Mengisahkan tentang perjalana kehidupan seorang anak bernama Leonel Alastair yang berasal dari keluarga Von Adler. Kecintaannya pada musik klasik begitu melekat saat dia masih kecil, demi nama keluarga dan citra keluarganya yang sebagai musisi.
Leonel menyukai biola seperti apa yang sering dia dengarkan melalui ponselnya. Alunan melodi biola selalu membawanya ke masa masa yang sangat kelam dalam hidupnya.
Namun perlahan seiringnya waktu berjalan, kehidupan dan minatnya berubah. Dengan bantuan seorang kakak angkat Raehan dia memiliki tujuan baru, dengan tujuan tersebut dia bertemu seseorang yang menempati hatinya.
Bromance!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: "Langit yang Tersenyum"
Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui celah-celah jendela kelas. Leonel duduk di barisan paling belakang, matanya menatap kosong ke arah papan tulis. Hatinya terasa berat, seolah ada beban yang menghimpit dadanya. Ia sudah berada di kelas enam sekarang, tetapi semuanya terasa semakin rumit. Perasaan-perasaan yang belum pernah ia pahami sebelumnya mulai muncul—perasaan kesepian, keraguan, dan ketidakpastian. Terutama setelah percakapan terakhir dengan Kakek.
Ia menghela napas panjang, berpikir tentang biolanya. Dulu, biola itu adalah pelariannya dari segala kekacauan di rumah. Namun sekarang, biola itu mulai terasa seperti pengingat akan semua kritik tajam yang dilemparkan Kakek. Semua kata-kata Kakeknya berputar di kepala Leonel, seolah mengikis semangatnya sedikit demi sedikit. Setiap nada yang ia mainkan sekarang dipenuhi keraguan, seperti tidak ada yang benar-benar selaras lagi.
Saat bel istirahat berbunyi, Leonel melangkah pelan menuju kantin. Ia duduk di pojok, menjauh dari keramaian teman-temannya. Pandangannya tetap kosong, pikirannya masih melayang pada biola yang selalu menemaninya, namun kini terasa jauh.
Tiba-tiba, seseorang menepuk bahunya dengan keras, membuatnya tersentak. "Hei, Leonel! Melamun ya?" suara ceria itu membuat Leonel menoleh. Itu Morgan, temannya yang selalu terlihat bersemangat. Rambut pendeknya yang agak acak-acakan, dipadu dengan senyuman lebar, seolah membawa cahaya ke sudut kantin yang suram itu.
Leonel tersenyum kecil, namun tidak mampu menyembunyikan nada sedih di wajahnya. "Oh, hai, Morgan. Cuma lagi mikirin sesuatu."
Morgan langsung duduk di sebelah Leonel, menatapnya dengan tatapan penasaran. "Mikirin biola lagi ya?" tanyanya sambil mengerutkan alis, mencoba menebak apa yang ada di kepala Leonel.
Leonel mengangguk pelan. "Iya, aku... nggak tahu, Morgan. Rasanya biola bukan hal yang tepat buat aku lagi. Semua orang bilang aku nggak berbakat, dan... mungkin mereka benar."
Morgan menatap Leonel dengan serius sejenak, lalu tertawa kecil. "Leonel, siapa bilang kamu nggak berbakat? Kamu cuma lagi ragu sama diri sendiri, itu aja. Semua orang punya momen kayak gitu, kok."
Leonel hanya mendesah, tak yakin. "Tapi rasanya... beda, Morgan. Dulu aku main biola karena suka, tapi sekarang, semua terasa salah. Bahkan suaranya nggak bagus."
Morgan diam sejenak, lalu ia tersenyum lagi, kali ini lebih lembut. "Kamu tahu nggak, aku juga kadang ngerasain hal yang sama soal fotografi."
Leonel menatapnya heran. "Fotografi? Tapi kamu selalu kelihatan menikmati itu."
Morgan mengangguk. "Iya, aku memang suka fotografi, tapi itu bukan berarti aku nggak pernah ragu. Ada saat-saat di mana aku ngerasa foto-fotoku nggak sebagus yang aku harapkan. Tapi, kamu tahu apa yang bikin aku tetap terus motret?"
Leonel menggeleng. "Apa?"
Morgan mengeluarkan sebuah kamera kecil dari tasnya dan menunjukkannya pada Leonel. "Ini. Kamera ini. Ibuku yang kasih aku kamera ini waktu aku masih kecil. Dia seorang fotografer hebat, dan dia bilang, setiap foto yang aku tangkap adalah caraku melihat dunia. Bukan soal bagus atau jelek, tapi soal bagaimana aku mengekspresikan perasaan lewat lensa. Dan itu bikin aku tetap semangat, meski kadang hasil fotonya nggak sesuai harapan."
Leonel mendengarkan dengan seksama. Ada sesuatu dalam kata-kata Morgan yang membuatnya merasa sedikit lebih ringan. "Jadi, kamu nggak pernah mikir buat berhenti?"
Morgan tersenyum sambil menggeleng. "Nggak, karena aku suka. Sama kayak kamu yang suka main biola, kan? Selama kamu suka, jangan biarkan orang lain bilang kamu nggak bisa. Kadang, kita cuma perlu waktu buat menemukan kembali kenapa kita mencintai sesuatu."
Perlahan, senyum tipis muncul di wajah Leonel. Kata-kata Morgan mulai membangunkan sesuatu yang telah lama tertidur dalam dirinya. "Kamu bener, Morgan. Mungkin aku cuma perlu ingat kenapa aku mulai suka biola dulu."
Morgan menepuk bahu Leonel, tersenyum lebar. "Itu dia! Kamu cuma perlu ingat apa yang bikin kamu jatuh cinta sama musik itu dulu. Jangan biarkan bayangan orang lain menghalangi kamu."
Leonel merasakan semangat yang lama hilang mulai kembali. Di saat ia mendengarkan Morgan berbicara tentang cintanya pada fotografi, masalah yang selama ini mengganggunya terasa sedikit memudar. Ada kenyamanan dalam mengetahui bahwa ia tidak sendirian dalam keraguannya.
Namun, di sudut kantin, Gento memperhatikan semuanya dengan tatapan tajam. Ia melihat Leonel tersenyum—senyum yang jarang ia lihat akhir-akhir ini. Entah kenapa, pemandangan itu membuat perasaannya tak enak. Dalam benaknya, Leonel seharusnya tetap dalam keadaan tertekan, seperti biasa. Bukan tersenyum dengan ringan seperti sekarang. Ada sesuatu tentang senyum itu yang membuat Gento merasa tak nyaman.
"Leonel," pikir Gento dalam hatinya, "kenapa kamu harus tersenyum sekarang?"
Gento membuang pandangannya dengan kesal, mencoba untuk tidak mempedulikan suasana hati adiknya. Bagi Gento, Leonel seharusnya tak menunjukkan ekspresi apapun. Tidak senyum, tidak tawa. Ia merasa lebih baik ketika Leonel diam dan tak bersuara—lebih mudah untuk diabaikan.
Namun di sisi lain kantin, Leonel tak menyadari tatapan penuh amarah Gento. Ia terlalu sibuk merasakan kelegaan yang baru saja datang, seperti embun yang menghapus kabut di hatinya. Sesuatu yang Morgan katakan benar-benar meresap: selama ia masih mencintai biolanya, selama ia masih bisa merasakan nada-nada itu menyentuh hatinya, ia tak akan menyerah.
Dan kali ini, Leonel berjanji pada dirinya sendiri. Meski Kakek terus menghujani kritik, meski keluarganya tak pernah benar-benar mengerti, ia akan terus bermain. Karena musik adalah caranya berbicara, ketika kata-kata tak lagi mampu mewakili apa yang ia rasakan.
Di dalam hatinya, biola itu masih berbisik—nada-nada yang menanti untuk kembali ditemukan.