NovelToon NovelToon
TEENAGER : 4 Gadis Remaja

TEENAGER : 4 Gadis Remaja

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Blackpink / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Persahabatan
Popularitas:636
Nilai: 5
Nama Author: oreonaaa

Raya, Jenny, Nabilla, dan Zaidan. Keempat gadis yang di sangat berpengaruh di salah satu sekolah favorit satu kota atau bisa dibilang most wanted SMA Wijayakusuma.

Selain itu mereka juga di kelilingi empat lelaki tampan yang sama berpengaruh seperti mereka. Karvian, Agam, Haiden, dan Dio.

Atau bagi anak SMAWI mereka memanggil kedelapannya adalah Spooky yang artinya seram. Karena mereka memiliki jabatan yang tinggi di sekolahnya.

Tentu hidup tanpa musuh seakan-akan tidak sempurna. Mereka pun memiliki musuh dari sekolah lain dimana sekolah tersebut satu yayasan sama dengan mereka. Hanya logo sekolah yang membedakan dari kedua sekolah tersebut.

SMA Rajawali dan musuh mereka adalah Geng besar di kotanya yaitu Swart. Reza, Kris, Aldeo, dan Nathan. Empat inti dari geng Swart dan most wanted SMAJA.

Selain itu ada Kayla, Silfi, Adel, dan Sella yang selalu mencari ribut setiap hari kepada keempat gadis dari SMAWI.

Dan bagaimana jika tiba-tiba SMAJA dipindahkan ke sekolah SMAWI?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon oreonaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 09 : Tak Seindah Itu

Mobil Raya memasuki pekarangan rumah yang terlihat sederhana tetapi tidak meninggalkan kesan mewah.

“Turun.” Suara dingin Ayah Raya langsung terdengar ditelinga Raya. Dengan segera ia keluar dari mobil mewah berwarna hitam tersebut.

Ayahnya –Andreas Winata Aafreeda—seorang rajanya pebisnis. Gila pekerjaan dan gila wibawa. Ia selalu dirumorkan bahwa keluarganya sempurna meskipun tidak ada sang istri, sang suami tetap kokoh. Apalagi ditambah sang anak semata wayangnya yaitu Soraya Aafreeda yang selalu bisa membanggakan nama keluarganya.

Mendiang sang istri –Selena Amaresh—seorang yang baik hati dan penyayang. Tiadanya Selena selepas melahirkan anak pertama mereka. Dikarenakan Selena kurang cairan saat itu dan tidak segera di tangani.

Tentu Andreas murka. Pujaan hatinya, seorang yang satu-satunya dapat meluluhkan sifat dinginnya itu. Karena kemarahan menyelimuti dirinya, ia simpulkan bahwa kematian sang istri disebabkan oleh lahirnya sang anak. Hal tersebut membuatnya tidak menganggap Soraya sebagai anaknya dan selalu melampiaskan saat ia marah kepada sang putri yang tidak tahu apa-apa.

Ditambah saat Andreas mengetahui sang anak memiliki kelebihan yang tidak masuk akal saat Soraya berumur 5 tahun. Andreas segera membawa ke psikiater karena ia kira anaknya gila. Karena hal tersebut pula Andreas menuntun sang anak agar cerdas dan selalu bisa. Tidak membiarkan putrinya mempunyai satu cacat di semua bidang. Menuntun dengan keras dan selalu keras sudah biasa bagi Soraya.

Saat ia melakukan kesalahan sekecil pun Ayahnya tidak main-main memberikan hukuman.

Soraya berjalan di belakang sang Ayah yang sedari tadi diam. Di dalam mobil maupun di rumah. Mereka memasuki ruang kerja pribadi Ayahnya. Nuansa hitam dan suram menyelimuti ruangan tersebut.

Ayahnya duduk di kursi kebanggaannya dan dirinya berdiri di depan sembari menunduk. Memainkan jari tangannya karena gugup dan takut.

“Keluarkan.”

Soraya mendongak menatap mata hitam pekat sang Ayah yang tidak ada ekspresi apa pun di sana. Terlalu datar dan dingin. Soraya seakan tahu maksudnya pun mengeluarkan surat panggilan tadi dengan tangan gemetar.

“Jelaskan.”

Soraya menggigit bibirnya. Ia hanya diam sembari menunduk. Gerakan jarinya semakin cepat sampai terlihat kemerah-merahan di tangannya karena goresan kuku. Ia tahu, tanpa dijelaskan pun hukuman sang Ayah akan sama. Tetapi bukan itu yang ia takutkan. Karena rencana di otak sang Ayah dan batin Ayahnya yang membuat ia takut.

Jangan lupakan bahwa Soraya berbeda dari yang lainnya.

“Je.las.kan.So.ra.ya.” Ucap Ayahnya lagi. Menekan per kata yang ia ucapkan.

Pikiran Soraya keruh. Ia gelisah.

Brak!

“KAU DENGAR ATAU TIDAK SORAYA AAFREEDA!” Teriak murka Andreas, berdiri dari duduknya. Menggebrak meja hitam mengkilap itu dengan tatapan membunuh ke arah sang putri.

Kepala Raya semakin menunduk.

“Saya tidak pernah mengajarkan kau untuk melakukan kesalahan. Apa ini? Panggilan BK?” Andreas melempar kertas itu di hadapan Raya. “KAU BERNIAT INGIN MEMBUAT KU MALU HAH?!”

Raya menggeleng cepat sembari menunduk menyembunyikan cairan bening yang mulai keluar dari kedua matanya. Ia memang tidak pernah menangis tapi saat di hadapan Ayahnya, entah kenapa hatinya sakit.

Plak!

“APA KAU TIDAK CUKUP MEMBUNUH SELENA? KAU INGIN MEMPERMALUKAN KU? HAH?!”

Andreas menampar pipi Raya sampai kepalanya menoleh ke samping karena saking kerasnya.

“ANAK TIDAK TAU DIRI!”

Ayahnya marah. Ia mencambuk tubuh sang putri tanpa belas kasih dengan sabuk. Raya hanya dapat menerima dan menangis dalam diam.

Buk!

Ctak!

Buk!

Ctak!

Tubuh Raya oleng dan terjatuh karena tidak sanggup menahan tubuhnya yang lemas.

“Berdiri!” Ujarnya dingin. Raya diam karena tubuhnya tidak kuat membuat Andreas semakin murka.

“KU BILANG BERDIRI JALANG!”

Ctak!

Ctak!

Ctak!

Ctak!

Karena teriakan Ayahnya, Raya terpaksa berdiri dengan tangan menumpu tubuhnya agar tidak jatuh. Sabuk hitam milik Ayahnya menyentuh punggung mulus yang masih tertutup seragam putih.

“A-ayah a-ampun. Ra-raya minta ma-maaf.” Ujarnya sembari meringis perih didaerah punggung. Menahan tangisannya yang akan membuat semakin Ayahnya murka.

“Sa-sakit Ayah. Ku mohon.”

Seakan tuli. Andreas sibuk mencambuki tubuh putrinya. Melampiaskan kemarahannya.

...۝...

“Bibi.” Panggil Zai saat memasuki mansion.

Suaranya menggema. Ya di rumah ini hanya ia dan beberapa pembantunya serta 2 satpam di luar sana. Ia mempunyai kedua orang tua –Candra Guana Padantya dan Alyssa Dara Anggraini—hanya saja mereka tidak pulang. Meskipun pulang hanya ada pertengkaran yang ada.

“Iya non? Oh Non Zai sudah datang. Maaf Non, Bibi lagi siap in makanan di belakang.”

Bi Titin, pembantu atau pengasuhnya sejak kecil. Zai lebih dekat dengan Bi Titin dari pada kedua orang tuanya, jujur ia merasakan perbedaan itu.

“Iya Bi, enggak apa-apa. Bibi masak apa?” Tanya Zai dengan mata binar.

“Masak kesukaan Non Zai lah.” Jawab Bi Titin sedikit tertawa karena tingkah anak majikannya yang sudah dianggap anak sendiri.

Zai bertepuk tangan dengan meriah.

“Non mandi dulu sana, udah Emy siap in airnya di atas.”

Zai mengangguk semangat. “Oke, Zai mandi dulu.”

Zai langsung menaiki tangga menuju ke kamarnya dan Bi Titin ke dapur melanjutkan masakannya tadi belum selesai.

Zai langsung melemparkan tasnya ke kasur serta melepas sepatu dan kaos kaki. Ia taruh di sembarang tempat dan akan kelimpungan mencari dua barang ia untuk keesokan harinya.

Bergegas memasuki kamar mandi dan melakukan ritual membersihkan badannya. Hanya butuh waktu 30 menit, sekarang Zai sudah duduk tenang di meja makan. Hanya dengan kaos hitam dan celana kolor pendek warna army.

Menatap berbinar deretan makanan di depannya. Ayam di bumbu pedas, sayur bayam, buah semangka, daging bakar dengan atasan keju. Itu dalam beberapa favorit makanan Zai yang sudah di depan mata coklat cerah gadis berponi tersebut.

“Bi, makan bareng Zai sini.” Celetuk Zai saat Bi Titin menaruh se-teko es lemon di meja makan.

Bi Titin tersentak kaget, meskipun ia memang sering duduk di meja makan untuk menemani sang anak majikan ini. Tetapi, tetap saja ia tidak ingin mengambil risiko.

“Terima kasih, Non. Tapi, Bibi enggak bisa. Banyak pekerjaan di belakang.” Tolaknya secara halus.

Zai memajukan bibirnya cemberut. Mengangguk, “Ya udah deh.”

“Maaf ya Non.” Kata Bi Titin tidak enak menolak majikannya.

Gadis itu menanggapi dengan senyuman tipis, “Ya Bi, gak apa-apa.”

“Ya sudah Bibi tinggal ke belakang dulu.”

Bi Titin akhirnya pergi setelah Zai mengangguk.

Tinggallah Zai sendiri memakan makanan kesukaannya yang memang harusnya ia suka tapi saat merasa ia sendiri di meja makan entah rasa sukanya kepada makanan favoritnya di depannya menghilang.

Memang sudah biasa baginya yang selalu makan di meja makan sendiri tapi, tetap saja ia masih merasa kesepian.

Ia berharap kedua orang tuanya masih mengingatnya dan saat mereka pulang bisa meluangkan waktu untuknya. Tidak ada pertengkaran dan tidak ada main fisik. Itu saja harapan seorang Zaidan Padantya.

Menghela nafas panjang. Zai memaksa memakan makanan di depannya dengan ceria meskipun matanya sudah berair menahan tangis.

...۝...

“Ini kita mau ke mana?” Tanya Jenny menoleh ke Nabilla yang sedari tadi saat ia jemput di depan rumah terdiam menatap luar jendela.

Nabilla menoleh dengan pandangan kosong. Jenny menghela nafas berat menatap Nabilla.

“Ke Zai dulu aja, searah juga.” Jawab Billa pelan dan kembali memandang luar jendela mobil.

Jenny mengangguk dan sedikit melajukan kecepatan mobilnya di malam hari.

Tadi Nabilla menelepon dirinya untuk menjemput segera. Tanpa banyak tanya seakan ia tahu penyebabnya, Jenny langsung menyambar kunci mobilnya dan mengendap keluar rumah agar tidak ketahuan Papa serta Mama di dalam kamar.

Dan sekarang mobil merah milik Jenny sudah sampai di depan gerbang coklat Zai. Pintu gerbang langsung dibukakan oleh satpam penjaga karena sudah hafal betul siapa gerangan yang datang.

Mobil merah Jenny terparkir tepat di depan pintu rumah Zai. Meskipun Jenny paling terkaya di antara mereka tetapi rumah paling megah dipegang oleh Zaidan.

Keduanya langsung turun dari mobil dan Jenny menyerahkan kunci mobilnya pada satpam yang tadi depan menghampiri mereka. Mereka memasuki rumah Zai dan langsung disambut oleh teriakan melengking khas Zai.

“HEH KALIAN KE DAPUR! MAKANAN BANYAK NIH!”

Nabilla yang memang suka makanan langsung berlari kegirangan seolah tidak ada kesedihan yang sedang melandanya tadi. Jenny hanya memutar bola matanya malas dan berjalan malas ke dapur.

Karena letak meja makan Zai bersebelahan dengan Dapur hanya disekat oleh tembok.

“Wah! Banyak banget makanannya. Gue makan yak!” Billa mengambil piring di depannya dan langsung mengambil nasi dan lauk pauknya. Jangan lupakan mengambil es lemon yang ia sukai juga.

Zai hanya menanggapi dengan anggukan. Fokus terhadap makanannya. Sekarang ia mempunyai selera makan kembali.

“Zai, Mama Papa Lo enggak di rumah?” Tanya Jenny setelah duduk di depan Billa.

Zai melirik Jenny dan menggeleng, “Biasa orang sibuk enggak di rumah.” Jawabnya acuh.

Jenny menatap malas dan mengambil es lemon dan meminumnya.

“Eh! Telepon Raya suruh kesini.” Ujar Billa saat teringat bahwa ada kekurangan di antara mereka.

Jenny yang menganggur pun langsung mengambil ponsel pada saku celana jeans-nya dan mencari kontak Raya. Ia tekan ikon telepon pada kontak Raya dan mendekatkan ponselnya pada telinganya.

“Nomor yang ada tuju sedang diluar jangkauan. Mohon ditelepon kembali beberapa waktu lagi.........”

“Gak diangkat.” Lirih Jenny. Ia telepon kembali dan tetap hanya ada sahutan mba-mba operator. Perasaannya tidak enak akan hal ini. Jenny mendongak dan bertemu pasang mata Zai dan Billa yah sedang menatapnya.

“Gimana?” Tanya Zai. Jenny menggeleng.

“Coba kirim pesan, siapa tau ada urusan.” Kata Billa mencoba berpikir positif.

Jenny mengangguk dan mengetik beberapa pesan dan mengirimnya ke Raya.

...۝...

Sunyi.

Hanya ada suara detak jarum jam dinding di dalam ruang kerja yang sekarang sudah tergantikan oleh ruang penyiksaan.

Raya tertunduk lemah di kursi kerja yang biasanya diduduki oleh sang Ayahnya. Ia tidak pingsan atau tertidur. Bagaimana bisa ia tertidur? Di saat semua orang di sekitarnya tidak bisa diam? Saat malam memang ia tidak tertidur, bukan memiliki insomnia tetapi memang otak dan pendengarannya selalu berisik.

Ia merasa seperti ingin mati. Detik-detik sekarat memang sangat menyiksa. Tubuhnya sakit, lemas dan susah bergerak. Apa lagi tangannya dan kakinya terikat menyatu pada kursi ini. Jika ia memaksa agar terlepas maka kursi ini akan jatuh dan tubuhnya akan tambah merasa sakit.

Perutnya lapar. Sedari tadi pagi ia belum makan. Ingin makan selalu ada halangan yang mencegahnya. Ditambah sekarang Ayahnya menghukumnya.

Raya menatap kosong meja di depannya. Pikirannya berkecamuk, sekitarnya yang tidak bisa diam, lelah dan tubuhnya yang tidak bisa diajak kompromi. Ia hanya bisa melampiaskan dengan meremas pada kedua tangannya sampai memutih karena terlalu lelah. Ingin tidur tetapi tidak bisa.

“ARGH”

Teriak Raya dengan nafas naik turun. Air matanya turun kembali.

Kenapa Ayahnya begitu tega kepadanya? Itu ada pertanyaan yang selalu bersarang di kepalanya. Dan akan dijawab oleh ayahnya dengan jawaban sama yaitu, kau mengambil istri ku.

Bukankah ia juga korban? Andaikan ia bisa berbicara saat masih bayi pun ia akan menukarnya agar ia yang tiada dan keadaan ini tidak ada. Tapi ia bisa apa? Ia masih bayi tidak tahu apa-apa dan kenapa Ayahnya menuduhnya sebagai pembunuh?

Ruang kerja Ayahnya hanya terdengar tangisan pilu dari anak seorang Aafreeda. Menangisi takdir yang selalu tidak ingin bersahabat dengannya.

Mengatur nafasnya setelah merasa sedikit lebih tenang. Matanya berat. Menghela nafas pelan berulang kali untuk menahan gejolak dan menahan diri.

Tiba-tiba beberapa kalimat melintas di dalam pikirannya dan membuatnya tenang seketika.

“Aya tenang ya, jangan nangis ada Za di sini. Za selalu ada untuk Aya dan Aya selalu ada untuk Za. Za bakal melindungi Aya dari orang-orang yang jahat sama Aya. Za sayang sama Aya.”

Di kalimat terakhir yang terdengar seperti nyata, nafas Raya mulai teratur bertanda bahwa ia sudah tertidur. Tertidur dengan kepala tertunduk ke bawah. Mungkin lehernya akan sakit keesokan harinya.

Kalimat itu seperti kalimat khusus dan seperti penghantar tidur untuk Raya sendiri. Kalimat yang pernah di ucapkan oleh bocah 3 tahun sebelum bocah itu meninggalkannya di dunia kejam ini. Sendirian.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!