Rumah tangga yang sudah lama aku bina, musnah seketika dengan kehadiran orang ketiga di rumah tanggaku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Matahari pagi menembus jendela, membanjiri ruangan dengan cahaya yang terang benderang, seperti mencerminkan keceriaan yang kini mengisi relung hatiku.
Di rumah baru yang telah lama kudambakan ini, setiap sudutnya membawa harapan baru dan kedamaian bagi jiwa yang pernah terluka.
Naura, putri manisku, memanggilku dari balik pintu kamar dengan suara cerianya yang khas. "Mah," serunya dengan nada yang memperlihatkan kegembiraan.
"Iya nak," jawabku sambil beranjak dari tempat dudukku, menanti apa keperluannya pagi itu.
"Buruan mandi, Naura berangkat lebih awal," teriaknya, suara penuh semangat memecah kesunyian pagi. Aku tersenyum mendengar betapa antusiasnya dia.
Langkahku mengarah ke pintu kamar, membukanya perlahan, dan kulihat dia sudah bersiap dengan seragam sekolahnya yang rapi, wajah berseri-seri menandakan hari yang istimewa.
"Anak mamah kok tumben berangkat pagi sekali nak?" tanyaku dengan rasa ingin tahu. Kegirangan terpancar dari sorot matanya, dia melompat kecil di tempatnya, tidak sabar untuk berbagi kabar gembira.
"Kan Naura mau lomba mah," jawabnya dengan bangga.
Hatiku berdesir mendengar semangatnya yang membara, sebuah pengingat bahwa segala luka bisa sembuh dan hari ini adalah awal dari sesuatu yang indah.
Di rumah baru ini, dengan keluargaku di sisi, aku merasa lengkap dan damai, siap untuk mendukung Naura dalam setiap langkah yang ingin dia ambil.
Aku mengelus lembut rambut Naura lalu duduk di depannya,
"Masya Allah, anak mamah mau lomba, maafin mamah ya, sampai mamah gak tahu anak mamah mau lomba hari ini," ucapku dengan perasaan bersalah yang begitu mendalam.
"Gak apa-apa kok, Mah. Mamah kan sibuk cari uang untuk aku," jawab Naura dengan suara lembut yang membuat hatiku luluh.
Mendengar ucapan Naura membuatku sangat terharu. "Aaah, Naura, kamu memang sangat mengerti," batinku.
Aku segera memeluk Naura dengan erat, dan rasa haru serta syukur tak terkira bergejolak dalam dadaku. Naura pun memelukku balik, kedua tangan kecilnya berusaha merapatkan tubuh kami.
"Mandi ah, Mah, bauk," gurau Naura, mencoba mengalihkan suasana menjadi lebih ceria.
"Oke, siap!" sahutku sembari memberi hormat, tertawa bersama keceriaan yang menggantikan kesedihan yang sempat menyelimuti hatiku.
Dengan langkah cepat, aku segera bersiap untuk mandi dan mengantarkan Naura ke sekolah. Setelah selesai, aku mengenakan outfit sederhanaku dan melangkah keluar kamar, turun anak tangga, dan tersenyum senang saat melihat Naura sedang bercanda gurau dengan Tyas dan ibu.
Ada rasa bahagia yang menyeruak dalam hati saat melihat mereka. "Ini dia yang sudah lama kutunggu," gumamku, terpesona oleh aroma masakan ibu yang menggoda nafsu makan.
Sudah lama rasanya aku tidak merasakan sarapan khas yang disiapkan oleh ibu. "Pagi semuanya," sapaanku pada mereka.
"Pagi juga," sahut mereka kompak.
"Ayo nak, sarapan dulu," ajak ibu dengan ramah.
"Tentu, buk. Saya tidak akan menolak," jawabku sembari duduk di samping Naura.
Kuperhatikan meja makan yang penuh dengan lauk pauk, Mengingat sebelumnya aku harus bangun pagi dan menyiapkan sarapan serta pakaian suami dan anak sendiri, sekarang aku bisa lebih menikmati waktu pagi bersama keluarga tanpa beban dan khawatir akan urusan dapur.
Lagipula, hari ini adalah hari spesial karena saudara mamah akan datang berkunjung ke rumah baru kami. Aku menantikan kehangatan pertemuan keluarga tersebut.
Kami bersama-sama menikmati sarapan dengan penuh canda tawa, membuat suasana menjadi lebih hangat dan ceria. Setelah itu, aku segera mengantarkan Naura ke sekolah.
Di tengah perjalanan, Naura berkata, "Mah, pinjam ponselnya dong."
Aku tersenyum kepadanya, "Boleh, ambil saja nak."
Naura mengambil ponselku, dan entah apa yang ia cari, tiba-tiba terdengar suara Kevin di ujung telepon.
[ "Hallo, Rania?"] Aku terkejut sejenak,
namun Naura buru-buru menjawab,[ "Hallo om tampan, aku Naura nih, bukan mamah Rania cantik." ]
Aku tidak bisa menahan kekesalanku, "Naura!" Naura hanya mengedipkan mata ke arahku, seraya meringis lucu dan melanjutkan obrolan dengan Kevin.
Sebagai ibu, aku mencoba meresapi momen ini, merasa bahagia melihat keceriaan anakku. Namun di sisi lain, aku berpikir tentang Kevin.
"Sepertinya Naura begitu nyaman dengan Kevin" batinku sambil terus memperhatikan Naura yang asyik bercakap-cakap dengan Kevin.
["Om, nanti lihat Naura lomba cerdas cermat ya? Mamah sibuk hari ini,"] seru Naura semangat.
"Eh," jawabku singkat.
["Di mana Naura?"] tanya Kevin di sebrang telepon, dengan nada penasaran.
["Di gedung Juang om,"] jawab Naura riang.
["Oke Naura, om pasti datang,"] kataku mencoba menenangkan diri.
["Aaaa, makasih om," ]Naura bersorak ceria. ["Udah dulu ya om, Naura tunggu," ]ucapnya sebelum mematikan teleponnya.
Aku merasa malu saat Naura menaruh teleponnya kembali di dalam tas. "Kenapa dia harus mengadu ke Kevin dan mengatakan bahwa aku tidak bisa datang?" batinku.
Aku merasa bahwa sikap Naura begitu nyaman, bagaimana mungkin dia mengatakan seperti itu kalo buka orang yang Naura anggap sebagai orang penting dalam hidupnya.
Aku akan mencoba menghadiri lomba yang diikuti oleh Naura, walaupun sebenarnya aku harus meeting. Tapi, demi menjaga perasaan Naura, aku akan mencoba untuk hadir tapi kejutan untuk Naura.
Akhirnya, aku sampai di depan gerbang sekolah Naura. Naura segera mencium tanganku dan turun dari mobil. Aku merasa lega sekaligus berharap Naura akan baik-baik saja di sekolah hari ini.
Namun, ketika aku hendak mengegas mobilku, aku melihat dari spion mobilku bahwa Adnan tiba-tiba berhenti di depan Naura. Momen itu sungguh mengejutkanku.
Naura terlihat mencoba berlalu pergi, namun dengan sigap, Adnan keluar dari mobil dan memeluk Naura dari belakang.
Aku merasa ingin mencampuri dan menyampaikan apa yang ada di hatiku, tapi kemudian, aku sadar bahwa sebenarnya aku tak memiliki hak untuk melarang Naura berbincang dengan Adnan. Biarlah itu menjadi urusan Adnan dan Naura sendiri.
Dalam hati, aku berkata, "Dia memang ayah kandung Naura. Meski sulit diterima, aku harus menghargai keinginan Naura." Aku pun mengegas mobil dan melaju ke arah rumah.
Ketika tiba di rumah, aku melihat ibu dan Tyas masih sibuk di dapur, mempersiapkan menyambut kedatangan keluarga kami. Aku ingin berbincang sejenak dengan mereka, namun teringat pekerjaanku yang menumpuk dan harapan melihat perlombaan Naura nanti.
"Kalian benar-benar sibuk sekali ya," seruku sambil berlalu ke atas, sambil merasakan detak waktu yang terus bergerak.
"Iya dong kak," jawab Tyas.
Di kamar, aku segera membuka pintu dan mengganti outfit kerjaku, mencatok rambut agar lebih rapi.
Tidak ingin terlihat kucel saat bekerja, aku pun mengaplikasikan make-up natural yang sempurna di wajahku. Dengan kepercayaan diri yang meningkat, aku menyemprotkan parfum kesukaanku untuk menambah kesan sempurna.
"Ini pasti cukup untuk membuat hari ini lebih baik," gumamku dalam hati. Merasa sudah siap, aku bergegas meninggalkan kamar dan segera berangkat bekerja dengan penuh semangat.
****