Anin akhirnya menemukan alasan yang mungkin menjadi penyebab suaminya bersikap cuek terhadapnya. Tidak lain adalah adanya perempuan idaman lain yang dimiliki suaminya, Kenan.
Setelah berbicara dengan sang suami, akhirnya dengan berbagai pertimbangan, Anin meminta suaminya untuk menikahi wanita itu.
" Nikahilah ia, jika ia adalah wanita yang mas cintai," Anindita Pratiwi
" Tapi, aku tidak bisa menceraikanmu karena aku sudah berjanji pada ibuku," Kenan Sanjaya.
Pernikahan Anin dan Kenan terjadi karena amanah terakhir Ibu Yuni, ibunda Kenan sekaligus ibu panti tempat Anin tinggal. Bertahannya pernikahan selama satu tahun tanpa cinta pun atas dasar menjaga amanat terakhir Ibu Yuni.
Bagaimana kehidupan Anin setelah di madu? Akankah ia bisa menjaga amanah terakhir itu sampai akhir hayatnya? Atau menyerah pada akhirnya?
Happy reading 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sasa Al Khansa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MAT 7 Pembagian Hari
Menjaga Amanah Terakhir (7)
Mendengar permintaan izin dari Anin, Kenan hanya mengangguk.
" Itu milikmu. Jadi, terserah kamu saja,"
Anin hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
" Dan untuk pembagian hari, hari Senin sampai Rabu, aku bersamamu dan dari Kamis sampai Sabtu di tempat Laras. Sementara hari Minggu, itu bergiliran. Minggu pertama denganmu, Minggu selanjutnya dengan Laras."
Ok. Anin malah salfok dengan nama adik madunya. Ia kan memang tidak tahu namanya siapa, sebatas tahu wajah itupun dari kamera CCTV tempo hari.
" Ok," jawab Anin enteng. Ia ingin tahu sejauh mana laki-laki berstatus suaminya itu akan berlaku adil seperti yang ia janjikan.
Apakah Anin sangsi? Jawabannya Iya. Saat ia tak punya adik madu saja, ia merasa tak di anggap. Apalagi kini?. Selama ini, mereka hanya tinggal bersama. Bukan hidup bersama, layaknya sepasang suami istri.
Yang tidak Anin ketahui adalah, adanya ancaman dari Om dan Tante Kenan seandainya Kenan tidak bisa berlaku adil pada Anin yang membuat Kenan ketar-ketir.
Ketar-ketir? Tentu. Alasannya? Entahlah. Kenan sendiri masih meraba hatinya.
Ia masih belum sadar. Ibarat pepatah orang Jawa, witing tresno jalaran Soko kulino. Artinya, cinta tumbuh karena terbiasa.
Setahun menikah dengan Anin, Kenan terbiasa melihat Anin setiap hari, disiapkan semua kebutuhannya oleh Anin, di masakkan makanan kesukaan tanpa ia menjelaskan apa yang ia sukai. Intinya terbiasa apapun dengan campur tangan sang istri pertama, Anindita Pratiwi.
Namun, egonya lebih mendominasi. Ego yang menyatakan Laras adalah orang yang ia cintai. Orang yang ia inginkan menjadi pendamping hidupnya. Orang yang menurutnya tepat untuknya.
" Kenapa kamu terlihat meragukanku?," Kenan memicingkan matanya
" Hah? Kenapa Mas berpikir seperti itu," Anin sedikit gelagapan. Apa keraguan itu terlihat jelas dari ekspresi wajahnya.
Kenan menghembuskan nafas kasar. "Maaf kalau sikapku selama ini membuatmu ragu. Tapi, percayalah aku sedang berusaha memperbaiki diriku. Berusaha menjadi suami bertanggung jawab,"
Oh, seandainya Kenan mengatakan itu sebelum dia menikahi Laras, sudah bisa dipastikan betapa senangnya hati Anin. Namun, kenyataannya?. Apa harus menghadirkan madu dulu hanya agar di lirik suaminya?. Ataukah ini tanda terima kasih karena sudah memberi izin menikah lagi?
Seorang laki-laki boleh menikahi perempuan lebih dari satu. Tidak perlu alasan untuk menikah lagi dengan perempuan lain dan tidak perlu izin istri pertama untuk menikah lagi.
Namun, saat pernikahan kedua itu ingin tercatat secara negara, maka sang suami harus mengantongi SIM (Surat Izin Menikah) dari istri pertama. Tanpa itu, ia hanya bisa menikah di bawah tangan.
Itu aturan yang telah di tetapkan.
" Ada lagi?," tanya Anin memastikan.
Sebelum Anin mengatakan juga apa yang ingin ia katakan. Ia harus memastikan tidak ada lagi yang ingin di bicarakan oleh suaminya.
" Tidak ada. Untuk saat ini hanya itu,"
" Untuk hari dimana mas tinggal di rumah Laras, boleh aku tinggal di panti?," tanya Anin. Sebenarnya ia yakin akan di izinkan. Hanya saja, bagi seorang perempuan bersuami, keluar rumah tanpa izin suami itu haram hukumnya.
" Boleh," jawab Kenan tidak merasa keberatan. Toh selama ini pun saat ia keluar kota, Anin selalu tinggal di panti.
" Satu lagi," Anin menjeda ucapannya. Ia berharap hal ini bisa di kabulkan oleh suaminya. " Mas, bilang mas sedang berusaha memperbaiki diri, ingin menjadi suami yang bertanggung jawab juga bersikap adil kan?," tanya Anin kemudian.
" Ya "
" Bisakah jika saat bersama Anin, mas tidak membandingkan Anin dengannya? Atau membicarakan dia di depan Anin? Juga saat bersama Anin, Anin mau mas fokus pada kita saja." pinta Anin.
" Maksudnya,jika sedang dengan Anin, mas tidak boleh berinteraksi dengan Laras baik melalui telpon atau apapun yang menyita waktu mas dengan Anin kecuali jika ada hal urgent atau sebatas menanyakan kabar. Tidak sampai menelpon selama berjam-jam.
Begitu juga sebaliknya, Anin tidak akan mengganggu waktu mas saat sedang bersamanya,"
Kenan diam sejenak. Ia memang selalu menghabiskan waktu berjam-jam jika saat libur dan berada di rumah untuk menghubungi Laras. Mengabaikan Anin yang ada di rumah bersamanya.
Kenan akhirnya mengangguk. Ia setuju. Lagipula ia sedang bersikap adil bukan?
" Bukan apa-apa. Mas bilang sendiri tentang pembagian hari kan? Anin tidak mau hanya raga mas yang patuh pada pembagian hari itu sementara pikiran mas tidak,"
Kenan bungkam. Memang tidak menyenangkan seandainya kita hanya bersama raganya saja tapi, pikirannya dengan orang lain kan?.
Setelah semuanya clear,Anin pun memesan makanan untuk mereka.
Hingga tiba-tiba ponsel Kenan berbunyi.
" Aku izin keluar dulu ya, untuk angkat telpon,"
Anin hanya mengangguk. Ia tak ingin menebak dari siapa telpon itu. Toh sesuai kesepakatan, pembagian waktu itu dimulai setelah Kanan dan Laras bulan madu.
Hingga kemudian ada panggilan masuk ke ponsel Anin.
" Assalamu'alaikum,"
" Wa'alaikumsalam, Anin Apa kabar?,"
" Alhamdulillah baik. Sesil apa kabar? Sudah lama kamu tidak ke panti,"
" Hehe. Maaf. Aku ikut suamiku ke pulau seberang. Dia dipindahkan kerja kesana. Saat ibu meninggal juga tidak bisa takziah." jelasnya sendu.
Sesil adalah anak panti seusianya. Tinggal dan tumbuh bersama di panti membuat keduanya cukup dekat. Hanya saja, komunikasi itu hilang saat Sesil menikah dan ikut suaminya.
" An, sebenarnya aku mau minta izin untuk tinggal di panti sampai aku dapat kerjaan?,"
" Tinggal di panti? Kenapa? Suamimu bagaimana?," Anin mencerca dengan banyak pertanyaan. " Maaf, Sil. Bukan bermaksud..."
" Tidak apa-apa. Kamu berhak tahu." Terdengar helaan nafas berat. " Aku dan suami dalam proses perceraian. Kami sudah tidak bisa lagi mempertahankan pernikahan kami,"
" Ya Allah, Sil." Anin merasa prihatin dengan Nasib pernikahan Sesil. Padahal baru dua tahu menikah.
" Jadi, rencanamu kedepannya bagaimana?," tanya Anin.
" Aku mau kembali kesana. Disini aku tidak punya siapa-siapa. Lagi pula secara agama, aku sudah bercerai. Kalau boleh, aku ingin tinggal di panti sampai aku dapat pekerjaan dan bisa mengontrak sendiri," jelasnya berharap Anin memberi izin.
" Ya, sudah. Kemari lah. Aku malah senang. Kamu kembali kesini. Aku jadi ada temannya jika datang atau menginap di panti,"
" Makasih, An,"
" Tidak perlu sungkan. Soal pekerjaan, kalau kamu mau, aku ada pekerjaan yang bisa di kerjakan. Sekalian aku berharap kamu juga mau jadi asistenku di panti. Hehe," jelas Anin di akhiri kekehan.
" asisten?,"
" Hmm. Ya, kamu tahu kan. Yang datang ke panti kadang ada laki-laki yang usianya masih muda. Aku tidak nyaman kalau menerima mereka seorang diri,"
" Masih selalu berakhir dengan di ajak kenalan?," terdengar kekehan di sebrang sana. Sesil ingat jika Anin sering bercerita saat ia menemani Bu Yuni menerima donatur yang membawa anak laki-lakinya, ujung-ujungnya minta di kenalkan.
" Begitulah. Padahal, aku selalu bilang sudah menikah dan menunjukkan cincin nikahku. Tapi, mereka tak percaya," Kesal Anin.
"Haha. Pesonamu memang luar biasa."
" Ck, harusnya mereka justru berhenti berharap kalau tahu sudah menikah bukan? Bukan malah bilang, ku tunggu jandamu. Hah, risih pokoknya," Sesil malah tertawa.
" Siaplah. Kalau ternyata saat nanti aku kesana aku bisa sekalian dapat kerjaan," Sesil merasa bahagia jika ia tak lagi harus mencari pekerjaan.
" Ya, sudah. Aku tunggu di panti, ya. "
" Ya, Insya Allah. Assalamu'alaikum,"
" Wa'alaikumsalam,"
Klik
Di balik pintu masuk, seseorang mencuri dengar obrolan Anin. Walaupun tidak bisa mendengar suara lawan bicaranya, sedikitnya ia bisa menangkap apa yang mereka bicarakan. Ekspresinya tidak terbaca.
TBC