Hidup Dina hancur ketika suaminya, Ronny, berselingkuh dengan sahabatnya, Tari. Setelah dipaksa bercerai, ia kehilangan hak asuh bayinya yang baru lahir dan diusir dari rumah. Patah hati, Dina mencoba mengakhiri hidupnya, namun diselamatkan oleh Rita, seorang wanita baik hati yang merawatnya dan memberi harapan baru.
Dina bertekad merebut kembali anaknya, meski harus menghadapi Ronny yang licik dan ambisius, serta Tari yang terus merendahkannya. Dengan dukungan Rita, Ferdi dan orang - orang baik disekitarnya, Dina membangun kembali hidupnya, berjuang melawan kebohongan dan manipulasi mereka.
"Merebut kembali bahagiaku" adalah kisah tentang pengkhianatan, keberanian, dan perjuangan seorang ibu yang tak kenal menyerah demi kebenaran dan keadilan. Akankah Dina berhasil merebut kembali anaknya? Temukan jawabannya dalam novel penuh emosi dan inspirasi ini.
Mohon dukungannya juga untuk author, dengan like, subs, vote, rate novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Menggunakan Gio sebagai ancaman, Ronny akhirnya berhasil memaksa Dina untuk menandatangani surat cerai mereka. Kekuatan ancaman di balik suara dinginnya cukup untuk mengoyak hati Dina. Dengan Gio yang masih dalam gendongan baby sitter dibelakang Ronny, dia merasa terjepit dalam keadaan yang tak terbayangkan. “Tandatangani, atau aku akan memastikan kau tidak akan pernah melihat Gio lagi,” kata Ronny, suaranya serak menekan.
Dengan air mata mengalir, Dina terpaksa menggenggam pena dan mencoretkan namanya di surat itu. Seperti sebuah belati yang menusuk jantungnya sendiri, tanda tangan itu terasa seperti sebuah hukuman mati baginya. Setelah itu, Ronny segera mengusirnya keluar dari rumah dengan sikap angkuh.
“Keluar! Kamu tidak layak tinggal di sini!” teriaknya.
Dina melangkah mundur, wajahnya penuh kebingungan dan kepedihan saat dia melihat Gio, bayinya yang berharga, menatapnya dengan mata besar yang penuh air mata. Seolah merasakan kesedihan ibunya, Gio menangis keras, suaranya mengiris hati Dina. “Gio! Anak Mama!” teriaknya, suaranya menggema dalam kepanikan yang menyedihkan.
“Gio, sayang!” Dina berteriak, melangkah maju, ingin merengkuh anaknya. “Mama di sini! Mama tidak akan pergi!”
Namun, saat dia mencoba memasuki rumah, pihak keamanan menghalanginya, menjaganya agar tidak mendekat. “Maaf, Nona. Anda tidak bisa masuk,” kata salah satu petugas dengan wajah tanpa ekspresi.
Dina meronta, mencoba melewati mereka, namun sia-sia. Rasanya semua kekuatannya hilang, tergerus oleh rasa putus asa. Jeritannya membahana di udara, tetapi tidak ada yang peduli. Hatinya remuk melihat Gio yang terus menangis, bayi yang baru beberapa hari menikmati air susu darinya dipaksa untuk berpisah dengannya.
Ronny, berdiri di depan pintu, hanya menyaksikan drama itu dengan mata penuh kepuasan. Dia lalu memberi isyarat kepada para pengawalnya, yang segera menghampiri Dina. “Bawa dia pergi!” perintahnya, suaranya tegas dan penuh kuasa.
Dina dipaksa keluar dari rumah itu, setiap langkah terasa berat, Dina seperti berjalan di atas serpihan duri yang runcing. Mereka menyeretnya menjauh, membawanya ke jalanan sepi yang jarang dilalui kendaraan. Di sana, salah satu dari mereka melemparkan segepok uang ke arah Dina, uang itu berhamburan di tanah seolah sebuah lelucon konyol.
“Ini untukmu, Nona. Belanjakan dengan baik. Mungkin kau bisa membuat anak lagi dengan pria lain” ejeknya sambil tertawa, suaranya mengisi udara dengan kebencian.
Dina terjatuh di atas uang yang berserakan, hatinya hancur melihat bagaimana kehormatan dan cintanya diremehkan dengan begitu mudah. Air matanya jatuh, bercampur dengan debu dan rasa malu yang tak tertahankan. Seolah dunia ini tak lagi mengenalnya, semua harapan dan cinta yang pernah dia miliki sekarang terhempas jauh.
***
Dina berjalan tanpa tujuan di jalanan sepi, pikiran dan hatinya bergejolak. Setiap langkah kakinya terasa semakin berat, dan rasa sakit akibat kehilangan Gio menghimpit dadanya. Dalam keputusasaannya, dia mulai merasa seolah tidak ada lagi jalan yang bisa dilalui. Dalam keheningan itu, saat suara langkahnya hilang ditelan malam, dia mendongak melihat cahaya sinar mobil yang meluncur menuju arahnya.
Dengan keputusasaan yang mendorong, Dina melangkah ke tengah jalan. Hatinya berdebar, dan seolah mengharapkan kematian segera menjemputnya. “Lebih baik ini berakhir,” bisiknya pada diri sendiri, merasakan keinginan untuk mengakhiri semua penderitaan yang telah menimpanya.
Namun, mobil itu, meskipun melaju cepat, berhasil menghentikan lajunya tepat di depan Dina. Bunyi klakson menggema, diiringi suara rem yang menggerung keras. Sopir yang panik segera membelokkan setirnya, dan mobil itu berhenti hanya dalam jarak beberapa inci dari tubuh Dina yang terjatuh di aspal.
Di dalam mobil, seorang wanita yang baru saja kembali dari kunjungan ke makam putrinya yang meninggal tiga bulan lalu, terkejut. Dia menatap ke depan dengan penuh tanda tanya, “Apa yang terjadi?” tanyanya dengan suara lembut dengan wajah yang tampak tenang meskipun dia tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
Segera, dia meminta sopir pribadinya, seorang pria yang setia menemaninya selama bertahun-tahun. “Coba kau periksa dulu” perintahnya tegas.
“Maaf, Bu. Ada seorang wanita terjatuh di tengah jalan,” jawab sopirnya, cepat-cepat membuka pintu dan keluar untuk memeriksa keadaan.
Rita merasakan hati nuraninya tergerak saat melihat DIna tergeletak tak berdaya di tengah jalan. “Bawa dia masuk ke dalam mobil!” perintahnya. “Kita tidak bisa membiarkannya seperti ini.”
Sopir itu segera kembali, membantu Dina yang terkulai lemah. Dengan hati-hati, mereka mengangkat tubuhnya dan membawanya masuk ke dalam mobil. Ketika tubuh Dina diletakkan di kursi belakang, Rita menatap wajahnya yang pucat, hatinya bergetar oleh rasa iba.
“Bagaimana bisa dia berada dijalanan dalam kondisi seperti ini?” tanyanya dalam hati, tetapi untuk saat ini, yang terpenting adalah memberikan pertolongan—mungkin, ada sesuatu yang bisa dia lakukan untuk membantu.
Sopirnya menyalakan mesin kembali, dan mobil melaju pelan, meninggalkan jalan sepi itu. Rita menatap ke arah jendela,sambil sesekali melirik ke arah kaca spion yang mengarah ke kursi belakang penumpang.
***
Mobil itu meluncur masuk ke dalam halaman sebuah rumah mewah, dikelilingi oleh taman yang terawat rapi dan pepohonan hijau yang menjulang tinggi. Begitu pintu mobil dibuka, Rita segera melangkah keluar, hatinya masih penuh rasa prihatin untuk wanita yang baru saja mereka bawa. Namun, langkahnya terhenti saat Ferdi, putranya yang berusia tiga puluh tahun, berlari menghampiri dengan wajah berkerut, jelas terlihat bahwa ia sedang dalam keadaan marah.
“Kenapa kau pergi ke makam Fifi tanpa memberitahuku, Mi?” komplainnya, nada suaranya mencerminkan ketidakpuasan yang mendalam. “Aku seharusnya bisa ikut!”
Rita menatap putranya, senyum lembut mengembang di wajahnya meski ia tahu Ferdi sangat khawatir. “Maaf, sayang. Mami hanya ingin sendiri sebentar,” jawabnya dengan tenang, mencoba menenangkan suasana. “Tapi itu tidak penting sekarang. Ada hal yang lebih mendesak.”
Ferdi mengerutkan kening, melihat ke dalam mobil dan mendapati sosok wanita yang tidak dikenal terbaring tak berdaya. “Mi, siapa dia?” tanya Ferdi, matanya penuh rasa curiga.
“Dia butuh bantuan, Ferdi. Panggil dokter keluarga kita,” pinta Rita dengan tegas, tidak ingin membuang waktu.
Kekhawatiran mendalam muncul di wajah Ferdi. “Tapi, Mi! Bagaimana jika dia adalah orang jahat? Atau hanya berpura-pura?” nada suaranya terdengar cemas, imajinasinya mulai berlari.
Rita menggelengkan kepala, berusaha menenangkan putranya. “Aku merasakan ada sesuatu yang baik dalam dirinya. Kita tidak bisa hanya menilai dari penampilan. Dia butuh kita sekarang, dan mami tidak bisa membiarkan dia terbaring di jalanan begitu saja.”
Ferdi menghela napas, antara rasa khawatir dan keinginan untuk patuh pada ibunya. Dia tahu betapa besar kasih sayang Rita terhadap orang lain, tetapi masih ada keraguan dalam dirinya. Namun, melihat keyakinan di mata ibunya, dia mengangguk perlahan. “Baiklah, aku akan memanggil dokter. Tapi jika dia berbahaya—”
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, sayang. Kita akan melakukan yang terbaik untuknya,” potong Rita dengan lembut, meyakinkan Ferdi. “Tolong, cepatlah.”
Ferdi mengangguk, meski dalam hatinya masih ada sedikit rasa cemas. Dia bergegas ke dalam rumah, meninggalkan Rita yang kini duduk di samping Dina, memeriksa pernapasannya. Dalam hatinya, Rita berharap bahwa keputusan ini adalah langkah tepat, bukan hanya untuk menyelamatkan wanita yang terbaring tak berdaya di hadapannya, tetapi juga untuk mengisi kekosongan yang dirasakannya setelah kepergian putrinya.
***
aku kl masalh bayi di adopsi hnya untuk kepentingan sungguh gk tega. aku gk setuju kl yg bgini. tari bukan tulus ma si bayi tp modus. dah di kasih penyakit ma karma bkn insyaf mlh makin menjadi.