Dalam novel Janji Cinta di Usia Muda, Aira, seorang gadis sederhana dengan impian besar, mendapati hidupnya berubah drastis saat dijodohkan dengan Raka, pewaris keluarga kaya yang ambisius dan dingin. Pada awalnya, Aira merasa hubungan ini adalah pengekangan, sementara Raka melihatnya sebagai sekadar kewajiban untuk memenuhi ambisi keluarganya. Namun, seiring berjalannya waktu, perlahan perasaan mereka berubah. Ketulusan hati Aira meluluhkan sikap keras Raka, sementara kehadiran Raka mulai memberikan rasa aman dalam hidup Aira.
Ending:
Di akhir cerita, Raka berhasil mengatasi ancaman yang membayangi mereka setelah pertarungan emosional yang menegangkan. Namun, ia menyadari bahwa satu-satunya cara untuk memberikan kebahagiaan sejati pada Aira adalah melepaskan semua kekayaan dan kuasa yang selama ini menjadi sumber konflik dalam hidupnya. Mereka memutuskan untuk hidup sederhana bersama, jauh dari ambisi dan dendam masa lalu, menemukan kebahagiaan dalam cinta yang tulus dan ketenangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjar Sidik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Pengkhianatan
Malam itu, Aira tidak bisa tidur. Bayangan Beni dan sikapnya yang misterius di taman sekolah terus berputar di pikirannya. Apa maksud ucapan Beni? Apakah dia benar-benar di pihak mereka, atau hanya berpura-pura? Keraguan dan rasa curiga mulai memenuhi benaknya, membuatnya tak tenang.
Paginya, di sekolah, suasana terasa lebih sunyi dari biasanya. Tatapan teman-teman sekelas yang diam-diam memperhatikan gerak-geriknya membuat Aira merasa semakin terpojok. Di sela-sela langkahnya menuju kelas, ia bertemu Raka yang juga tampak gelisah.
"Raka, apa kamu juga merasakan sesuatu yang aneh?" tanya Aira pelan, memastikan tak ada yang mendengar.
Raka mengangguk sambil menatap sekeliling dengan waspada. "Ya, ada sesuatu yang tidak beres. Sepertinya kita semakin diperhatikan. Dan aku khawatir... mungkin salah satu dari kita yang membuat kita terjebak seperti ini."
Aira menelan ludah, merasakan kecurigaan itu semakin tumbuh dalam dirinya. "Kamu pikir... ada pengkhianat di antara kita?"
"Kemungkinan itu ada, Aira," jawab Raka, suaranya penuh ketegasan. "Dan kita harus segera mencari tahu siapa orangnya sebelum dia menghancurkan kita semua."
---
Siang itu, Adrian mengumpulkan mereka di sebuah ruangan kecil yang jarang digunakan di sekolah. Wajahnya serius, seperti tengah memikirkan rencana besar yang melibatkan mereka semua.
"Aku rasa kita semua sudah tahu apa yang sedang terjadi," kata Adrian tanpa basa-basi. "Ada seseorang di antara kita yang sudah bocor, memberi informasi pada pihak lain."
Aira merasa seluruh tubuhnya menegang. Ia menatap Raka dan Adrian bergantian, mencari tahu apakah mereka juga merasakan kecurigaan yang sama. Tapi kemudian, Beni tiba-tiba muncul di pintu, senyum samar menghiasi wajahnya yang dingin.
"Kalian sedang membicarakanku?" tanyanya, dengan nada tenang yang terdengar menakutkan.
Raka melangkah maju, tatapannya tajam. "Beni, kamu ada di pihak mana sebenarnya? Kenapa kamu selalu muncul di saat-saat yang mencurigakan?"
Beni tersenyum kecil, seperti menikmati ketegangan yang melanda mereka. "Tenang, Raka. Aku hanya ingin memastikan kalau kalian semua aman. Lagipula, bukankah kita semua ada di sisi yang sama?"
Aira mulai merasa ada yang tidak beres. "Kalau kamu benar-benar di pihak kita, kenapa kamu selalu muncul tanpa diundang? Dan ucapanmu kemarin... itu seperti ancaman, bukan bantuan."
Beni tertawa kecil. "Mungkin karena aku ingin menguji kalian. Ingin tahu seberapa jauh kepercayaan kalian pada satu sama lain. Dan ternyata, kalian mudah sekali goyah."
Adrian, yang selama ini diam, akhirnya angkat bicara. "Jadi, ini semua hanya permainan bagimu, Beni?"
Beni mengangkat bahu, masih dengan senyum liciknya. "Mungkin. Atau mungkin aku hanya ingin melihat siapa yang paling kuat di antara kalian."
Aira merasa amarahnya mulai memuncak. "Jika ini hanya permainan untukmu, maka lebih baik kau pergi, Beni. Kami tidak butuh orang yang hanya membuat kami semakin terpojok."
Namun, Beni justru mendekatkan wajahnya ke arah Aira, berbisik dengan suara rendah yang hanya bisa didengar olehnya. "Hati-hati, Aira. Kadang, orang terdekat kita justru yang paling berbahaya."
Kalimat itu membuat Aira terdiam, terpaku pada kata-kata Beni yang terasa menusuk. Siapa yang ia maksud? Raka? Adrian? Atau... dirinya sendiri? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikirannya.
---
Beberapa hari kemudian, situasi semakin mencekam. Adrian menemukan bahwa rencana mereka diketahui oleh pihak lain sebelum mereka sempat bertindak. Semua langkah mereka seolah-olah telah diawasi sejak awal. Itu membuatnya semakin yakin bahwa ada mata-mata di antara mereka.
Malam itu, mereka bertiga bertemu di sebuah tempat yang sepi. Adrian mengutarakan temuannya dengan nada dingin.
"Kita sudah terjebak terlalu dalam," katanya. "Rencana kita selalu bocor sebelum kita melaksanakannya. Dan itu berarti seseorang di antara kita yang memberi tahu."
Raka menatap Adrian dengan ekspresi terluka. "Apa maksudmu? Kamu menuduh kami?"
"Bukan menuduh," jawab Adrian tegas. "Hanya memastikan. Kita harus jujur satu sama lain, atau semuanya akan hancur."
Aira tak tahan lagi. "Adrian, Raka… apa kalian tidak percaya satu sama lain? Bukankah kita sudah bersama selama ini? Kenapa harus saling mencurigai?"
Adrian menghela napas. "Maaf, Aira. Tapi ini bukan tentang kepercayaan. Ini tentang bertahan hidup. Jika kita tidak menemukan siapa pengkhianat di antara kita, kita semua akan jatuh."
Raka mendekat, menatap mata Adrian dengan tajam. "Kalau begitu, adakan satu cara untuk memastikan kesetiaan kita. Buktikan kalau kita masih bisa dipercaya."
"Bagaimana caranya?" tanya Adrian dengan nada skeptis.
"Aku akan berbagi rencana terakhir kita," jawab Raka. "Dan siapa pun yang membocorkan ini, dialah pengkhianatnya."
Aira merasa jantungnya berdetak kencang, ketakutan mulai merayap di hatinya. "Tapi itu berbahaya. Bagaimana jika rencana itu benar-benar sampai ke tangan musuh?"
Raka menatapnya dengan tenang. "Itulah risikonya. Kita tidak punya pilihan lain, Aira. Ini adalah satu-satunya cara."
---
Malam berikutnya, Raka, Adrian, dan Aira duduk bersama, mendiskusikan rencana yang akan menjadi penentu. Mereka membuat kesepakatan: hanya mereka bertiga yang tahu rencana itu, tanpa melibatkan siapa pun, bahkan teman terdekat mereka.
Raka menjelaskan rencana itu dengan detail, sementara Aira dan Adrian mendengarkan dengan seksama. Namun, di tengah pembicaraan, Beni muncul entah dari mana, seperti sudah tahu akan ada pertemuan rahasia.
"Aku ikut dalam rencana ini," kata Beni dengan percaya diri, tanpa memberikan kesempatan bagi mereka untuk menolak.
"Bagaimana kamu bisa tahu pertemuan ini?" tanya Adrian, curiga.
"Aku punya caraku sendiri," jawab Beni ringan. "Jadi, aku akan terlibat, atau kalian akan merugi."
Aira merasa ada yang tidak beres, tapi ia tak bisa menolak tanpa alasan yang jelas. Akhirnya, mereka bertiga terpaksa menerima keberadaan Beni dalam rencana itu, meskipun penuh kecurigaan.
---
Hari demi hari berlalu, dan setiap langkah mereka terasa semakin berat. Mereka selalu dalam kondisi waspada, takut jika Beni benar-benar terlibat dengan pihak musuh.
Sampai suatu malam, Adrian mendapat pesan misterius di ponselnya. Pesan itu berisi rincian dari rencana yang sudah mereka diskusikan. Semua rencana yang hanya diketahui mereka bertiga—plus Beni.
Adrian merasakan amarah sekaligus kecewa. Dengan tergesa-gesa, ia menemui Raka dan Aira untuk memberi tahu temuan terbarunya.
"Kita sudah dikhianati," ucap Adrian dengan suara bergetar. "Beni... dia membocorkan rencana kita pada mereka."
Raka merasakan amarah membara dalam dirinya. "Aku tahu dia tidak bisa dipercaya! Dia bermain dengan kita sejak awal!"
Aira merasa hatinya hancur, pengkhianatan ini bukan sekadar ancaman, tetapi juga melukai persahabatan mereka. "Jadi... semua yang dia lakukan hanya untuk membuat kita semakin terjebak?"
Adrian mengangguk, ekspresi wajahnya penuh kepahitan. "Kita harus mengambil tindakan sebelum dia menghancurkan kita sepenuhnya."
---
Di tengah ketegangan itu, mereka bertiga menyusun rencana terakhir untuk menjebak Beni dan mengungkap identitas aslinya. Mereka tahu, ini akan menjadi ujian terbesar bagi persahabatan mereka. Raka mengambil napas dalam-dalam, siap mengorbankan segalanya untuk menjaga keselamatan Aira dan Adrian.
Pada akhirnya, saat malam tiba dan semua mulai terungkap, mereka menghadapi Beni yang ternyata telah menyiapkan jebakan untuk mereka. Beni tertawa, merasa di atas angin.
"Kalian sungguh bodoh," ejeknya. "Kalian percaya begitu saja padaku, dan kini lihatlah, kalian semua berada dalam genggamanku."
Raka, Adrian, dan Aira saling menatap, berusaha mencari celah untuk membalikkan keadaan. Mereka tahu, malam ini akan menjadi penentuan. Di saat yang genting, Adrian memberikan sinyal pada Raka dan Aira untuk bersiap melawan.