Alya, seorang gadis desa, bekerja sebagai pembantu di rumah keluarga kaya di kota besar.
Di balik kemewahan rumah itu, Alya terjebak dalam cinta terlarang dengan Arman, majikannya yang tampan namun terjebak dalam pernikahan yang hampa.
Dihadapkan pada dilema antara cinta dan harga diri, Alya harus memutuskan apakah akan terus hidup dalam bayang-bayang sebagai selingkuhan atau melangkah pergi untuk menemukan kebahagiaan sejati.
Penasaran dengan kisahnya? Yuk ikuti ceritanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. KEPUTUSAN FINAL
KEPUTUSAN FINAL
🌸Selingkuhan Majikan🌸
Pagi masih gelap saat Arman terbangun di kamar hotel yang sunyi. Dia mengulurkan tangan ke samping untuk merasakan kehadiran Alya, tapi tempat tidur di sebelahnya kosong dan dingin.
Arman mengerutkan kening, lalu mengerjapkan mata dan mengira mungkin Alya ada di kamar mandi.
Dengan malas, Arman meraih ponselnya dari meja samping tempat tidur. Layar ponselnya menyala, memperlihatkan deretan notifikasi panggilan tak terjawab yang kesemuaannya dari Andin.
Sekilas rasa bersalah terbersit di benaknya karena sudah berbohong pada istrinya itu jika ia sedang ada pekerjaan di luar kota .
Namun, pikirannya kembali ke Alya. Karena setelah beberapa menit, tidak ada suara air yang terdengar, bahkan tidak ada tanda-tanda Alya di kamar mandi.
"Alya?," panggil Arman seraya bangkit dari tempat tidur.
Namun tidak ada jawaban.
Lalu Arman berjalan menuju pintu kamar mandi dan mengetuk pelan. Tok tok tok! "Alya? Kamu di dalam?."
Hening...
Tidak ada jawaban, Arman pun membuka pintu dengan cepat, tapi menemukan jika kamar mandi kosong. "Alya, kemana dia?," gumamnya.
Rasa khawatir mulai merayap ke dalam pikirannya. Lalu Arman bergegas memeriksa seluruh kamar, lemari, dan bahkan di luar kamar hotel. Namun, Alya tidak ada di mana pun.
Saat itulah dia melihat sesuatu di atas meja kecil di dekat jendela. Sepucuk surat, diletakkan dengan rapi, dengan nama "Tuan Arman" tertulis di amplopnya.
Tanpa ragu Arman langsung meraih surat itu dan membukanya yang ternyata sebuah surat dari Alya yang berbunyi :
-----------
Tuan Arman...
Pertama-tama, saya ingin meminta maaf. Maaf karena saya harus pergi dengan cara seperti ini. Maaf karena saya tidak cukup berani untuk menghadapi Tuan dan mengatakan semua ini secara langsung.
Saya sadar, kita telah melakukan kesalahan yang besar. Saya telah mengkhianati orang yang paling baik dalam hidup saya, yaitu Nyonya Andin.
Dia adalah penolong saya, orang yang memberi saya harapan baru saat saya tidak punya apa-apa.
Saya tidak bisa lagi terus menutupi rasa bersalah ini. Setiap hari, saya merasa semakin terjebak dalam kebohongan, dan semakin lama saya berada di sisi Tuan, saya semakin takut menyakiti Nyonya Andin lebih dalam.
Kita sudah salah, Tuan. Kita berdua tahu itu. Mungkin saya yang paling bersalah, karena lancang menyimpan perasaan suka pada Tuan, perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.
Saya tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi, tapi saya bisa mencoba memperbaiki apa yang tersisa.
Saya tidak bisa melihat Nyonya Andin hancur karena ulah kita. Saya tahu rasa sakit kehilangan, saya tahu bagaimana rasanya kehilangan orang-orang yang kita cintai. Saya tidak ingin Nyonya Andin merasakan hal yang sama.
Itu sebabnya saya harus pergi. Ini bukan karena saya tidak peduli pada Tuan, justru sebaliknya, saya pergi karena saya peduli.
Saya tidak ingin Tuan terjebak dalam situasi ini lebih lama lagi. Saya hanya ingin Nyonya Andin bahagia, meski itu berarti saya harus menjauh dari hidup Tuan.
Jaga diri baik-baik, Tuan. Dan tolong, maafkan saya.
Alya.
---------------
Arman membaca surat itu dengan serius. Tangannya mulai gemetar saat mencapai bagian akhir. Ia meremas surat itu dengan keras dan terlihat marah.
"Alya..." gumamnya pelan, tatapannya tajam menatap surat yang kini sudah kusut di tangannya.
"Apa yang dia pikirkan? Apa dia benar-benar berpikir bisa lari begitu saja?," pikir Arman.
Sementara, kini Alya berjalan perlahan di sepanjang jalan setapak yang membentang di depan kampungnya.
Matahari belum sepenuhnya muncul, hanya meninggalkan semburat oranye yang mulai menyebar di langit pagi.
Jalanan masih sepi, yang terdengar hanya suara burung berkicau dan embusan angin yang membuat dedaunan bergerak pelan.
Hawa dingin pagi itu menembus pakaian tipisnya, tetapi Alya tetap melangkah mantap.
Di sekelilingnya, hamparan sawah yang membentang luas dan kabut tipis yang masih menyelimuti pepohonan membuat suasana semakin sunyi.
Kendaraan umum belum tampak satu pun, tapi Alya tidak merasa khawatir. Dia sudah terbiasa dengan jalanan kampung yang tenang ini.
Jalanan yang dulu sering ia lalui semasa kecil, dengan kaki kecilnya yang berlari-lari bebas bersama adik-adiknya.
Alya berhenti sejenak, menatap jauh ke arah bukit di ujung desa. Di sana, keluarganya kini bersemayam, setelah kebakaran tragis itu merenggut mereka.
"Aku akan tinggal di sini," batin Alya. "Aku akan tinggal di kampung ini, di tempat keluargaku beristirahat."
Keputusannya sudah bulat. Tidak ada lagi kehidupan di kota besar, tidak ada lagi keterikatan dengan Arman, dan tidak ada lagi kebohongan yang membebani dirinya.
Di tempat ini, dia bisa mulai hidup baru, meski dalam kesederhanaan. Di sinilah dia merasa lebih dekat dengan keluarganya, meskipun mereka sudah tiada.
Kemudian, Alya melanjutkan langkahnya seraya menghirup udara pagi yang segar.
Langit pun mulai berubah menjadi semakin terang, dan di kejauhan, ia bisa melihat beberapa rumah penduduk mulai berasap, tanda aktivitas pagi telah dimulai.
Namun, Alya tidak terlalu memikirkan orang-orang yang mungkin masih menggosipkannya.
Saat ia berjalan, pikirannya mulai membayangkan rumah kecil yang ingin dia bangun di atas tanah peninggalan orang tuanya. Tempat yang akan ia rawat dan di mana ia bisa mengenang keluarganya.
“Ayah, Ibu, aku akan memulai lagi, aku akan bangun rumah kita lagi," gumam Alya pelan, matanya berbinar meski ia terlihat sangat sedih.
Next episode... 👉👉👉