NovelToon NovelToon
The RADAN

The RADAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Action / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / TKP
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Moon Fairy

SMA Rimba Sakti terletak di pinggiran Kota Malang. Menjadi tempat di mana misteri dan intrik berkembang. Di tengah-tengah kehidupan sekolah yang sibuk, penculikan misterius hingga kasus pembunuhan yang tidak terduga terjadi membuat sekelompok detektif amatir yang merupakan anak-anak SMA Rimba Sakti menemukan kejanggalan sehingga mereka ikut terlibat di dalamnya.

Mereka bekerja sama memecahkan teka-teki yang semakin rumit dengan menjaga persahabatan tetap kuat, tetapi ketika mereka mengungkap jaringan kejahatan yang lebih dalam justru lebih membingungkan.

Pertanyaannya bukan lagi siapa yang bersalah, melainkan siapa yang bisa dipercaya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moon Fairy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 16

Rian masih terdiam di tempat setelah siswi kelas 12 itu pergi, meninggalkannya dengan perasaan yang entah kenapa sedikit merinding. Dia menoleh ke arah Balai Seni Rupa yang tampak sepi dan sunyi di bawah police line. "Rasa penasaran bisa bahaya?" Rian mengulang ucapannya sendiri. "Bahaya apanya sih, orang cuma mau tahu siapa yang bakar tuh gedung."

Langkahnya kembali melambat. Ia menghela napas panjang, lalu menggerutu lagi, "Ini pasti gara-gara aku doang yang bukan OSIS. Mereka tuh enak, bisa ngobrolin apapun, rapat OSIS kayaknya asik banget, ya? Lah, aku? Sendirian kayak detektif sok-sokan gini."

Sambil berjalan, ia ingat obrolan di perpustakaan tadi. Pikiran tentang bayangan hitam yang terekam di CCTV terus berputar di kepalanya. "Bayangan? Hantu? Hah, mana ada hantu di zaman sekarang." Ia tertawa kecil sambil mendengus. "Tapi serius deh, kalau bukan hantu, siapa coba itu yang ngumpet di belakang gedung?"

Rian memutuskan untuk pergi ke lapangan basket. Dia berpikir, kalau memang ada yang tahu seluk-beluk sekolah, pasti guru-guru, kan? Dia menimbang-nimbang siapa yang harus dia temui. “Bu Asri, guru seni, bisa jadi narasumber penting… Tapi, kayaknya nggak seru kalau aku langsung ke dia. Guru olahraga aja lah, Pak Wibowo.”

Langkahnya membawanya ke lapangan basket yang kosong. Pak Wibowo berdiri di sisi lapangan, sedang memperhatikan beberapa siswa yang latihan atletik. Rian tersenyum tipis, mengingat saat-saat dia hampir mendapatkan beasiswa olahraga basket di kelas 10. Tapi sekarang, basket sudah jadi masa lalu buatnya, lebih menarik mencari tahu soal kebakaran ini.

"Pak Wibowo!" Rian melambaikan tangan, berjalan cepat ke arah guru olahraga itu.

Pak Wibowo menoleh dan menyambutnya dengan anggukan. "Wah, Rian! Mau main basket lagi nih?" tanyanya sambil tersenyum.

"Ah, nggak, Pak. Saya udah pensiun dari dunia per-basketan." Rian menyengir lebar, lalu menggaruk belakang kepalanya. "Eh, Pak, saya mau nanya-nanya soal kebakaran di Balai Seni Rupa kemarin."

Pak Wibowo melipat tangannya di dada dan mengerutkan dahi. "Oh, itu. Iya, ya... kebakaran itu agak aneh, ya? Kata orang-orang, listrik yang konslet. Tapi rasanya ada yang janggal."

Rian menatap guru itu penuh minat. "Nah, itu dia Pak! Saya juga ngerasa ada yang nggak beres. Apalagi di CCTV ada bayangan aneh. Kayak ada yang ngintip di belakang gedung."

Pak Wibowo tertawa kecil, “Bayangan? Hahaha, kamu ini ada-ada aja, Rian. Masa iya bayangan disangkain pelaku?” Namun raut wajahnya berubah serius. “Tapi kalau dipikir-pikir, memang aneh sih. Setau Bapak listrik di Balai Seni Rupa itu udah lama bermasalah. Mestinya pihak sekolah udah perbaiki jauh sebelum insiden ini terjadi. Ngomong-ngomong kamu lihat CCTV dari mana?"

Rian tertawa canggung sambil menggaruk tengkuknya. “Nganu, Pak... minta bantuan Pak Asep, satpam yang gagah dan berani, katanya. Hehe, saya disuruh bilang gitu sama dia kalau ada yang tanya dapat CCTV dari mana,” ucapnya membuat Pak Wibowo hanya menggelengkan kepala saja. Kemudian, Rian bertanya, “Oiya pak, kalau tau ada masalah kenapa ndak langsung diperbaiki to? Kok malah nunggu kebakaran? Apa memang ada yang sengaja biar ada insiden?”

Pak Wibowo tersenyum tipis. "Yah, itu urusan kepala sekolah. Saya guru olahraga cuman bisa ngurusin anak-anak yang mau jadi atlet."

Rian tertawa kecil. “Pak, kalau saya ndak pensiun, wis dadi (udah jadi) atlet nasional kayane saiki (kayaknya sekarang).”

Pak Wibowo menepuk bahu Rian sambil tertawa. "Ya, siapa tau. Tapi kamu udah punya bakat di bidang lain, kayak nyari-nyari kasus begini.”

Setelah berbincang sebentar, Rian berpamitan dan berjalan menjauh dari lapangan. Tapi gerutuan itu belum berhenti juga. “Listrik bermasalah, terus apa? Apa cuma masalah teknis doang atau emang ada yang ngatur di balik semua ini? Tuh si bayangan pasti tau sesuatu…”

Sambil berjalan melewati koridor yang sepi, Rian memikirkan kembali interaksinya dengan Pak Wibowo. "Oke, Pak Bowo bilang listriknya udah lama rusak. Berarti siapa pun yang bakar Balai Seni Rupa tahu soal ini. Tapi kenapa Ria tetap di sana, ya? Kayak dia nggak peduli sama listrik rusak?"

Rian melangkah perlahan-lahan melewati koridor yang sepi, sesekali menendang-nendang kerikil kecil di depannya sambil terus menggerutu. "Kebakaran, listrik rusak, CCTV ada bayangan aneh, OSIS rapat... Aku doang yang disuruh keliling kayak detektif tanpa bayaran. Enak banget mereka."

Saat sedang asyik menggerutu, pintu ruang guru terbuka sedikit, dan Bu Asri, guru seni, keluar dengan membawa beberapa map di tangannya. "Rian? Kamu ngapain di sini sendirian?" tanyanya dengan senyum hangat.

Rian sedikit kaget, tapi langsung menata ekspresi. “Eh, Bu Asri! Saya lagi… ini, Bu, keliling cari angin segar mumpung jamkos,” jawabnya sambil tertawa kaku.

Bu Asri tertawa kecil. "Cari angin atau nyelidikin sesuatu?"

Rian tertegun sesaat. “Lah, kok Bu Asri tahu aja? Saya memang lagi nyelidikin, Bu. Soal kebakaran di Balai Seni Rupa kemarin.”

Bu Asri mengangguk pelan, matanya berubah serius. “Iya, saya dengar soal itu. Kasihan sekali Ria... Dia anak yang sangat berbakat. Lukisannya yang terakhir itu benar-benar menunjukkan potensinya.”

“Lukisan?” Rian menoleh penasaran. “Lukisan yang mana, Bu?”

Bu Asri menghela napas pelan dan menjelaskan, “Sebelum kejadian, Ria sedang mengerjakan lukisan besar untuk perlombaan seni. Judulnya ‘Malam di Candi Singasari.’ Sayangnya, lukisan itu ikut terbakar dalam insiden kemarin.”

Rian mengernyit. “Lukisan buat lomba? Perlombaan apa, Bu?”

“Singasari Art Competition, yang tiap tahun diselenggarakan. Ria sudah hampir selesai dengan lukisannya. Bahkan saya yakin dia bakal menang. Tapi… ya, takdir berkata lain,” jawab Bu Asri dengan nada sedih.

Rian terdiam sejenak, memproses informasi itu. Lukisan untuk lomba... Ini pasti ada hubungannya sama kebakaran ini. Mungkin seseorang iri sama karya Ria. Tapi siapa?

"Rian?" suara Bu Asri membuyarkan pikirannya.

"Eh, iya, Bu?" Rian mengangkat wajahnya.

"Kalau kamu butuh info lebih soal Ria atau lukisannya, saya bisa bantu. Tapi hati-hati ya, jangan sampai kamu ikut terlibat terlalu jauh," kata Bu Asri sambil tersenyum lembut, meski nadanya sedikit mengkhawatirkan.

Rian tersenyum tipis. “Makasih, Bu. Saya bakal hati-hati kok.”

Bu Asri lalu berpamitan dan berjalan pergi, meninggalkan Rian yang masih memikirkan informasi baru itu. "Singasari Art Competition... jadi ini semua mungkin karena lomba? Terus siapa yang iri? Hmmm... mungkin itu bayangan hitam yang ngintip-ngintip di CCTV."

Ia menghela napas panjang lagi, merasa agak frustasi. "Kenapa sih harus aku yang nyelidikin? Paling enak juga rebahan sambil nonton film atau nggak tidur di kelas. Eh, tapi kalau bukan aku yang cari tahu, siapa lagi? Pokoknya habis ini harus minta ditraktir sama bos."

Dengan langkah cepat, Rian akhirnya menuju ke gedung Balai Seni Rupa lagi. Kali ini, ia berencana untuk melihat lebih dekat area kebakaran. Mungkin ada petunjuk lain yang bisa dia temukan di sana, sesuatu yang belum terlihat di CCTV atau sesuatu yang mungkin terlupakan.

Setibanya di sana, Rian berdiri tepat di depan police line yang mengelilingi Balai Seni Rupa. Dia memandang ke dalam, memperhatikan sisa-sisa bangunan yang hangus terbakar. "Mungkin bayangan hitam itu nongkrong di sini. Ngapain ya dia? Pelaku kebakaran atau cuma saksi?"

Rian melipat tangan di dada, berpikir keras, tapi lalu tertawa kecil sendiri. "Eh, jangan-jangan dia cuma penggemar seni gelap yang keliling malam-malam. Atau, jangan-jangan itu beneran hantu. Hahaha."

Di tengah kebingungannya, Rian merasa seperti sedang berada di tengah drama detektif yang rumit. “Hmmm, kalau aku jadi detektif, mungkin udah ada efek zoom dramatis di sini.” Dia menyeringai lebar dan mulai memutar otaknya lagi.

Ria, lomba seni, kebakaran, dan bayangan hitam... Semua ini pasti terhubung. Pikirannya mulai menyusun berbagai teori liar. Tapi ia tahu, yang paling penting sekarang adalah menemukan siapa orang di balik bayangan hitam itu.

...—o0o—...

1
ADZAL ZIAH
keren kak ceritanya... dukung karya aku juga ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!