Mira adalah seorang IRT kere, memiliki suami yang tidak bisa diandalkan, ditambah keluarganya yang hanya jadi beban. Suatu hari, ia terbangun dan mendapati dirinya berada di tubuh wanita lain.
Dalam sekejap saja, hidup Mira berubah seratus delapan puluh derajat.
Mira seorang IRT kere berubah menjadi nyonya sosialita. Tiba-tiba, ia memiliki suami tampan dan kaya raya, lengkap dengan mertua serta ipar yang perhatian.
Hidup yang selama ini ia impikan menjadi nyata. Ia tidak ingin kembali menjadi Mira yang dulu. Tapi...
Sepertinya hidup di keluarga ini tak seindah yang Mira kira, atau bahkan lebih buruk.
Ada seseorang yang sangat menginginkan kematiannya.
Siapakah dia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rina Kartomisastro, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26
Akhirnya tiba juga di kediaman Keluarga Bratadikara. Rey mengemudikan mobil perlahan memasuki gerbang Graha Agung Paripurna.
Di belakangnya, duduk Theo dan Mira berdampingan. Mira yang tertidur dalam perjalanan, tanpa sengaja bersandar di bahu Theo.
Pria itu sebenarnya merasa tak nyaman, namun tak tega memindahkan kepala Mira di saat yang sama. Sehingga ia memilih diam saja.
"Sudah sampai, Tuan", ucap Rey.
"Bangun, Tante, " Theo akhirnya memberanikan diri mencolek Mira.
Mira mengernyitkan dahi sebelum matanya benar-benar terbuka. Ia mengangkat kepala dan mengedarkan pandangan. "Akhirnya sampai juga," katanya.
Seorang penjaga membantu membukakan pintu mobil untuk Mira. Wanita itu tak sadar sama sekali telah membuat lengan Theo kaku.
Setelah meregangkan lengan, Theo menyusul keluar mobil kemudian. Keduanya berjalan memasuki rumah bergantian.
"Wah, rame," celetuk Mira mendapati ruang tamu yang hampir setiap hari sepi itu, kini tiba-tiba dipenuhi seluruh anggota keluarga.
Ada Melinda, Bennu, Virgo, Mona, Boy, Emily, Max...
Wow, tumben lengkap sekali di sini!
Theo yang muncul dari belakang juga tampak kaget melihat keberadaan mereka semua di sana.
"Wah, ada yang baru pulang dari liburan berdua nih, sepertinya... " celetuk Mona.
"Seperti tante girang dengan berondongnya. Hahaha," Virgo menimpali sambil tertawa bersama Mona.
Terdengar suara hentakan kaki.
Semua menoleh. Lantas mendapati Emily dengan wajah cemberutnya bangkit berdiri lalu pergi ke kamarnya.
"Sebaiknya kalian menjaga jarak, jangan terlalu dekat," ucap Melinda memecah kesunyian.
"Kenapa kami harus menjaga jarak? Sejak kecil kami selalu sedekat ini," sahut Theo.
Mira menarik kedua sudut bibirnya, "Kami ini tante dan keponakan, Bu Direktur."
Bennu tampak kehilangan kesabaran. Pria itu bangkit dan menarik pergelangan tangan Mira.
Mira membiarkan tubuhnya ditarik seperti biasa, namun kini seperti ada yang menahannya.
Wanita itu terbelalak. Kini ia tak bisa bergerak. Tangan kanan ditarik Ben, sementara tangan kiri ditahan Theo.
"Theo, aku mau bicara dengan istriku sekarang."
"Tapi aku tidak ijinkan Om menariknya dengan kasar seperti ini."
Theo melihat ke arah Mira, lantas wanita itu hanya menggeleng.
"Kenapa aku harus bertindak sesuai dengan ijinmu? Sedang kamu tidak punya hak sedikit pun, " Ben tampak tertantang.
Virgo dan Mona saling berpandangan sambil tersenyum penuh makna melihat hal itu.
"Bisakah kalian akhiri ini dengan cepat? Aku tidak tahan lagi," ucap Melinda sambil memegangi pelipisnya.
Tiba-tiba Mira menarik tangan kirinya hingga terlepas dari Theo. "Kembalilah ke kamarmu, Theo. Aku akan bicara dengan suamiku."
Tak perlu menunggu lagi, Ben segera menarik tangan Mira. Membawa wanita itu ke dalam kamarnya.
Ben menghempas tubuh Mira begitu pintu kamarnya tertutup sempurna. Wanita itu pun bersimpuh di atas ranjang Ben.
"Aku sudah memperingatkanmu sejak awal. Jaga sikap. Sikapmu yang sembrono itu bisa merusak reputasiku, Mira!"
"Aku tidak melakukan apa-apa, selain liburan ke tepi pantai--"
"Kamu belum benar-benar sembuh, kamu masih hilang ingatan. Banyak orang yang mau memanfaatkanmu di luaran sana. Apalagi Theo. Kamu tidak akan tahu betapa bahayanya kehadiran dia di sini! Dia bilang akan segera pulang, tapi nyatanya? Kita tidak tahu apa yang direncanakan anak itu untuk menghancurkan keluarga kita! Aku tidak mau kamu dimanfaatkan, Mira."
"Memangnya kamu peduli sama aku?"
"Tentu. Kamu masih istriku."
Mira berdiri dari ranjang, mendekat ke arah Ben, dan menatapnya tajam. "Lalu kamu dimana waktu tahu aku harus dirawat di rumah sakit?"
Mata Ben berkeliaran ke sembarang arah, seolah bingung menjawab pertanyaan itu. "B-banyak pekerjaan yang harus kuurus di sini."
"Setidaknya hal pertama yang kamu tanyakan saat kita bertemu adalah keadaanku."
Ben sontak terdiam. Ia mengatupkan bibir sambil menelan ludah.
"Itu baru bisa disebut suami."
Mata Mira tampak berkaca-kaca. Wanita itu keluar dari kamar Ben, dengan membanting daun pintunya keras-keras.
***
Mira mengunci pintu kamar, setibanya ia di dalam. Wanita itu mengusap matanya yang mulai berlinang.
Ia tidak mengerti mengapa sikap Ben selalu terasa sangat emosional bagi dirinya. Sedangkan ia hanyalah orang lain.
Bagaimanapun Ben bukan benar-benar suaminya. Tetapi mengapa Mira selalu bisa merasakan emosi jika itu menyangkut Ben?
Mungkin, ini hanyalah empati yang dirasakan sebagai sesama istri. Mira Dania mengasihani Mira Mahalia yang menikah dengan pria seperti Ben.
Bisa jadi.
Mira menggelengkan kepala dengan kencang. Ia tak perlu berlama-lama bersedih untuk Mira. Ada hal yang lebih penting yang harus segera dilakukan.
Di atas ranjang, Mira membuka ponselnya. Ia mencari nama Janu dan segera mengetikkan sesuatu.
Nu, aku mau minta tolong hal penting dan rahasia.
***
