Dewi Amalina telah menunggu lamaran kekasihnya hampir selama 4 tahun, namun saat keluarga Arman, sang kekasih, datang melamar, calon mertuanya malah memilih adik kandungnya, Dita Amalia, untuk dijadikan menantu.
Dita, ternyata diam-diam telah lama menyukai calon kakak iparnya, sehingga dengan senang hati menerima pinangan tanpa memperdulikan perasaan Dewi, kakak yang telah bekerja keras mengusahakan kehidupan yang layak untuknya.
Seorang pemuda yang telah dianggap saudara oleh kedua kakak beradik itu, merasa prihatin akan nasib Dewi, berniat untuk menikahi Kakak yang telah dikhianati oleh kekasih serta adiknya itu.
Apakah Dewi akan menerima Maulana, atau yang akrab dipanggil Alan menjadi suaminya?
***
Kisah hanyalah khayalan othor semata tidak ada kena mengena dengan kisah nyata. Selamat mengikuti,..like dan rate ⭐⭐⭐⭐⭐, yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sadar T'mora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Realistis dan egois
Tidak menyangka Alan akan benar-benar sanggup membunuhnya. "Terimakasih my guardian angel," ucap Remi pada Hiro dengan suara bergetar. Wajahnya benar-benar pucat seperti darah di tubuhnya telah diperas hingga kandas.
Hiro membantu Remi berdiri, Designer itu susah payah menopang tubuhnya yang gemetar. "Bu Dewi saya hanya menyukai kejujuran jadi tolong berikan keadilan." Dia melirik Alan dengan ekor matanya dengan kemarahan yang tidak dapat disembunyikan.
Haih!
Dewi juga tidak tega melihat wajah Remi yang terlihat kehilangan jiwa. "Sepertinya Bapak Alan lebih suka memakai jasnya sendiri untuk acara besok, tapi saya tetap akan membeli jas hasil rancangan kamu sebagai dispensasi. Ketiga-tiganya dari yang terbaru, apakah pas di tubuh Alan?"
Untungnya ada hal baik. Alhamdulilah, ucap dalam hati Remi. Sekarang dia tau bahwa Alan bukan lah orang yang bisa diajak bercanda. Kekejamannya tidak akan berpikir dua kali untuk menganiaya makhluk bernyawa. "Memang pas," jawab Remi dengan perasaan marah yang terpaksa ditahan.
"Sekarang kamu keluar, bawa barang-barangmu ini sekalian!" Alan memerintah tegas. Dia tidak tahan lagi melihat wajah Remi walau semenit. Entah apa yang membuatnya marah, Alan sendiri pun bertanya-tanya. Kenapa tiba-tiba dia emosi melihat si Remi. Contoh bacaan ijab kabulnya tadi juga membuat Alan ingin menempeleng kepala si Remi, hanya Alan masih berusaha menahan dirinya. Dia aja belum mengucapkan, berani-beraninya si bencong ini melafalkan langsung dengan nama asli Dewi. Itu yang paling membuat Alan panas, kayaknya.
Hm!
Dengan perasaan haru, Remi meninggalkan tiga jas pesanan Dewi. Lalu dengan perasaan sedih, dia menarik troly panjang tempat sisa jas-jasnya digantung. Sambil melangkah dia berkata pada Hiro. "Tuan tampan! Karena anda adalah penyelamat saya, maka saya sekarang milik anda. Jangan lupa untuk merindukan saya kedepannya, saya juga akan merindukan anda."
"Hah!" Renald menekan rasa jijik hampir muntah mendengarnya.
Sementara Dewi menahan senyum diujung bibirnya. Barusan dia merasa kasihan, tapi sekarang hanya tinggal perasaan bersalah terhadap perlakuan Alan yang melampaui batas.
"Baiklah," jawab Hiro. "Saya akan mencari anda jika saya kepingin makan daging manusia."
Gleg!
Jakun Remi menggulung, wajahnya yang pucat semakin pias.
"Hahaha," tawa Renald pelan. Dia rasa Hiro bercanda karena pria itu tersenyum saat mengatakan nya.
Tapi bagi Remi, Hiro pasti serius. Dia dan Alan adalah dua manusia menyeramkan yang pernah ditemuinya selama dia hidup di dunia. Sebagai fashion designer yang telah go internasional, Remi dihormati para kalangan atas, selebrita lokal maupun internasional menyanjungnya. Tapi di depan kedua pria gahar ini, Remi benar-benar jatuh harga diri. "Kalau begitu saya tidak akan merindukan anda Tuan Hiro, permisi Bu Dewi." Cepat-cepat Remi keluar dari kamar itu, Renald mengantar nya ke pintu. "Hati-hati di jalan Remi."
"Terimakasih, Renald."
Karena dia yang suaranya paling rame sendiri, ruangan itu langsung senyap ditinggal Remi.
Dewi kian tertekan dirinya dihargai Alan semahal The Pink Star. Dia merasa tidak pantas menerima penghargaan ini. Diam-diam Dewi mengutuk masa lalunya dengan Arman yang terlewat batas. "Sebaiknya ini disimpan saja. Mas kawin cincin emas biasa masih sempat dibeli malam ini," katanya pada Alan sambil menunjuk perhiasan di tangannya.
"Jadikan mahar saja!" Alan memaksa, ada nada bekas marah pada intonasinya.
Dewi tiba-tiba merasa kalau Alan bukanlah sekedar sekuriti hotel murah dari pinggiran kota, sekarang. Siapa dia? Kemungkinan ada identitas lain. "Baiklah." Dewi pun tidak lagi membantah.
"Boleh kita ambil gambar sekarang?" Renald juga merasakan ketegangan, dia ingin cepat-cepat kelar urusan agar tidak terlibat masalah.
"Oke." Akhirnya, Dewi yang bantu mengenakan jas pada Alan.
Dulu, dia paling suka bergelayut pada ayahnya ataupun kakeknya meski keduanya sedang mengenakan pakaian formal ala kantoran. Tapi Dewi belum pernah menyentuh di tubuh leluhurnya itu ada jas yang sehalus ini. Sedangkan Arman, sudan cukup keren baginya mendapatkan jas yang didesign oleh Remi.
Memang benar jas ini bukan jas mewah biasa. Alan yang tampan, sekarang tampak seperti tiran atau mafia muda yang mendominasi. Dewi baru ngeh kalau wajah Alan ternyata blasteran, asia campur timur tengah atau asia campur eropa. Entahlah,...
"Aku tau kamu tampan, Alan. Tapi tidak menyangka dengan setelah jas ini akan jadi sangat-sangat tampan." Dewi memuji dengan pandangan meleleh. Semakin menyesal kenapa dia membiarkan Arman menjamah tubuhnya sampai ke dalam-dalam, padahal belum tentu mereka berjodoh.
"Thanks anyway," ucap Alan. "Kamu juga sangat cantik." Akhirnya mood pria itu sedikit membaik.
Bukannya tidak senang tapi Dewi merasa hambar dirinya dipuji. Apalah artinya kecantikan fisik jika sudah tidak punya kesucian lagi yang bisa dibanggakan.
Dewi merasa dilema, apakah berterus terang saja sekarang atau nanti setelah sah menikah? Tapi aku perlu menjaga nama baikku, pikirnya. Biarlah, apa yang terjadi nanti tidak usah dipikirkan sekarang. Dewi putuskan untuk bersikap realistis meski sedikit egois.
"Saya tunggu di luar, Bos." Hiro yang berdiri didekat mereka menyambung masuk dalam komunikasi.
"Baik, bukalah dua kamar untuk istirahat malam ini!" Perintah Alan.
"Alan, aku sudah memesan kamar untuk kamu di lantai 4." Dewi memotong cepat. Dia segan jika Alan harus keluar uang lagi hanya untuk membuka kamar. Dia dan teman-temannya telah mengeluarkan uang yang banyak untuk membeli The pink star.
"Aku akan merubahnya sekarang, kamu akan menginap di kamar sebelah. Bagaimana kalau kamar di lantai 4 kasi teman-teman saja. Apakah kamu keberatan Hiro?" Dewi bertanya.
Seharusnya kamar di sebelahnya hendak dia berikan pada Arman tapi entah mengapa Dewi terlalu enggan. Bisa dipastikan orang tuanya akan berkumpul di kamar itu, dia tidak terlalu suka berdekatan dengan mereka. Bukan apa, Dewi bingung mau basa-basinya. Bawaannya serba salah. Sikapnya yang kaku selalu jadi bahan nasehat ibu Arman yang membosankan bagi Dewi. Dari pada hati panas telinga panas, lebih baik tidak usah saja. Sekarang syukurlah ada Alan.
"Tidak." Hiro mengangguk setuju.
Dewi masuk ke kamar tidur, mengambil dua kunci pas. "Ini bawalah," katanya pada Hiro. "Mintalah teman-teman semua yang tidak berhalangan untuk hadir. Jangan masalahkan mengenai kamar, lantai 4 akan jadi milik kalian untuk 2 hari ini. Sampai seminggu juga tidak apa-apa."
"Thanks," ucap Hiro.
"Saya akan menghubungi mereka segera!" Dia mengangguk pada Alan guna meminta persetujuan.
"Hm," balas Alan mengangguk juga, kemudian Hiro keluar dari kamar itu.
Renald yang belum puas memandang Alan, menyahut. "Baiklah, tuan dan Nyonya. Pertama-tama, akan saya ambil gambar perorangan. Kemudian photo berdua untuk beberapa. Anda berdua tidak prewed, jadi anggap saja ini gantinya. Tanpa make-up pun kalian terlihat mengagumkan, tapi saya akan poles sedikit biar terlihat hidup di layar kamera." Renald menyiapkan alat riasnya, karena dia adalah Wedding Organizer serba bisa. Tapi untuk hari H, Dewi akan tetap dirias oleh penata profesional.
Untuk satu jam berikutnya, Alan dan Dewi disibukkan dengan acara sesi photo-photo.
.
.
Selesai photo, Alan dan Dewi tinggal sendirian. Jam telah menunjukkan waktu makan malam. "Aku lapar," kata Dewi yang telah mengganti gaunnya. Aura yang tadi ditunjuk Alan membuatnya jadi agak segan pada pria itu, tidak seperti sebelumnya yang bisa dia suruh dan perintah.
"Baik, kita makan di bawah atau kamu mau ke tempat lain?" Alan juga telah berganti dengan pakaiannya semula.
"Kita makan di luar, sekalian aku mau bawa kamu ke salon rambut." Dewi takut-takut apakah Alan keberatan dirinya diatur-atur. Hanya dia tidak tahan dengan rambut gondrong serta jambang Alan yang panjang nggak teratur. Bukannya Dewi tidak suka pria brewokan, tapi harus rapi dan ada nilai estetika nya.
Hm, Alan mengangguk dengan matanya. "Terserah kamu saja." Dia memang berniat mau merapikan diri meskipun hanya jadi saksi nikah, tapi besok dia akan jadi mempelai. Hehe, ...
___________