Aluna, seorang penulis sukses, baru saja merampungkan novel historis berjudul "Rahasia Sang Selir", kisah penuh cinta dan intrik di istana kerajaan Korea. Namun, di tengah perjalanannya ke acara temu penggemar, ia mengalami kecelakaan misterius dan mendapati dirinya terbangun di dalam tubuh salah satu karakter yang ia tulis sendiri: Seo-Rin, seorang wanita antagonis yang ditakdirkan membawa konflik.
Dalam kebingungannya, Aluna harus menjalani hidup sebagai Seo-Rin, mengikuti alur cerita yang ia ciptakan. Hari pertama sebagai Seo-Rin dimulai dengan undangan ke istana untuk mengikuti pemilihan permaisuri. Meski ia berusaha menghindari pangeran dan bertindak sesuai perannya, takdir seolah bermain dengan cara tak terduga. Pangeran Ji-Woon, yang terkenal dingin dan penuh ambisi, justru tertarik pada sikap "antagonis" Seo-Rin dan mengangkatnya sebagai selirnya—suatu kejadian yang tidak pernah ada dalam cerita yang ia tulis!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20: Apakah ini Kabar Bahagia?
Pagi itu, setelah merenung panjang dan menghadapi dilema batinnya, Pangeran Ji-Woon akhirnya memutuskan untuk menerima kenyataan dan menghadapi tugas yang telah lama dihindarinya. Jika memiliki keturunan dari Kang-Ji adalah satu-satunya jalan agar Seo-Rin bisa kembali ke istana, maka ia harus melakukannya—meski hatinya dipenuhi perasaan berat dan enggan.
Saat malam tiba, Ji-Woon berjalan pelan menuju paviliun Kang-Ji. Ada ketegangan di setiap langkahnya. Ia menyadari betul bahwa ini adalah malam yang bisa mengubah banyak hal dalam hidupnya, dan terutama dalam hubungan rumit yang telah ia jalani dengan Seo-Rin. Namun, setiap kali ia mengingat tekadnya untuk membawa Seo-Rin kembali, ia meneguhkan hatinya lagi.
Di paviliun, Kang-Ji sudah menanti dengan senyuman yang tenang namun penuh harapan. Dengan mata berkilau, ia menyambut Pangeran Ji-Woon, berharap malam itu menjadi malam yang berbeda—malam yang akan menguatkan posisinya sebagai permaisuri dan membawa harapan baru untuk memiliki seorang putra yang akan memperkokoh tempatnya di sisi Pangeran.
Ji-Woon menghela napas dan mencoba untuk menenangkan dirinya. Ia duduk di dekat Kang-Ji, dan mereka mulai berbincang dengan formalitas yang menutupi kecanggungan di antara mereka. Namun, Kang-Ji dapat merasakan ada keengganan di dalam sikap Pangeran Ji-Woon yang sulit disembunyikan. Tatapannya terasa jauh, seakan hati dan pikirannya sedang melayang ke tempat lain—mungkin, menuju Seo-Rin.
Setelah beberapa saat, Kang-Ji berani mengulurkan tangan dan menyentuh lengan Ji-Woon dengan lembut. Ia tersenyum, mencoba mencairkan suasana.
"Pangeran, malam ini hanya milik kita berdua," ujar Kang-Ji dengan suara yang lembut namun penuh harapan.
Ji-Woon tersenyum tipis, lalu mengangguk perlahan. Ia mencoba untuk mengabaikan keraguannya, berusaha menjalani peran sebagai suami yang diharapkan istana. Ketika ia menatap Kang-Ji, ia mencoba menemukan sisi lembut dari permaisurinya, sisi yang selama ini mungkin diabaikannya karena fokusnya selalu tertuju pada Seo-Rin.
Saat malam semakin larut, Ji-Woon menutup matanya sejenak, mencoba melupakan semua pikiran yang mengganggu. Di dalam hatinya, ia berbisik, berharap bahwa langkah ini akan membawa Seo-Rin kembali ke sisinya. Meski terasa sulit dan menguras emosinya, ia rela melakukannya demi kebahagiaan Seo-Rin.
Namun, saat Ji-Woon mulai menyerahkan dirinya pada keputusannya itu, bayangan Seo-Rin kembali muncul dalam benaknya. Hatinya berdegup, teringat pada senyum Seo-Rin, suaranya, dan caranya memperhatikan setiap kata yang diucapkannya. Seketika itu juga, ia merasa kembali terbelah antara tanggung jawabnya sebagai pangeran dan cinta tulusnya yang selalu mengarah pada Seo-Rin.
Meski akhirnya malam itu berlalu dengan keintiman yang Kang-Ji harapkan, Ji-Woon tetap merasakan kehampaan yang tak tergantikan. Dalam diamnya, ia berharap bahwa upayanya malam ini akan segera membuahkan hasil. Sebuah kabar yang ia harapkan bisa membawanya lebih dekat pada Seo-Rin, untuk menghapus jarak yang terbentang antara mereka.
*
Beberapa hari berlalu sejak malam itu, dan Pangeran Ji-Woon berusaha menjalani harinya seperti biasa. Namun, kegelisahan terus menghantui, membuatnya tak tenang. Ia terus menunggu kabar yang akan memastikan masa depannya dengan Seo-Rin, namun tidak ada tanda atau berita apa pun yang datang dari paviliun Kang-Ji.
Di tengah-tengah penantiannya, sebuah kabar lain datang. Salah satu tabib istana datang membawa pesan bahwa Putri Kang-Ji mengalami keletihan luar biasa dan memerlukan waktu untuk beristirahat. Berita itu membuat Ji-Woon tertegun, dan hati kecilnya mulai berharap bahwa keletihan Kang-Ji adalah tanda awal kehamilan. Dengan setengah harap, ia memutuskan untuk bersabar dan menanti perkembangan selanjutnya.
Namun, dalam kesunyian hatinya, bayangan Seo-Rin tetap tak bisa ia lepaskan. Setiap kali ia menutup mata, kenangan wajah Seo-Rin selalu hadir, membuatnya rindu dan merasa hampa tanpa kehadirannya. Keputusan untuk membawa Seo-Rin kembali ke istana kian menguat dalam dirinya, meskipun itu harus menunggu berita kehamilan Kang-Ji sebagai penutup desakan para menteri dan ratu.
Di tempat lain, Seo-Rin—yang kini berada di rumah keluarganya—merasakan kebebasan sekaligus kekosongan yang bertentangan. Meski ia tak lagi merasa tertekan oleh kehadiran Kang-Ji di istana, hatinya masih terikat erat pada Ji-Woon, pria yang telah membuatnya jatuh cinta meskipun dalam keadaan yang begitu rumit.
Suatu sore, saat Seo-Rin berjalan menyusuri taman belakang rumah keluarganya, seorang pelayan mendatanginya dengan wajah gugup. Ia membawa kabar bahwa Pangeran Ji-Woon sering kali terlihat murung dan sulit tidur sejak kepergiannya dari istana. Kabar itu membuat hati Seo-Rin bergetar. Meski ia tahu keputusannya untuk menjauh adalah yang terbaik, rasa rindunya pada Ji-Woon semakin mendalam.
*
Di ruang makan keluarga, Seo-Rin duduk di antara ayah dan ibunya, berusaha menyantap hidangan yang disajikan. Namun, aroma sup yang biasa ia nikmati tiba-tiba terasa menusuk hidung, membuatnya merasa tak nyaman. Ia menutup mulutnya, berusaha menahan rasa mual yang tiba-tiba datang.
Ibunya menyadari perubahan ekspresi Seo-Rin. “Seo-Rin, ada apa? Kau baik-baik saja?”
Seo-Rin menggelengkan kepala pelan, lalu dengan cepat berdiri dan bergegas keluar dari ruangan untuk muntah di halaman luar. Orang tuanya, yang terkejut melihat keadaan itu, segera memanggil pelayan untuk memanggil tabib. Kekhawatiran mereka makin bertambah ketika melihat putri mereka yang tampak pucat dan lemah.
Tak lama, tabib tiba dan langsung memeriksa Seo-Rin. Ia memeriksa denyut nadi dan gejala-gejala yang dialami Seo-Rin. Setelah beberapa saat, tabib itu mengangguk sambil tersenyum kecil.
“Tuan dan Nyonya, saya membawa kabar baik. Nyonya Seo-Rin sedang hamil—sekitar delapan minggu.”
Ruangan itu hening seketika. Seo-Rin menatap tabib dengan mata membulat penuh keterkejutan. Sementara orang tuanya, yang tak menyangka akan kabar ini, terlihat begitu bahagia sekaligus khawatir.
“Hamil?” Seo-Rin berbisik, masih tak percaya. Pikirannya segera melayang ke sosok Ji-Woon. Berbagai perasaan berputar dalam dirinya—antara bahagia, haru, dan juga takut. Kehadiran seorang anak tentu akan mengubah segalanya.
Ibunya langsung memeluknya erat, menepuk punggung Seo-Rin dengan penuh kasih. “Seo-Rin, ini adalah berkah. Kau akan menjadi seorang ibu. Pangeran Ji-Woon pasti akan sangat senang mendengar kabar ini.”
Namun, Seo-Rin tak dapat menyembunyikan kecemasannya. Bagaimana ia akan menghadapi reaksi Ji-Woon dan keluarga istana? Akankah kehamilannya ini menjadi alasan untuk kembali ke istana, atau justru menjadi tantangan baru?
Malam itu, saat Seo-Rin duduk di tepi tempat tidurnya, ia menatap perutnya yang masih datar. Hatinya penuh dengan rasa tak menentu, tetapi di balik kegelisahan itu, ada perasaan hangat yang perlahan tumbuh. Kini, ia memiliki sebuah alasan untuk melangkah ke depan, terlepas dari apapun rintangan yang harus dihadapinya.
Bersambung >>>
𝐤𝐚𝐝𝐚𝐧𝐠 𝐚𝐥𝐮𝐧𝐚 𝐤𝐝𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐞𝐨 𝐫𝐢𝐧, 𝐣𝐝𝐢 𝐤𝐮𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐞𝐧𝐚𝐤 𝐝𝐢 𝐛𝐚𝐜𝐚
𝐜𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐛𝐚𝐠𝐮𝐬 , 𝐭𝐭𝐞𝐩 𝐬𝐞𝐦𝐚𝐧𝐠𝐚𝐭