NovelToon NovelToon
Topeng Dunia Lain

Topeng Dunia Lain

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Kutukan / Hantu / Roh Supernatural
Popularitas:275
Nilai: 5
Nama Author: Subber Ngawur

Rafael tidak pernah mengira hidupnya akan berubah saat dia menemukan sebuah topeng misterius. Topeng itu bukan sembarang artefak—ia membuka gerbang menuju dunia lain, dunia yang dihuni oleh makhluk gaib dan bayangan kegelapan yang tak bisa dijelaskan. Setiap kali Rafael mengenakannya, batas antara dunia nyata dan mimpi buruk semakin kabur.

Di tengah kebingungannya, muncul Harun, tetangga yang dianggap 'gila' oleh penduduk desa. Namun, Harun tahu sesuatu yang tidak diketahui orang lain—rahasia kelam tentang topeng dan kekuatan yang menyertai dunia lain. Tapi, apakah Rafael bisa mempercayai pria yang dianggap tak waras ini, atau dia justru menyerah pada kekuatan gelap yang mulai menguasainya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Subber Ngawur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Luka yang Lebih Dalam

Rafael duduk di tepi tempat tidurnya, memegang bagian belakang kepalanya yang masih terasa sakit. Denyut nyeri di sana mengingatkannya pada benturan yang dialami semalam, tapi bagi Rafael, sakit di kepalanya tidak sebanding dengan sakit di hatinya. Rasa kecewa terhadap sikap papa membebani pikirannya lebih berat daripada rasa sakit fisik yang dia rasakan.

“Kenapa harus begini?” Rafael bergumam dalam hati. Dia teringat masa kecilnya, ketika papa dulu selalu penuh perhatian. Dulu, papa adalah pahlawan baginya—selalu ada di sana saat Rafael butuh, selalu mendengarkan, selalu memberikan dukungan. Tetapi sekarang, semuanya berubah. Semenjak mama meninggal, Adrian seolah-olah menutup diri. Bukan hanya menjauh, tetapi juga melupakan bagaimana menjadi papa yang dekat dengan anaknya. “Kenapa sekarang Papa cuma bisa marah?” Pikir Rafael, rasa kecewa semakin menguasai dirinya.

Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu kamar.

“Rafael? Kamu nggak apa-apa?” Suara Adrian terdengar dari luar, sedikit lembut tetapi penuh keraguan.

Rafael mendesah, kepalanya tertunduk. “Gak apa-apa,” jawabnya pendek, meskipun hatinya tidak sejalan dengan kata-katanya. Dia tidak ingin bicara dengan papanya sekarang—tidak setelah semua amarah dan rasa kecewa yang dia rasakan.

Suara Adrian terdengar lagi, sedikit lebih lembut kali ini, seolah mencoba membujuk. “Semalam kamu kenapa bisa pingsan? Kamu sakit? Papa periksa dulu, ya?”

Namun, Rafael sudah terlanjur tenggelam dalam kekecewaan. Kenapa Papa baru peduli sekarang? pikirnya sinis. Setiap kata yang keluar dari mulut Adrian kini terasa seperti sebuah kepura-puraan. Setelah kemarahan yang begitu keras tadi, kenapa sekarang Adrian berpura-pura peduli?

Rafael bangkit dari tempat tidur, membelakangi pintu kamar. Alih-alih membuka pintu, dia meraih tasnya yang tergeletak di lantai. Di dalamnya, topeng yang dia temukan di bawah pohon besar itu masih ada, terbungkus debu dan kotoran. Perlahan, Rafael mengeluarkannya, matanya terpaku pada detail-detail topeng yang kini tampak lebih nyata daripada sebelumnya.

Topeng itu kotor, penuh debu, tetapi bagi Rafael, topeng itu adalah distraksi dari rasa sakit hatinya. Topeng itu... aneh tapi menarik. Tanpa pikir panjang, Rafael membawa topeng itu ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Dia tidak peduli pada suara ketukan yang masih terdengar di pintu.

“Rafael, buka pintunya. Papa cuma mau bantu,” kata Adrian lagi, suaranya terdengar semakin cemas. Namun Rafael tetap tidak merespons. Ia merasa lelah dengan semua perhatian yang datang terlambat.

Di kamar mandi, Rafael membuka keran air dan mulai mencuci topeng itu. Air yang mengalir membasahi permukaan topeng, membersihkan kotoran yang menutupi ukirannya. Perlahan, detail-detail seram yang sebelumnya tertutup tanah dan debu mulai terlihat jelas—mata yang besar dan gelap, bibir yang melengkung dalam senyum misterius. Semakin Rafael membersihkan topeng itu, semakin dia terpikat oleh keindahannya yang aneh.

“Rafael, papa mau kamu buka pintu sekarang. Kita bisa bicara,” suara Adrian kembali terdengar dari balik pintu, kali ini dengan lebih banyak rasa frustrasi. Tapi Rafael hanya terus memusatkan perhatiannya pada topeng. Dia tidak mau mendengar apapun lagi. Baginya, semua percakapan itu sudah tidak berarti.

Setelah mencuci topeng di kamar mandi, Rafael keluar dengan air yang masih menetes dari tangan dan topeng yang kini terlihat bersih.

“Papa pergi aja... Udah waktunya ke rumah sakit, kan?” serunya dengan nada dingin, membelakangi pintu.

Adrian yang masih berdiri di luar pintu, tertegun mendengar penolakan Rafael. Rasa sedih merambat di hatinya, membuatnya merasa semakin bersalah. Tentu saja, Rafael marah. Setelah semua yang terjadi, Adrian tahu bahwa ajakan untuk bicara sekarang tidak akan mengubah apa-apa. Penolakan Rafael menyentuh sisi terdalam hatinya, tetapi Adrian menyadari bahwa memaksa berbicara saat ini hanya akan memperburuk keadaan.

Dengan perasaan berat, Adrian menghela napas panjang. Dia menoleh ke arah Minah, yang telah berdiri di dekat tangga, tampak mendengar sebagian dari percakapan mereka. “Bik, tolong siapkan sarapan buat Rafael. Dia sepertinya kurang sehat,” ujar Adrian pelan. “Kalau ada apa-apa, langsung hubungi saya.”

Minah mengangguk dengan hormat. “Baik, Pak,” jawabnya.

Adrian menatap pintu kamar Rafael untuk terakhir kali sebelum akhirnya melangkah pergi.

Di kamar, Rafael duduk kembali di tepi tempat tidur. Topeng itu sekarang ada di pangkuannya, terlihat lebih jelas setelah dibersihkan. Ukiran-ukirannya yang rumit, bentuk mata yang gelap dan kosong, serta senyum tipis yang terukir di wajah topeng membuatnya tampak semakin misterius. Rafael mengelap sisa air yang menempel dengan tisu, memastikan permukaannya kering sepenuhnya.

Dia menatap topeng itu dalam diam, rasa penasaran yang sulit dijelaskan menguasai pikirannya. Ada sesuatu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak. Entah mengapa, meskipun terlihat menyeramkan, ada daya tarik yang membuat Rafael enggan melepaskannya. Dengan napas pelan, dia memutuskan untuk mencobanya.

Perlahan, Rafael mengangkat topeng itu ke wajahnya. Begitu topeng itu menutupi wajahnya, seketika udara di sekelilingnya berubah. Suasana kamarnya yang tadinya sunyi dan dingin tiba-tiba terasa jauh berbeda—lebih padat, lebih berat. Seperti ada sesuatu yang menekan dari segala arah, membuat setiap tarikan napas terasa sulit.

Saat itu juga, pandangannya mulai berubah. Semula hanya kamar tidurnya yang sederhana dengan dinding putih polos, kini menjadi sesuatu yang tak lagi bisa dia pahami. Ruangan di sekitarnya berubah—cahaya yang biasanya masuk dari jendela kini tampak redup, seolah-olah disaring oleh kegelapan yang tiba-tiba menyelimuti segala hal.

Seketika, suara-suara mulai terdengar samar. Bukan suara dari luar, melainkan dari dalam kepalanya. Bisikan-bisikan, hampir seperti gumaman yang sulit dipahami, semakin jelas. Suara itu datang dari segala arah, mengalir masuk ke dalam benaknya, membuat bulu kuduknya berdiri.

“Ini... apa?” batinnya, matanya berusaha menyesuaikan diri dengan apa yang dilihatnya, tetapi semuanya terasa begitu salah.

Dari sudut pandang matanya yang terhalang topeng, Rafael melihat sesuatu di sudut kamarnya. Bayangan yang semula dia pikir hanyalah ilusi perlahan bergerak. Bayangan itu semakin nyata, seperti sedang mengintai dari pojok ruangan, tubuhnya membungkuk, siluetnya menyerupai sosok manusia tapi... bukan.

Sosok itu tiba-tiba bergerak lebih dekat, nyaris tanpa suara, dan Rafael bisa merasakan napas dingin di lehernya. Keringat dingin mulai membasahi punggungnya, napasnya tertahan. Jantungnya berdebar semakin kencang, seolah ingin keluar dari dadanya.

Dia mencoba meraih topeng itu untuk mencopotnya, tapi tangan Rafael seakan tak bisa bergerak. Semakin dia berusaha menarik topeng itu dari wajahnya, semakin erat rasanya topeng itu melekat, seperti menyatu dengan kulitnya. Suara bisikan di dalam kepalanya semakin keras, lebih mendesak, lebih menyeramkan, hingga membuat kepalanya berdenyut hebat.

“Lepas! Lepas!!” jeritnya dalam hati, tetapi tangannya tak kunjung mampu menarik topeng itu.

Sosok bayangan itu kini berada tepat di depan Rafael. Matanya yang kosong menatap lurus ke dalam jiwa Rafael, tak berkedip, tak bergerak. Wajahnya tak jelas, hanya kegelapan yang pekat, tetapi Rafael tahu bahwa makhluk ini... tahu sesuatu tentang dirinya. Makhluk itu seolah menunggu sesuatu, dan saat Rafael berpikir untuk melawan, sosok itu tiba-tiba menghilang, lenyap dalam kegelapan.

Rafael terjatuh ke lantai, keringatnya mengalir deras. Dengan sisa-sisa tenaga, dia berhasil melepas topeng itu dari wajahnya dan melemparkannya ke ujung ruangan. Napasnya tersengal-sengal, tubuhnya gemetar hebat.

Ketika dia menoleh, topeng itu hanya diam, tergeletak di lantai. Tapi Rafael tahu... sesuatu sudah berubah. Topeng itu bukan sekadar benda mati. Ia membawa sesuatu yang lebih gelap, lebih dalam—sesuatu yang sudah memanggilnya sejak awal.

Dia tidak tahu pasti apa yang terjadi, tapi satu hal jelas: topeng itu... berbahaya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!