Bintang panggung dan penulis misterius bertemu dalam pertemuan tak terduga.
Rory Ace Jordan, penyanyi terkenal sekaligus sosok Leader dalam sebuah grup musik, terpikat pada pesona Nayrela Louise, penulis berbakat yang identitasnya tersembunyi.
Namun, cinta mereka yang tumbuh subur terancam ketika kebenaran tentang Nayrela terungkap.
Ikuti kisah mereka....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FT.Zira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. KCTT 15.
Gadis kecil itu memeluk tubuhnya sendiri kala hembusan angin dingin menerpa tubuhnya. Pakaian setengah basah yang melekat di tubuh si gadis seolah ingin memberitahukan bahwa halte yang menjadi tempat gadis itu berlindung dari tetesan air hujan malam itu tidak cukup untuk melindungi tubuhnya.
Dalam jarak beberapa meter, seseorang dengan mantel hujan yang menutupi tubuh serta wajahnya melangkah mendekati gadis itu. Sepatu boot yang dia kenakan meninggalkan jejak tanah dari setiap langkah yang dia ambil, sementara satu tangannya menggenggam sesuatu.
Langkahnya kian mendekat tanpa gadis itu sadari, menghadirkan senyum tipis di bibir remaja laki-laki yang melangkah semakin dekat sampai gadis itu menoleh ketika jarak mereka hanya tinggal satu jangkauan.
"Kakak,,,!"
Gadis itu berseru senang, lalu menyambut kedatangan remaja laki-laki yang ia sebut dengan panggilan kakak itu dan segera memeluknya.
"Hei,,, hei,,, Menjauh sebentar! Pakaianmu bisa basah, Louise," tegur remaja itu sambil menjauhkan tubuh gadis kecil darinya.
"Kak Nick berlebihan, itu kan hanya sedikit air," gadis itu menjawab manja, enggan melepaskan pelukannya dari sang kakak.
"Itu tetap bisa membuatmu demam," Nick menjawab, sementara satu tangannya masih dalam usahanya untuk menjauhkan tubuh sang adik dengan meletakkan dua jari di dahi adiknya disertai dorongan pelan.
"Ini juga sudah larut malam, tidak baik untukmu kalau basah karena air hujan," imbuhnya mengusap lembut puncak kepala sang adik.
"Ayo kita pulang!" ajak Nick mengulurkan tangan.
"Mhmm,,,," Louise menjawab disertai anggukan menyambut tangan sang Kakak.
Nick segera membuka payung yang ia bawa, mengarahkan hampir semua payung pada adiknya sekaligus memastikan sang adik tetap aman dari rintik hujan yang masih mengguyur kota. Sementara dirinya hanya mengenakan mantel hujan usang yang bisa ditembus air hujan.
"Maafkan kakak, Louise. Karena pekerjaan tambahan membuatmu menunggu lama dan pulang selarut ini," sesal Nick.
"Kak Nick tidak bersalah, hari ini Louise justru senang bisa membaca lebih lama di perpustakaan," jawabnya disertai tawa ringan.
"Kakak tahu tidak? Bibi Goldie mengatakan dongeng yang Louise tulis bagus, terus Bibi juga mengatakan dongeng yang aku buat bisa dikirimkan ke percetakan majalah," Louise berkata dengan antusias.
"Benarkah?" sambut Nick.
Nick menoleh ke arah adiknya, melihat anggukan pasti pada wajah sang adik yang kini tersenyum lebar.
"Woahh,,, Sepertinya, kakak memiliki seorang adik hebat sekarang, kakak bahkan tidak bisa melakukan itu," puji Nick.
"Itu karena aku memiliki seorang kakak yang hebat," jawab Louise menatap sang Kakak dengan senyum bangga.
"Eehh,,, Kenapa kakak? Bukankah kamu yang menulis dongengnya," sambut Nick.
"Tapi, aku tetap adik Kak Nick," jawab Louise.
"Baiklah, apapun yang kamu katakan selalu benar," sambut Nick tersenyum.
Mereka terus melangkah di bawah guyuran hujan dengan langkah pelan. Langkah kecil dari gadis berusia tujuh tahun itu tidak membuat Nick mempercepat langkahnya.
"Kak,,," panggil Louise memecah keheningan.
"Kenapa? Mau kakak gendong?" sambut Nick.
"Bukan," Louise menggeleng.
"Apakah mungkin dongeng yang aku buat bisa dijadikan buku seperti buku-buku yang ada di perpustakaan?" tanya Louise polos.
"Kenapa tidak?" sambut Nick.
"Jika kamu terus menulis dengan baik, kamu bisa menjadi penulis terkenal," imbuhnya.
"Sungguh?" Louise menghentikan langkahnya, menengadah menatap wajah sang Kakak.
"Apa dengan itu kita bisa memiliki banyak uang?" tanyanya lagi.
"Jadi kak Nick tidak perlu bekerja sampai malam lagi, dan kak Nick bisa mengajakku jalan-jalan," lanjutnya.
Nick menatap wajah adiknya dengan senyum lembut, menyembunyikan goresan luka di hatinya mengingat keadaan yang mereka hadapi.
Tanpa melepaskan senyum di bibirnya, Nick berlutut di depan sang adik, mensejajarkan tinggi mereka sembari memberikan usapan lembut di puncak kepalanya.
"Kamu adalah adik kakak yang terhebat di dunia, kamu pasti bisa menjadi penulis terkenal, tentu saja kamu juga akan memiliki banyak uang, bisa jalan-jalan kemanapun kamu mau. Tapi, kakak tetap harus bekerja untukmu," ucap Nick.
"Dan ketika kamu terkenal nanti, kakak akan mengatakan kepada semua orang bahwa kamu Nayrela Louise adalah adik kebanggan kakak." imbuhnya sembari menepuk dadanya sendiri dengan rasa bangga.
Apa yang dilakukan Nick sukses menghadirkan tawa dari Louise dimana sebelumnya memperlihatkan wajah murung.
"Tidak mau!" Louise menggelengkan kuat kepalanya.
" Louise tidak mau menggunakan nama Louise sendiri," ucap Louise setelah tawanya mereda.
"Mengapa begitu? Nanti, siapa yang akan mengenalmu?" tanya Nick bingung.
"Louise ingin menggunakan nama kak Nick," jawabnya.
"Kenapa nama kakak?" tanya Nick menaikan alisnya.
"Semua orang bisa tidak mengenalmu," ucap Nick.
"Uhm,,, Karena kak Nick yang terbaik. Orang-orang cukup tahu bukunya saja. Kalau orangnya kak Nick," jawabnya sambil terkikik.
"Lalu, bagaimana jika ada yang ingin meminta tanda tanganmu?" tanya Nick lagi.
"Kan ada kakak, jadi kakak yang memberikan tanda tangan," jawabnya tersenyum manja.
"Apapun yang adik kakak inginkan." sambut Nick mengangkat kedua tangan tanda menyerah.
"Tapi, rasanya tetap tidak cocok jika nama kakak yang kamu gunakan," Nick berkata lagi.
"Eemmm,,,," Louise bergumam untuk berpikir sejenak dengan meletakkan telunjuknya di dagu.
"Bagaimana kalau digabung?" tanya Louise pada akhirnya.
"Digabung bagaimana?" tanya Nick mengerutkan kening.
"Nama kakak dan Louise," jawabnya.
"Apakah kamu ada ide?" tanya Nick.
"Eemmm,,," Louise kembali bergumam sembari berpikir.
"Kita pulang dulu saja, pikirkan itu nanti!" ucap Nick seraya berdiri.
"Ayo,,,!." ajak Nick mengulurkan tangannya lagi.
Keduanya melanjutkan langkah mereka. Beberapa menit kemudian Louise kembali membuka suaranya,
"Kalau Nicloes, bagaimana menurut kakak?" tanya Louise tiba-tiba.
"Pengucapannya sedikit sulit, Louise," sambut Nick.
Jawaban dari sang Kakak sukses membuat Louise mengerucutkan bibir, menghadirkan suara tawa dari Nick ketika ia melihat wajah cemberut sang adik.
"Tapi, sekarang kakak terpikirkan satu nama yang bisa digunakan laki-laki ataupun perempuan," ucap Nick membuat Louise menatap wajah kakaknya penasaran.
"NYLOES," ungkap Nick menatap adiknya sembari tersenyum.
"Kenapa Nyloes? Itu sama saja nama aku sendiri kakak," protes Louise memasang wajah cemberut lagi.
"Kakak menggabungkan nama Nicholas dan Louise, ternyata nama kita unik ya?" ucap Nick tersenyum lebar.
"Eehhh,,, Tunggu Louise!" Nick segera menarik tangan adiknya saat mereka akan menyeberang jalan.
"Masih lampu merah," tegurnya.
"Tidak ada siapapun yang melihat, di sini juga sepi," jawab Louise tanpa beban.
"Tapi kakak melihat, dan itu tetap berbahaya," jawab Nick pura-pura marah.
"Iya,,, iya,,, Kenapa kakak marah? Bagaimana kakak bisa mendapatkan pasangan kalau suka marah?" gerutu Louise.
"Ehh,,, Siapa yang mengajarimu berbicara begitu? Buku apa sebenarnya yang kamu baca di perpustakaan?" tanya Nick menyelidik.
"Teman Bibi yang sering datang ke perpustakaan sangat cantik, kakak cantik itu juga selalu datang bersama pasangannya, dan pasangan dari kakak cantik itu tampan. Kak Nick kan lebih tampan, tapi kak Nick tidak memiliki pasangan," jawab Louise.
"Dasar,,!" Nick menggeram gemas sembari mengacak rambut adiknya.
Mereka kembali melangkah ketika lampu penyeberangan berubah hijau. Bertepatan dengan itu, sebuah mobil melaju cepat ke arah mereka tanpa terkendali.
Dalam hitungan sepersekian detik, Nick segera mendorong tubuh adiknya ketika ia menyadari mobil itu melaju cepat ke arah mereka, sebisa mungkin menjauhkan adiknya dari bahaya tanpa memperdulikan dirinya sendiri.
Tubuh Louise terlempar ke sisi jalan tepat saat mobil itu menghantam tubuh Nick hingga membuat tubuh remaja laki-laki itu terlempar dan mendarat dengan keras di atas aspal, sementara mobil itu segera pergi meninggalkan lokasi begitu saja tanpa membantu keduanya yang kini tergeletak dalam jarak saling berjauhan.
Louise merintih, merasakan sakit pada satu kakinya ketika ia mendarat di sisi jalan dan satu kakinya menghantam pembatas jalan, berusaha bangun dengan menahan rasa sakit yang ia rasakan.
"Kakak,,," panggilnya dengan suara bergetar.
Louise melihat tubuh sang kakak tergeletak tanpa pergerakan, tak peduli seberapa banyak ia memanggil kakaknya, Nick tidak memberikan respon apapun.
"Kakak,,,, Kakiku sakit,,,,"
Louise berkata lagi, menahan air mata seraya berjalan dengan langkah tertatih menghampiri tubuh sang kakak.
Hati Louise tenggelam ketika ia akhirnya berhasil mencapai tubuh Nick, air matanya mengalir deras ketika melihat keadaan sang Kakak di depan matanya dimana genangan merah mengelilingi tubuh Nick di bawah guyuran hujan,
"Kakak,,, kak Nick, bangun!" Louise terisak sembari menggoyangkan tubuh sang kakak.
"Toloongg,,, siapa saja,,, kumohon,,, tolong kakakku,"
"Aku mohon,,, Siapa saja,,, tolong kakakku,,,"
"Aku moh,,,honn,,, siapa saja,,, Aku mohon,,,Tolong kakakku,"
Tak peduli seberapa keras Louis berteriak dan menjerit, tak satupun orang datang untuk menolong, meninggalkan suara tangis gadis kecil itu yang kian tenggelam dalam suara hujan.
Tangan kecilnya membawa kepala sang Kakak ke pangkuan, mendekap erat dengan suara tangis yang tidak bisa ia hentikan.
"Kakak,,, bangun,,, aku,,, takut,,, kakak_,,,"
Gadis kecil itu terkesiap, gagal melanjutkan kalimatnya ketika ia merasakan tangan seseorang menyentuh pipinya, membuat Ia membuka kedua matanya hanya untuk melihat sang Kakak tersenyum lemah.
"Maafkan kakak Louise,,,, kakak tidak bisa menemani,,,, Louise,,,, pulang," Nick berkata lemah.
Louise menggelengkan kuat kepalanya, meletakkan tangannya sendiri di atas tangan sang Kakak yang berada di pipinya.
"Kita ke rumah sakit. Kakak bisa diobati di sana," ucap Louise parau.
Nick kembali tersenyum, menyembunyikan rasa sakit yang tengah ia rasakan dari sang adik, lalu memberikan senyuman lembut dan penuh kasih seperti yang biasa dia tunjukan pada adik kesayangannya.
"Apakah Louise memaafkan kakak?" tanya Nick.
Louise menganggukan kepala sebagai jawaban.
"Terima kasih Louise, kamu adik kakak yang terbaik," ucap Nick tersenyum lagi, sedetik kemudian tangannya terkulai tanpa pergerakan lagi.
"Kakak...."
"Kakak..."
"KAKAKKKKK...."
Nayla berteriak dan terbangun dari tidurnya dengan napas terengah. Air mata mengalir deras dari kedua matanya hingga membasahi wajah, lalu mengedarkan pandangan. Hal yang membuat dirinya tersadar bahwa ia tertidur di meja ruang kerjanya.
Komputer yang berada di depannya masih dalam keadaan menyala, memperlihatkan naskah yang tengah ia kerjakan, lalu mengusap kasar wajahnya sendiri. Berulang kali ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.
Setelah merasakan napasnya kembali teratur, Nayla beranjak dari duduknya menuju dapur, menuangkan segelas air untuk ia minum dan kembali ke ruang kerjanya dengan segelas air di satu tangan.
Nayla menutupi wajahnya menggunakan satu telapak tangan ketika air matanya kembali mengalir, detik berikutnya segera menghapus air matanya sembari menggeleng pelan. Pandangan wanita itu kini tertuju pada bingkai foto yang ia letakkan di sisi komputer.
Sebuah foto dirinya bersama sang kakak di mana ia duduk di bahu sang kakak sementara kedua tangan Nick merentangkan kedua tangan adiknya seolah mereka akan terbang. Senyum ceria dari foto itu mengobati apa yang tengah Nayla rasakan saat ini, gelang yang dikenakan Nayla kecil dari foto itu cukup untuk membuat Nayla menyentuh pergelangan tangannya sendiri di mana gelang yang sama terpasang, lalu tersenyum.
"Apakah kakak tahu? Sekarang, gelang ini sangat pas di pergelangan tanganku, tidak kebesaran lagi seperti saat kakak membelikan gelang ini saat itu, bahkan aku selalu memakainya,"
Nayla kembali menghembuskan napas panjang, lalu meraih ponsel untuk mengirimkan pesan pada asistennya.
[[ "Besok aku ke kantor," ]]
...%%%%%%%%%%%%%...
## Keesokan harinya....
"Bisakah kita ke cafe sebentar sebelum melakukan rekaman? Aku membutuhkan kopi sekarang,"
Suara Rory memecah keheningan di dalam mobil di mana mereka dalam perjalanan menuju studio rekaman.
"Tentu," sambut Martin.
"Tapi, hanya kalian saja. Aku memiliki urusan yang harus segera kuurus. Apakah satu jam cukup?" imbuhnya bertanya.
"Sangat cukup," jawab Rory.
"Kalau begitu, aku akan menurunkan kalian di cafe, sedangkan aku langsung ke studio. Setelah setengah jam, sopir akan menjemput kalian," tutur Martin.
Rory mengangguk, lalu segera membuang pandangan ke jendela, melihat suasana kota di pagi hari.
Hingga, ketika mereka tiba di cafe yang biasa Rory datangi sejak lima hari terakhir, langkahnya segera terhenti ketika kedua matanya menangkap sosok yang tengah duduk membelakangi dirinya.
. . . . .
. . . . .
To be continued....