"Rumah Tanpa Atap" mengisahkan tentang kehidupan seorang remaja bernama Zilfi, yang tumbuh dalam keluarga yang terlihat sempurna dari luar, namun di dalamnya penuh ketidakharmonisan dan konflik yang membuatnya merasa seperti tidak memiliki tempat untuk berlindung. Setelah perceraian orang tuanya, Zilfi harus tinggal bersama ibunya, yang terjebak dalam rasa sakit emosional dan kesulitan finansial. Ayahnya yang Berselingkuh Dengan Tante nya hanya memperburuk luka batin Zilfi, membuatnya merasa tak pernah benar-benar memiliki "rumah" dalam arti sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yiva Adilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JIMAT IBU
S uasana di dalam mobil berubah semakin mencekam, seolah waktu melambat di sekitar mereka. Ayah terdiam, wajahnya semakin tegang dalam kegelapan. Nafas Zilfi terasa berat, matanya tak bisa lepas dari sosok bayangan yang masih ada di luar, menempel pada kaca seperti bayang-bayang kematian yang siap mengambil mereka kapan saja.
"Ayah... apa yang harus kita lakukan?" Suaranya bergetar, hampir berbisik.
Ayah tak langsung menjawab. Tangannya meraba-raba konsol mobil, seolah mencari sesuatu. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, dia mengeluarkan sebuah benda kecil dari dalam laci mobil. Cahaya bulan yang redup memantulkan sesuatu di tangan Ayah—sebuah liontin kuno yang tampak usang, dengan ukiran simbol aneh di permukaannya.
"Ini..." Ayah menarik napas dalam. "Ini adalah satu-satunya cara untuk menghentikannya."
Zilfi memandang liontin itu dengan kebingungan. "Apa itu, Ayah? Bagaimana benda ini bisa menghentikan... apapun yang sedang mengincar kita?"
"Itu adalah jimat pelindung," jawab Ayah dengan suara rendah. "Ibumu dulu memakainya setiap saat, sampai dia... kehilangan keberaniannya. Liontin ini berasal dari keluarga ibumu, diwariskan turun-temurun untuk melindungi dari entitas yang terbangkitkan. Tapi ada harga yang harus dibayar untuk menggunakan kekuatannya."
Zilfi menatap Ayah dalam-dalam, mencoba mencari jawaban di balik mata lelahnya. "Harga apa yang Ayah maksud?"
Ayah terdiam lagi. Tatapannya lurus ke arah liontin itu, seolah benda itu menyimpan rahasia yang terlalu berat untuk diungkap. "Setiap kali jimat ini digunakan, ia menyerap sebagian dari jiwa pemakainya. Itu sebabnya ibumu berhenti menggunakannya. Dia tahu bahwa lambat laun, jiwanya akan terkuras habis."
Kata-kata itu menghantam Zilfi seperti angin dingin yang menusuk. Jiwa? Apa ini semua nyata? Pikirannya kacau, terbelah antara ketakutan akan apa yang ada di luar sana dan ketakutan akan apa yang harus dia lakukan.
"Ayah... kita tidak punya pilihan lain, kan?" Zilfi berkata pelan, suaranya terisak.
Ayah menundukkan kepalanya, terlihat berjuang melawan perasaan bersalah. "Tidak ada jalan lain, Zilfi. Ini satu-satunya cara untuk melindungimu. Tapi kamu harus tahu, ini mungkin akan mengubahmu... untuk selamanya."
Sebelum Zilfi sempat merespon, suara derit aneh terdengar dari luar mobil, semakin dekat dan semakin keras. Bayangan itu mulai bergerak lagi, menekan kaca dengan kekuatan yang tak terlihat. Zilfi bisa merasakan jendela bergetar hebat, seolah-olah sesuatu yang besar dan kuat mencoba meremukkannya.
"Ayah!" Zilfi menjerit panik.
Ayah bergerak cepat, tanpa ragu menggenggam liontin itu dan menyerahkannya ke tangan Zilfi. "Pakai ini, Zilfi. Sekarang!"
Dengan tangan gemetar, Zilfi mengenakan liontin itu di lehernya. Segera setelah liontin menyentuh kulitnya, dia merasakan sesuatu yang aneh—seperti aliran energi dingin yang menjalar cepat dari liontin ke seluruh tubuhnya. Detik itu juga, dunia di sekitarnya berubah.
Suara angin, bisikan, bahkan detak jantungnya sendiri seolah terhenti. Segalanya menjadi hening, seakan waktu membeku. Namun, dalam kesunyian itu, Zilfi bisa merasakan keberadaan lain di sekitarnya, sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih kuat daripada yang pernah ia bayangkan. Ia bisa melihat sosok itu, bukan hanya sebagai bayangan, tetapi sebagai wujud nyata—entitas yang gelap dan mengerikan, matanya bersinar merah darah, penuh amarah dan keputusasaan.
Dan entitas itu menatapnya. Langsung ke dalam dirinya, seolah-olah mengetahui segala sesuatu tentang dirinya. Tapi Zilfi tidak lagi takut. Sesuatu dalam dirinya telah berubah.
"Ayah..." suaranya terdengar berbeda, lebih dalam dan lebih tenang. "Aku bisa merasakannya... aku bisa mengendalikannya."
Ayah menatap putrinya dengan ekspresi terkejut, matanya dipenuhi harapan dan kecemasan. "Zilfi, kamu..."
Zilfi mengulurkan tangannya ke arah bayangan itu, dan dalam sekejap, entitas itu berhenti. Mata merahnya mulai meredup, dan tubuhnya yang besar mulai memudar ke dalam kegelapan. Suara-suara aneh yang tadi memenuhi udara kini menghilang, tergantikan oleh keheningan yang menyelimuti malam.
Liontin di leher Zilfi bergetar pelan, seolah memberi isyarat bahwa tugasnya telah selesai. Tetapi di dalam hati Zilfi, ia tahu bahwa ini baru permulaan. Entitas itu mungkin telah pergi, tetapi pengaruhnya tidak akan hilang begitu saja.
Zilfi menatap Ayah, matanya bersinar dengan pemahaman yang baru. "Aku tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Ini belum berakhir."