menjadi anak pertama dan satu-satu nya membuat aku merasakan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orangtua ku terutama ayahku.
tapi siapa sangka, kasih sayang mereka yang begitu besar malah membuat hidupku kacau,,,.
aku harus menjalani hidupku seorang diri disaat aku benar-benar sedang membutuhkan keberadaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 27 : alasan orangtuaku bisa pergi umrah
Setelah seminggu menanti dengan penuh harap dan doa, akhirnya hari yang dinanti-nantikan tiba. Pagi itu, udara terasa sejuk namun hangat oleh rasa syukur yang mengalir di hatiku. Hari ini, kedua orangtua ku, akan berangkat umrah, sebuah perjalanan yang sejak lama menjadi impiannya. Aku tak bisa menyembunyikan senyumku, meski di balik itu tersimpan perasaan berat untuk melepas orangtua ku pergi jauh.
Di sepanjang perjalanan menuju Masjid Raya, suasana di mobil terasa begitu syahdu. Ayahku, yang duduk di sampingku, sesekali memegang tanganku dengan lembut. "Nak, jangan lupa jaga dirimu baik-baik ya, selama kami tidak ada," ucap ayahku penuh kasih. Sementara itu, ibuku duduk di belakang mobil, terus melantunkan doa-doa kecil, berharap perjalanannya akan berjalan lancar dan penuh berkah.
Sesampainya di Masjid Raya, suasana semakin ramai oleh para jamaah umrah lain yang juga bersiap berangkat. Aku membantu menurunkan koper dan tas nya, lalu ikut menunggu bersama jamaah lainnya. Di sana, Bayu, pemuda yang beberapa hari sebelumnya mengagetkan kami dengan niat baiknya untuk memberangkatkan kedua orangtua ku, sudah menunggu dengan senyum hangat. Bayu menyapa ku dan menganggukkan kepala penuh arti. "Makasih ya," ucapku dengan suara bergetar.
Tak lama kemudian, waktu keberangkatan pun semakin dekat. Perpisahan tak terhindarkan. Aku tak kuasa menahan air mata yang mulai menggenang. Aku memeluk ibuku erat-erat, seakan ingin memastikan bahwa meski berpisah sementara, kasih sayangku dan ibuku akan selalu ada. "Ibu, hati-hati ya... Jangan lupa jaga kesehatan," bisik ku dengan suara parau. Ibuku hanya mengangguk pelan, tak mampu berkata-kata karena air matanya juga telah jatuh.
Ayahku memeluk ku dengan hangat, sembari berbisik, "Nurra, kamu kuat. Ayah dan ibu akan pulang dengan selamat, insyaAllah. Jaga dirimu baik-baik ya. Jangan khawatirkan kami." Aku mengangguk sambil berusaha tersenyum, meskipun dada ku terasa sesak.
Ketika bus yang akan membawa rombongan jamaah umrah mulai bergerak, aku melambaikan tangan, dengan air mata yang kini mulai mengalir deras. Aku melihat wajah kedua orangtuaku juga melambaikan tangan dari balik kaca jendela bus, semakin jauh dan jauh. Perpisahan itu terasa berat, namun aku tahu bahwa ini adalah jalan yang terbaik, buah dari kebaikan yang selalu ditanamkan oleh ayahku sepanjang hidup.
Setelah bus hilang di kejauhan, Bu Sari, tetangga yang sudah dianggap seperti keluarga sendiri, mengajak ku pulang. "Ayo, Nak. Kita pulang dulu. Biar kamu bisa istirahat," ucap Bu Sari lembut, mencoba menenangkanku yang masih terlihat sedih. Di sepanjang perjalanan pulang, aku berusaha menenangkan diriku, meski hatiku dipenuhi rasa rindu yang baru saja dimulai.
Sesampainya di rumah, rumah yang biasanya dipenuhi tawa dan suara kedua orangtuanya kini terasa sunyi. Aku terdiam di ruang tamu, memandangi sudut-sudut rumah yang tampak berbeda tanpa kehadiran kedua orangtua ku. Seolah ada kekosongan yang mengisi setiap sudut. Namun, aku tahu bahwa ini hanya sementara. Aku harus belajar menerima dan menyesuaikan diri.
Hari pertama berlalu dengan lambat. Aku berusaha menjalani rutinitas seperti biasa, meski terkadang rasa sepi menghantamku begitu keras. Setiap sudut rumah mengingatkanku pada sosok kedua orangtua ku. Dapur, tempat ibuku sering membuat makanan kesukaannya, kini terasa dingin. Kursi di ruang keluarga, tempat ayahku sering duduk sambil membaca koran, kini kosong. Sesekali, aku merasa ingin menelepon mereka, hanya untuk mendengar suara mereka dan memastikan mereka baik-baik saja. Namun, aku sadar, ibadah umrah memerlukan kekhusyukan dan ketenangan. Aku tidak ingin mengganggu.
Bu Sari, yang tinggal di sebelah rumah, sering datang berkunjung untuk memastikan aku baik-baik saja. "Kamu kuat, Nurra. Orangtua kamu pasti bangga melihat kamu di sini, menjaga rumah dengan baik," ucap Bu Sari suatu hari, sambil mengelus punggung ku dengan lembut. "Terima kasih, Bu Sari. Nurra beruntung punya tetangga sebaik Ibu," jawabku dengan senyum kecil, meski matanya masih menyiratkan rindu.
Malam-malam tanpa kedua orangtua ku terasa lebih panjang dari biasanya. Aku tahu, benih kebaikan yang selalu diajarkan oleh ayahku akhirnya membuahkan hasil. Perjalanan umrah ini adalah bukti bahwa kebaikan, meski dilakukan dalam diam, pada akhirnya akan kembali dengan cara yang indah.
Di hari kelima sejak kepergian orangtua ku untuk menunaikan ibadah umrah, aku merasa ada kekhawatiran yang terus membayangi pikiranku. Sejak pagi, aku berusaha fokus pada kuliah, namun setiap kali pikiranku mengembara, bayangan kedua orangtua ku di tanah suci selalu muncul. Sepulang dari kampus, tanpa pikir panjang, aku memutuskan untuk mampir ke kantor travel umrah yang mengurus keberangkatan orangtua ku bersama Bayu.
Setibanya di depan kantor travel, alu menghela napas panjang. Perasaanku bercampur aduk, antara rasa ingin tahu dan khawatir. Aku melangkah masuk, suasana di dalam kantor terasa hangat dan nyaman. Seorang wanita ramah yang duduk di meja resepsionis langsung menyapa ku dengan senyum hangat. " Assalamualaikum, Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita itu dengan lembut.
"Waalaikumussalam , Sore, Bu. Saya Nurra, saya ingin menanyakan tentang keberangkatan orangtua saya yang ikut travel ini untuk umrah," jawabku dengan sopan, meskipun dalam hatiku aku sedikit gugup.
"Oh, tentu. Atas nama siapa, ya?" tanya wanita itu, memperkenalkan dirinya sebagai Bu Sinta.
Aku menyebutkan nama kedua orangtuaku, atas nama Pak Barkah dan Ibi Fatimah Aulia Zahra, sambil berharap agar segala sesuatunya berjalan lancar. Rasa khawatir semakin membesar, takut jika sesuatu terjadi atau orangtuaku tidak terdaftar. Setelah beberapa saat mengetik di komputer, Bu Sinta tersenyum lagi. "Alhamdulillah, kedua orangtua Anda ada di dalam daftar jamaah umrah yang berangkat bersama kami," jelasnya dengan tenang.
Namun, aku masih merasa ada sesuatu yang mengganjal. "Tapi... apa mereka benar-benar terdaftar? Saya takut mereka tidak masuk dalam list. Bagaimana kalau ada kesalahan?" tanya ku dengan suara yang sedikit gemetar.
Melihat kekhawatiranku, Bu Sinta berusaha menenangkanku. "Tenang, Nak. Orangtua Anda terdaftar bersama rombongan umrah yang dibawa oleh Pak Bayu selaku pemilik travel ini. Mereka aman dan insyaAllah dalam perjalanan yang baik," kata Bu Sinta sambil tersenyum penuh keyakinan.
Perkataan Bu Sinta membuat Nurra terkejut. "Pak Bayu? Pemilik travel ini?" tanyanya heran. "Maksudnya, Pak Bayu yang datang ke rumah saya waktu itu... Dia pemilik travel ini?"
Bu Sinta tersenyum dan mengangguk. "Iya, benar. Pak Bayu adalah pemilik travel ini. Beliau sendiri yang mengurus semua keberangkatan umrah, termasuk kedua orangtua anda," jelasnya.
Aku tercengang. Alu tidak pernah membayangkan bahwa Bayu, pemuda yang datang ke rumahku dengan begitu sederhana, ternyata adalah pemilik sebuah perusahaan travel umrah. Aku merasa tidak percaya. "Bu, bisa saya lihat foto Pak Bayu?" pintaku, masih dengan ekspresi tidak percaya.
Bu Sinta mengangguk, lalu mencari sebuah foto di komputernya. Tak lama, layar komputer menampilkan foto Pak Bayu dengan seragam travel umrah, berdiri dengan senyum hangat di depan rombongan jamaah. Melihat foto itu, hatiku seakan berhenti sejenak. Benar saja, itu adalah Bayu, pemuda yang datang ke rumahku, yang menawarkan kebaikan luar biasa kepada kedua orangtuanya.
"Dia beneran pemilik travel ini?" bisik ku, masih tak percaya.
Bu Sinta tersenyum lembut, lalu melanjutkan ceritanya. "Iya, Pak Bayu adalah pemilik travel ini, beliau sengaja mendirikan travel ini karena menerima sebuah tantangan. Sejauh yang saya tahu, Pak Bayu ditantang oleh seorang bapak yang pernah menyelamatkan hidupnya. Bapak itu berkata, ‘Bayu, berjudi lah dengan Tuhan.’ Pak Bayu sendiri juga bingung awalnya, bagaimana caranya berjudi dengan Tuhan," Bu Sinta mulai bercerita dengan serius, membuat Nurra semakin penasaran.
"Berjudi dengan Tuhan?" Aku bertanya, heran dan bingung.
Bu Sinta mengangguk. "Iya, tantangan itu adalah menyedekahkan 90% penghasilannya. Pak Bayu hanya boleh menggunakan 5% untuk kebutuhan sehari-hari, dan 5% sisanya ditabung untuk keperluan darurat. Pak Bayu menyanggupi tantangan itu, meskipun awalnya ia juga merasa aneh. Tapi ternyata, semakin banyak yang ia sedekahkan, semakin besar keberkahan yang datang. Pak Bayu lalu membangun travel umrah ini sebagai bentuk rasa syukur atas apa yang ia dapatkan dari tantangan tersebut," jelas Bu Sinta panjang lebar.
Aku pun terdiam, hatiku bergetar mendengar cerita itu. Benar-benar sebuah kisah yang tak pernah aku bayangkan. Kini, aku mengerti mengapa Bayu memberangkatkan kedua orangtuaku pergi umrah. "Jadi... Bayu memberangkatkan orangtua saya karena ingin balas jasa?" tanyaku, masih mencoba mencerna cerita yang baru saja didengarnya.
"Betul. Setiap kali ada kesempatan, Pak Bayu selalu mencari orang-orang yang pernah membantunya termasuk di momen terpuruknya. Katanya, Pak Bayu tidak ingin lupa dengan orang-orang yang pernah berjasa dalam hidupnya. Dan, kamu tahu, Nak... Pak Bayu selalu berkata bahwa rezeki yang ia dapatkan adalah hasil dari berjudi dengan Tuhan," ucap Bu Sinta dengan senyum.
Mendengar cerita itu, aku tak mampu menahan air matanya. Tanpa sadar, butiran air mata mengalir membasahi pipiku. Kini, aku mengerti mengapa ayah selalu mengajarkanku tentang pentingnya berbagi dan berbuat kebaikan kepada orang lain. Kebaikan yang selalu diajarkan oleh ayahku kini kembali dengan cara yang begitu indah, cara yang tak pernah aku bayangkan.
Dalam diam, aku teringat setiap momen di mana ayah dengan penuh kesabaran membagikan makanan gratis setiap minggu. Benih kebaikan yang ayahku tabur selama bertahun-tahun akhirnya membuahkan hasil yang begitu manis. Tanpa ku sadari, tanganku bergetar, aku membiarkan air mataku mengalir begitu saja.
"Bayu benar-benar sosok yang luar biasa," gumamku pelan.
Bu Sinta tersenyum hangat dan meletakkan tangannya di bahu ku. "Betul, Nak. Pak Bayu selalu berkata bahwa hidup ini bukan tentang seberapa banyak yang kita dapat, tapi seberapa besar yang bisa kita berikan. Itulah kunci kebahagiaannya," ucap Bu Sinta dengan penuh kebijaksanaan.
Aku menyeka air mataku dan menghela napas panjang. Dalam hati, aku merasa sangat bersyukur. Bukan hanya karena kedua orangtuaku bisa pergi umrah, tapi juga karena pelajaran hidup yang tak ternilai yang aku dapat dari sosok seperti Bayu. Kini, aku merasa lebih kuat dan lebih mengerti makna dari kebaikan yang sesungguhnya.