Gilsa tak percaya ada orang yang tulus menjalin hubungan dengannya, dan Altheo terlalu sederhana untuk mengerti kerunyaman hidup Gilsa. Meski berjalan di takdir yang sama, Gilsa dan Altheo tak bisa mengerti perasaan satu sama lain.
Sebuah benang merah menarik mereka dalam hubungan yang manis. Disaat semuanya terlanjur indah, tiba-tiba takdir bergerak kearah berlawanan, menghancurkan hubungan mereka, menguak suatu fakta di balik penderitaan keduanya.
Seandainya Gilsa tak pernah mengenal Altheo, akankah semuanya menjadi lebih baik?
Sebuah kisah klise cinta remaja SMA yang dipenuhi alur dramatis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bibilena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Flashback
Kini giliran Gilsa yang menyeret Prima ke luar kelas setelah mengembalikan ponsel temannya itu. Tak peduli apakah akan dihapus atau tidak pesan suaranya, yang jelas dia hanya menumpahkan kekesalan tadi, meskipun dikirimkan Gilsa tak yakin itu akan cukup membereskan masalah ini.
"Lepas! Lepaskan, Gilsa!" Pada akhirnya mereka berhenti di sisi lapang karena Prima terus memberontak dan mencoba melepaskan diri. Gilsa menatap marah gadis itu, wajahnya semakin pucat dan matanya membengkak lebih dari yang terakhir kali dia lihat.
"Bukankah kita harus bicara?"
"Bicara apa?"
"Kenapa kau tidak menjelaskan pada semua orang bahwa itu bukan kita?"
Prima menatap Gilsa dengan sorot merendahkan. "Menjelaskan apa maksudmu? Bahwa aku dilecehkan dan dibodohi?"
Gilsa terdiam.
"Kau memfitnahku pada semua orang? Kau pikir aku tak marah?!"
"Bukan aku pelakunya, harusnya kau tahu."
"Bagaimana aku tahu?!" Prima berteriak hingga banyak pasang mata memandang mereka. Gila merasa tak mengenal orang di depannya. Apa yang telah terjadi selama 5 hari ini?
"Kutanya bagaimana aku tahu itu bukan kamu?! Itu jelas nomor kamu dan kau menghilang berhari-hari! Apa salahku coba?"
"Apa kau bodoh? Kau melihat hari itu ponselku dilempar Morgan dan tak pernah kubawa pulang!" Gilsa menggenggam bahu gadis itu. Dia menatap tepat pada kedua mata Prima yang kabur. Prima diam sekarang.
"Kenapa kau seperti ini? Aku tak akan pernah melakukan itu padamu. Aku tak akan pernah melukai temanku sendiri."
"Tetap saja itu gara-gara kau!" Prima mendorong tubuh Gilsa hingga dia menabrak tembok. Tiba-tiba kerumunan murid sudah mengelilingi mereka, dengan Gilsa yang membeku di tempat.
"Ada apa ini?"
"Bukannya itu mereka?"
"Oh, si pintar dan si bodoh kelas 10?"
"Kau yang membuat semua ini, seandainya saja hari itu kau tidak menyuruhku melepaskan kacamata semua ini tak akan terjadi!"
Gilsa merasakan pukulan kuat di dadanya. Dia tak terpikirkan soal hal itu. Apa selama ini Prima menganggap sarannya hari itu adalah penyebab semua ini terjadi? Jadi selama ini Prima menyalahkannya?
"Kau yang membuatku menderita! Kau membuat hidupku seperti di neraka!"
•••
Gilsa bolos setelah keributan yang dia sebabkan dengan Prima di halaman sekolah. Saat itu guru datang dan membubarkan mereka, Gilsa menolak saat beliau bertanya apakah ini masalah yang harus masuk ruang konseling. Berbeda dengan Prima yang hanya diam dan masuk kembali ke kelas, Gilsa ada di atap sekolah sekarang.
Menemui orang-orang yang menghancurkan pertemanannya.
"Kita kedatangan artis sekarang."
"Wah, aku merasa akrab dengan kejadian ini. Apa kita akan divideo dan dilaporkan lagi ke sekolah?"
"Kau akhirnya kembali?"
Gilsa memilih duduk di kursi yang kosong di antara mereka, meskipun artinya dia akan diintimidasi oleh mereka yang berdiri. Wajahnya tampak datar, sorot kosong dan hampa yang menyeruak hingga membuat orang merinding. Gadis itu, menatap tepat pada mata Kevin.
"Kenapa kau masih ada di sini?"
Pria itu tersenyum miring.
"Tanyakan saja itu pada ayahmu."
Ayah? Apa presepsi Gilsa yang menganggap ayahnya menyayanginya adalah palsu?
"Aku tak bisa marah sekarang, temanku bilang aku yang membuat dia menderita." Gilsa malah mengatakan isi hatinya alih-alih mengintrogasi orang-orang ini. Dia memang terlihat sedih dan seolah tak akan terluka disakiti bagaimanapun.
"Jadi, katakan padaku apa yang terjadi selagi aku bicara baik-baik."
"Untuk apa?" Clarissa balik menatap sinis dirinya. "Membiarkanmu menuntut kami lagi?"
"Apa kalian juga melukai Prima secara langsung?"
Kini semua orang diam. Selain seorang laki-laki yang duduk di samping Gilsa, merangkul bahu gadis itu kemudian mengelus rambut Gilsa ke belakang telinga.
"Bagaimana jika kamu bergabung bersama kami sekarang, maka kami tak akan mengganggu gadis itu lagi." Morgan berkata sembari tersenyum. Gilsa meliriknya.
"Kau masih meminta dia bergabung? Gila ya?"
"Kenapa? Ayahnya sangat kuat sampai hampir membuat kita dikeluarkan. Bayangkan jika kita memiliki orang seperti dia di masa depan." Morgan merangkul semakin erat bahu Gilsa seolah mereka kawan akrab.
"Dia anak tunggal," tambah pemuda itu.
"Aku setuju saja." Kevin menambahkan yang membuat banyak pasang mata menatap pemuda itu.
"Apalagi keluargaku kehilangan banyak uang karena dia. Aku harus menagih itu di masa depan."
Gilsa menatap Kevin karena perkataan itu. "Uang?" tanyanya.
"Ayahmu menerima tawaran bisnis ayahku jadi dia mencabut tuntutan kemarin, kami hanya mendapatkan hukuman konseling sepulang sekolah, apa kau puas sudah membuat masalah ini?"
Gilsa tampak terkejut sekarang. Kevin tahu gadis ini tak mengetahuinya dan dia sengaja menggunakan kalimat itu. Gadis yang bodoh, yang tak tahu dirinya dijadikan alat negosiasi oleh sang ayah.
"Pada akhirnya segala hal bagi orang kaya hanyalah bisnis, termasuk keluarga."