Letnan Hiroshi Takeda, seorang prajurit terampil dari Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia II, tewas dalam sebuah pertempuran sengit. Dalam kegelapan yang mendalam, dia merasakan akhir dari semua perjuangannya. Namun, ketika dia membuka matanya, Hiroshi tidak lagi berada di medan perang yang penuh darah. Dia terbangun di dalam sebuah gua yang megah di dunia baru yang penuh dengan keajaiban.
Gua tersebut adalah pintu masuk menuju Arcanis, sebuah dunia fantasi yang dipenuhi dengan sihir, makhluk fantastis, dan kerajaan yang bersaing. Hiroshi segera menyadari bahwa keterampilan tempur dan kepemimpinannya masih sangat dibutuhkan di dunia ini. Namun, dia harus berhadapan dengan tantangan yang belum pernah dia alami sebelumnya: sihir yang misterius dan makhluk-makhluk legendaris yang mengisi dunia Arcanis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sapoi arts, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seni Samurai
Di tengah lapangan latihan yang luas, suasana terasa tegang setelah Calista memanggil sepuluh murid untuk maju melawan Hiroshi.
Namun, perhatian para murid lebih tertuju pada sosoknya yang tidak seperti ksatria biasa.
Alih-alih memakai zirah berat atau jubah sihir, Hiroshi mengenakan seragam militer berwarna gelap yang tidak biasa dengan mantel hitam panjang yang berkibar ringan setiap kali dia bergerak.
Salah satu murid, yang berada di barisan paling depan, berbisik kepada temannya,
"Apa itu? Kenapa dia memakai pakaian aneh seperti itu? Bukan zirah atau jubah penyihir?"
Yang lain mengangguk setuju.
“Dia tidak tampak seperti petarung. Lihat saja, tidak ada aura sihir sedikit pun darinya.”
"Benar," gumam seorang murid yang memegang tongkat sihir, matanya penuh keraguan.
"Mungkin dia hanya mengandalkan keterampilan pedang tanpa sihir. Bagaimana dia bisa bertahan menghadapi kami yang menggunakan sihir dan pedang?"
Calista, yang berdiri di samping mereka, mendengar bisikan itu, lalu tersenyum tipis dan berbicara dengan suara yang lebih keras,
"Jangan meremehkannya hanya karena dia tidak seperti yang kalian harapkan. Serang saja dia. Bahkan jika kalian maju sepuluh orang sekaligus, itu tidak akan membuat perbedaan."
Kata-kata Calista membuat para murid terdiam. Namun, beberapa murid ambisius maju dengan penuh percaya diri.
Mereka memandang Hiroshi dengan sedikit meremehkan, yakin bahwa ketidakhadirannya akan sihir membuatnya mudah dikalahkan.
“Baiklah, kalau begitu,” kata seorang murid dengan pedang besar di tangannya. “Aku ingin melihat apakah dia benar-benar sekuat yang dikatakan.”
Mereka pun maju, sebagian menghunuskan pedang, sebagian menyiapkan mantra. Beberapa murid penyihir di barisan belakang mulai merapal mantra mereka.
“Ignis Volatus!” teriak salah satu murid, meluncurkan bola api besar ke arah Hiroshi.
Di saat yang sama, murid lain berteriak, “Ventus Secare!” dan menciptakan angin tajam yang diarahkan ke sisi Hiroshi, seolah untuk menghalangi gerakannya.
Namun, Hiroshi dengan gesit menghindari bola api yang meluncur, lalu melompat dengan ringan untuk menghindari angin yang memotong tanah di bawahnya.
Gerakannya tenang dan terkendali, tidak tergesa-gesa, seolah dia sudah mengantisipasi setiap serangan. Murid-murid itu tertegun melihatnya.
“Bagaimana mungkin dia bisa menghindarinya tanpa menggunakan sihir?” gumam seorang murid yang berada di belakang, matanya membesar.
Hiroshi mengeluarkan katananya, matanya fokus, tanpa terganggu oleh serangan-serangan yang terus berdatangan. Saat murid-murid yang menggunakan pedang menyerang bersamaan, Hiroshi menggunakan bagian belakang katananya untuk menangkis dan menyerang balik.
Setiap gerakannya presisi, membuat para murid yang menyerang menjadi bingung dan kaget.
Salah satu murid mencoba mengarahkan sihir pelindungnya dengan teriakan,
“Aegis Luna!” Sebuah perisai sihir muncul di depannya, namun Hiroshi dengan gesit melangkah di sekitar perisai tersebut, menghindari pertarungan frontal.
Dalam gerakan cepat, Hiroshi melompat dan mengayunkan katananya dengan cepat ke arah para penyihir yang berada di belakang, menggunakan punggung pedangnya sehingga tidak menimbulkan luka serius, namun cukup untuk menjatuhkan mereka ke tanah.
Murid-murid yang tersisa mulai merasakan tekanan. Mereka terdiam sejenak, menatap Hiroshi yang masih berdiri tegap, tanpa sedikit pun terlihat kelelahan.
Pedangnya masih berkilauan, tanpa tetesan darah, menunjukkan betapa terkendalinya setiap gerakannya.
“Dia... dia tidak menggunakan sihir...,” bisik salah satu murid yang tersisa, mencoba memahami bagaimana Hiroshi bisa begitu kuat tanpa kekuatan sihir sama sekali.
“Dan gerakan pedangnya aneh... seperti taktik militer, tapi... ini berbeda.”
Salah satu penyihir, dengan raut wajah bingung, mencoba merapal mantra lain.
“Fulmen Sagitta!” Sebuah anak panah petir melesat ke arah Hiroshi, namun dengan kelincahan luar biasa, Hiroshi menghindarinya lagi, tubuhnya bergerak dengan cara yang tidak terduga bagi mereka yang terbiasa dengan gerakan tradisional para kesatria dan penyihir.
Murid-murid yang tersisa mulai menyadari bahwa meskipun mereka menggunakan sihir dan pedang, ada sesuatu yang jauh lebih mendalam dalam cara bertarung Hiroshi.
Dia tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik atau sihir, tetapi juga pengalaman bertarung yang tak terlihat oleh mata mereka. Cara dia memegang katananya, gerakan halus namun mematikan—semua itu menempatkannya jauh di atas mereka.
Salah satu murid yang tersisa, yang terlihat paling ambisius, mencoba sekali lagi untuk menyerang. Dia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi dan berteriak,
“Aku tidak peduli sihir atau tidak! Kau tidak akan lolos dariku!”
Namun, sebelum pedang itu bisa menyentuh Hiroshi, dia telah bergerak lebih cepat dari yang bisa diantisipasi oleh lawannya.
Dalam satu gerakan, Hiroshi menangkis serangan itu dengan bagian belakang katananya, memutar tubuh, dan menjatuhkan murid itu ke tanah.
Selesai sudah. Sepuluh murid terkapar di tanah, terengah-engah dan penuh kebingungan, sementara Hiroshi berdiri tenang, tanpa terluka sedikit pun.
Calista, yang menyaksikan seluruh pertarungan, akhirnya angkat bicara.
"Lihat, saya sudah katakan sebelumnya, Hiroshi ini bukan sembarang petarung. Meski tidak ada aura sihir yang kalian lihat, kekuatannya jauh di luar dugaan kalian.”
Para murid, yang sekarang duduk di tanah, hanya bisa terdiam. Mereka menyadari bahwa kekuatan sejati tidak selalu berasal dari sihir atau pedang semata, tapi dari ketenangan, pengalaman, dan kemampuan untuk membaca pertempuran dengan tajam.
____
Ketika para murid bangkit kembali, sorot mata mereka berubah. Tidak ada lagi keraguan atau rasa meremehkan terhadap Hiroshi.
Mereka sekarang memahami betapa kuatnya lawan mereka. Namun, hal itu justru membuat mereka semakin bersemangat untuk mengalahkannya. Hiroshi, yang berdiri tenang dengan katananya, tetap memancarkan aura tenang tanpa sedikit pun terlihat gentar.
Murid pertama yang bangkit adalah seorang pendekar dengan pedang besar. Dengan seruan lantang, ia melompat maju, menyerang Hiroshi dengan ayunan kuat.
Pedangnya berdering keras saat mengenai tanah di mana Hiroshi sebelumnya berdiri. Tapi dalam sekejap, Hiroshi sudah tidak ada di tempat itu.
Dalam satu gerakan cepat, Hiroshi melompat ke samping, katananya memotong angin dengan kecepatan luar biasa.
"Men-uchi!" serangannya mengenai helm murid itu, namun tanpa menggunakan sisi tajam katananya, membuat murid itu terjatuh dengan keras ke tanah.
"Bagaimana dia bisa secepat itu...?" bisik seorang murid penyihir yang melihat dari belakang. Namun dia tak sempat berpikir lebih jauh karena kini giliran mereka menyerang.
"Incendio Orbis!" teriak salah satu murid, mengarahkan bola api raksasa ke arah Hiroshi. Namun, dengan gerakan cepat, Hiroshi menunduk rendah, memutar tubuhnya dengan sempurna, dan menghindari bola api tersebut dengan langkah
"Tsubame Gaeshi"—teknik yang memungkinkannya menyerang dari dua arah sekaligus. Katananya berkelebat dengan kecepatan tinggi, membuat garis-garis angin di udara.
Dua murid penyihir lainnya segera merapal mantra.
"Fulmen Arcus!" seru mereka bersamaan, meluncurkan petir dalam bentuk busur yang menjalar di sepanjang tanah menuju Hiroshi.
Namun Hiroshi, dengan mata yang terfokus pada serangan, merubah langkahnya. Dengan gerakan
"Iai", dia mencabut katananya secepat kilat dan memotong busur petir tersebut, membelah energi sihir itu menjadi dua. Murid-murid itu terkejut, tak pernah menyangka ada orang yang bisa menahan sihir dengan pedang biasa.