berjalan mendekati mereka. "Aku melihat kalian di sini, jadi kayak baru, ya?" ucapnya. Lana dan Zayn otomatis menoleh.
Zidan melanjutkan sambil tersenyum, "Zayn, permainanmu bagus juga. Lain kali, ayo bertanding dengan lebih serius."
"Aku nggak terbiasa bertemu om di sini. Tiba-tiba muncul di sekolahku, jadi membuatku bingung," sahut Lana.
“Alana,” panggil Zidan. Suaranya mengalun lembut.
Alana tersentak dan menatap lurus ke arah Zidan. Jantungnya berdebar sedikit lebih cepat.
“Sekarang kamu nggak perlu bingung. Kamu bisa memanggilku Pak Zidan dengan nyaman,” kata Zidan sambil tersenyum hangat Lalau pergi meninggalkan mereka berdua.
"Zayn mengawasi Zidan dengan tatapan tajam, dahi berkerut seolah menahan amarah. Setiap kata yang keluar dari mulut Zidan hanya semakin memperdalam rasa cemburunya." Ia berusaha mengontrol emosinya dan segera mengajak Alana kembali ke kelas untuk mengambil tas mereka.
Setibanya di kelas, Zayn malah merebahkan tubuhnya di atas meja, seperti biasa, dengan ekspresi lelah yang terpancar di wajahnya.
"Za, kamu nggak pulang? Anak-anak udah pulang semua, loh!" tanya Alana, matanya berbinar saat menatap Zayn. Senyum kecil menghiasi wajahnya. "Pantesan kamu main semangat banget. Mau tidur dengan nyenyak, ya? Kalau gitu, aku pergi duluan, ya?"
Namun, saat Alana hendak melangkah pergi, Zayn tiba-tiba menahan tangannya. "Nanti saja," bisiknya dengan suara pelan, membuat Alana terkejut dan seketika khawatir.
"Za, ada apa?" tanyanya, melihat raut wajah Zayn yang pucat.
Zayn menghela napas, matanya yang biasanya cerah kini tampak sayu. "Aku sakit," lanjutnya dengan nada yang hampir tidak terdengar. Setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa berat, seperti ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa sakit fisik yang dialaminya.
Sesampainya di rumah, Zayn duduk di kasur empuknya, menundukkan kepala sambil memijat kakinya yang tampak sangat bengkak.
Alana yang baru masuk kamar Zayn langsung tersentak, "Astaga!!! Kakimu bengkak banget…! Jadi kamu benaran sakit?!"
Zayn hanya tersenyum tipis. "Emang kamu kira ini bohongan?" jawabnya.
"Aku kira... kamu cuma pura-pura…" gumam Alana pelan, rasa bersalah mulai menyusup ke dalam hatinya. Bagaimana bisa ia tidak menyadari kondisinya?
Alana menatap kaki Zayn yang bengkak. "Gimana kamu bisa sampai ke rumah dengan kondisi kaki yang kayak gitu? Seharusnya kamu naik taksi aja atau bis tadi za, kenapa malah jalan?!" Omel Alana.
Zayn terdiam sejenak lalu beralih menatap lurus ke alana. "Kamu kan masih belum bisa naik mobil La."
Deg.
Jantung Alana seakan diremas mendengar jawabannya. Zayn sebegitunya memikirkan traumaku sampai rela menahan sakit. Tapi tanpa tahu keadaanya..., aku malah membuatnya berjalan selama 30 menit.
"Za…" bisik Alana, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Dia merasa tak mampu mengekspresikan perasaanya saat itu.
"S-sebentar… aku ambilkan kompres dulu," ucapnya terbata."
Ia berbalik cepat untuk menyembunyikan air mata yang mulai jatuh. Hatinya terasa campur aduk, antara rasa syukur, sedih, dan bersalah karena telah menganggapnya sepele. Aku seharusnya lebih peka. Maafkan aku, Za.
Saat Alana pergi, Zayn menatap punggungnya dengan penuh perasaan. Dia tahu betapa dalam rasa takut Alana akan mobil, dan dia ingin melindunginya, bahkan jika itu berarti menanggung rasa sakitnya sendiri. Dalam keheningan, dia berharap agar Alana bisa mengerti bahwa perhatian dan pengorbanannya bukanlah beban, tetapi bentuk cinta yang tulus.