NovelToon NovelToon
KEISHAKA : You'Re My Melody

KEISHAKA : You'Re My Melody

Status: tamat
Genre:Tamat / cintapertama / Anak Kembar / Murid Genius / Teen School/College / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: Ziadaffi Ulhaq

Dia, lelaki dengan prestasi gemilang itu tidak sesempurna kelihatannya. Sayang sekali kenapa harus Nara yang menyaksikan rumitnya. Namanya Yesha, menyebalkan tapi tampan. Eh? Bukan begitu maksud Nara.

Dia, gadis ceroboh yang sulit diajak bicara itu sebenarnya agak lain. Tapi Yesha tidak tahu bahwa dia punya sisi kosong yang justru membuat Yesha penasaran tentang sosoknya. Namanya Nara, tapi menurut Yesha dia lebih cocok dipanggil Kei. Tidak, itu bukan panggilan sayang.

Jatuh cinta itu bukan salah siapa. Pada akhirnya semesta berkata bahwa rumitnya bisa dipeluk dengan hangat. Dan kosongnya bisa dipenuhi dengan rasa.

Oh, tenang saja. Ini hanya masalah waktu untuk kembali bersama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziadaffi Ulhaq, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

AKU SELESAI

APA yang terjadi sebenarnya satu tahun enam bulan yang lalu?

Sederhana, itu sebuah pengkhianatan yang nyata bagi Yesha. Tapi bagi Gissele itu adalah sebuah tipuan besar. Jean? Dia dilibatkan tanpa tahu apa apa. Yang Yesha tidak tahu adalah Zara sempat meninggalkan Australia demi menemui Gissele. Tepat saat mendengar bahwa Yesha masih berpacaran dengan Gissele setelah lima bulan Zara membombardir kemarahan—seperti yang dia lakukan pada Nara—setiap bulan sebelumnya.

Dan Yesha tidak pernah tahu bahwa Gissele sempat bertemu Zara dan ‘direkayasa’ hidupnya.

Sore itu Gissele ditemui oleh seorang gadis berambut cokelat terang sebahu disebuah café dekat rumahnya. Gissele tahu dia. Bianca Yezhara, kembaran Yesha. Lelaki itu pernah memberitahu Gissele sebelumnya.

“Gue mau lo putus sama Yesha.”

Kalimat itulah yang membuat Gissele tahu alasan kedatangan Zara langsung dari Australia.

“Kenapa?” Gissele bertanya tidak mengerti. “Lo jauh jauh dari Australia cuma buat nyuruh gue sama Yesha putus? Lo nggak serius, kan?”

Zara menatap Gissele lebih tajam. “Apa gue keliatan lagi bercanda?”

“Iya tapi kenapa?”

“Gue gak suka dia punya pacar.”

Gissele diam. Dia bukan tipe orang yang bisa disuruh suruh begitu saja. Gissele butuh alasan. Dan hanya karena Zara tidak suka Yesha punya pacar tidak berarti Gissele harus putus sungguhan dengan lelaki itu.

“Ini nggak lucu, Zar.” Gissele menggeleng, “Cuma karena itu? Kalaupun gue mau nurutin kemauan lo gue gak punya alasan harus putus dari Yesha, gak mungkin gue ninggalin dia gitu aja.”

Zara menyeringai, tersenyum miring. “Lo akan punya alasan buat putus dari dia.” Gadis itu menyampirkan tasnya, beranjak berdiri, lantas meninggalkan Gissele tanpa bicara apapun lagi.

Gissele masih terdiam ditempatnya duduk. Ia memikirkan semua ucapan Zara, menghela napas berat, menegak minumannya hingga tersisa setengah, lalu berdiri dan menyampirkan tas. Sebelum kaki Gissele melangkah lebih jauh dari meja, matanya menangkap sebuah buku—seperti buku diary—di sebelah kursi yang tadi ditempati Zara. Gissele mengambilnya, melihat nama Zara didepan sampul, lalu membawanya pulang. Akan ia kembalikan saat bertemu Zara lagi nanti.

Dan benar, satu minggu setelahnya Gissele benar benar memiliki alasan untuk pergi dari hidup Yesha. Alasan yang tidak bisa ia bantah, yang membuatnya tidak memiliki pilihan selain benar benar pergi.

Setelah bermalam dirumah sakit selama tiga hari, dokter yang merawat Gissele mendiagnosa bahwa Gissele terkena komplikasi penyakit pada ginjal dan hati serta mulai mengalami gangguan pada otaknya disebabkan cairan merkuri dengan dosis yang sangat tinggi. Mendengar itu Gissele tahu, bahwa sakitnya bukan oleh sebab ketidaksengajaan. Ia menangis, tahu bahwa inilah alasan yang dikatakan Zara. Semua penyakit mematikan yang bisa merenggut nyawa Gissele kapan saja ini adalah perbuatan Zara. Gissele tahu ada sesuatu yang aneh saat mereka pertama bertemu Zara tiba tiba sudah menyediakan minuman untuknya. Itu ganjil, tapi Gissele tidak curiga saat itu.

Tapi sehari sebelum bertemu dengan Zara lagi, rasa penasaran Gissele mendorongnya untuk membuka buku diary milik Zara. Ia membuka buku itu tepat pada halaman yang tidak seharusnya Gissele baca. Yang membuat Zara nyaris mencekiknya saat mereka bertemu keesokan harinya, saat Gissele dengan lantang menyebutkan rahasia terbesarnya.

Wajah Zara merah padam. Ia murka. Tapi tentang rahasia itu tidak mengubah apapun. Dengan sakit ditubuhnya, Gissele tidak akan membiarkan dirinya menjadi beban bagi Yesha. Ia tidak akan meninggalkan Yesha dengan kematian yang suatu saat mungkin tidak akan bisa lelaki itu lupakan.

“Gue gak mungkin ninggalin Yesha gitu aja.” Gissele menggeleng.

“Kasih tahu lo sakit.” Jawab Zara enteng.

“Gak bisa,” Gelengan kepala Gissele semakin kuat. “Gak mungkin, Zar.”

“Ya terserah, buat itu jadi mungkin. Gue yakin lo gak akan biarin Yesha pacaran sama orang yang mau mati.”

Gissele tahu itu. Zara tidak perlu mempertegasnya.

“Terserah, gue besok balik ke Australia. Anggap kita gak pernah ketemu.”

Setelah berkata demikian Zara lantas beranjak, meninggalkan Gissele dengan sejuta beban pikiran dipundaknya. Gissele mulai terisak lagi, seharusnya ia tidak perlu melawan Zara bukan? Sejak awal seharusnya—

Percuma. Tidak ada yang bisa Gissele lakukan sekarang selain menerima takdirnya.

Hal yang paling masuk akal saat ini di kepala Gissele adalah perselingkuhan. Entahlah, mungkin seharusnya tidak begitu. Tapi saat itu pikiran Gissele buntu. Dan meminta bantuan Jean tanpa membuat lelaki itu sadar bahwa Gissele meminta bantuan adalah pilihan yang melintas di kepalanya.

Rencana Gissele tuntas dalam dua minggu. Tapi juga sekaligus merusak pertemanan Yesha dan Jean. Semuanya sudah terlanjur dalam hidup Gissele. Rencana itu berjalan alami, Yesha menganggapnya perselingkuhan, Jean tidak merasa begitu, tapi Yesha yang cemburuan mana mau mempercayainya setelah dengan sengaja Gissele seolah pura pura ketahuan selingkuh.

Itu harga yang mahal, tapi rencana Gissele berhasil. Hubungannya dan Yesha berakhir. Gissele memutuskan pergi, melanjutkan pengobatan diluar kota. Sesekali kembali ke kota ini hanya untuk memastikan Yesha baik baik saja. Itu adalah fase hidup Gissele yang paling menyedihkan, sakit sekali. Tapi sekarang ia sudah terbiasa. Justru bersyukur saat Nara hadir menggantikannya, sekaligus cemas Nara akan berakhir sama sepertinya.

Ingat saat Jean membantu Nara di acara pentas seni? Yesha marah, sebab ingatan kala Gissele dengan Jean mungkin melintas dibenaknya. Ia takut kejadian yang sama terulang lagi. Setelah susah payah memperbaiki persahabatannya dengan Jean, kejadian seperti itu bisa merusaknya lagi dan mungkin tidak akan kembali baik seperti semula.

...***...

“Rahasia apa yang lo tahu tentang Zara?” Nara bertanya.

Gissele menggeleng, “Suatu saat kalian bakal tahu sendiri, Zara gak pernah ngasih tahu itu ke siapapun, termasuk Yesha, ayahnya, siapapun. Cuma dia dan gue yang tahu. Itu rahasia Zara, gue gak berhak ngasih tahu kalian. Dia tulis di buku diary biru, ada ukiran namanya di sudut kanan bawah buku.”

Hening.

Yesha masih menatap Gissele dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Hanya saja ada sirat kemarahan yang bisa terlihat disana. Entah apa yang ada dibenak Yesha, ia hanya menatap Gissele begitu dalam. Lupa akan kehadiran Nara diantara mereka. Cerita itu membuat rongga dadanya mendadak terasa sesak. “L-lo nyimpen semua ini sendirian, Sel?”

Gissele menunduk, matanya memanas.

“Ghayla,” Suara Yesha melunak, hampir bergetar. Panggilan masa lalu yang sukses membuat air mata Gissele jatuh. “Sesusah itu ngasih tahu gue kalau lo sakit?”

“G-gue minta maaf, Yesha,” Gissele menyeka pipi, “Zara buat gue gak punya pilihan…”

“Gue bisa laporin tentang apa yang Zara lakuin ke lo—”

“Gak ada bukti. Percuma. Gue udah nerima jalan hidup gue, jangan kasihan sama gue, Sha. Gue gak suka dikasihanin.” Gissele berkata serius. Ia lantas menatap Nara yang ia tahu susah payah gadis itu menahan tangis dan sakit dihatinya. Gissele tersenyum, meraih jemari Nara, “Lo bisa bertahan, Ra, gue tahu sebesar apa rasa sayang lo buat Yesha, jangan biarin dia ngecewain lo terus dong, sesekali tampar, dia pantes dapet semua itu.”

Nara menggeleng. Ia tidak akan melakukan itu.

Gissele meraih tangan Yesha, menyatukannya dengan tangan Nara, “Kita udah selesai Yesha. Ini cerita kalian, tapi gue nggak kalah, masih banyak hal yang mau gue lakuin sebelum bener bener tuhan nyuruh gue pulang. Jadi Yesha, gue titip Nara. Jangan kecewain dia terus. Dan, Ra, gue titip Yesha, gue gak mau dia sama perempuan gak bener.” Air matanya berjatuhan. Lantas siapa yang sanggup merelakan seseorang yang dicintainya dengan orang lain? Tapi Gissele mencoba tegar. Pertahanannya sudah sekokoh karang, ia tidak akan mengambil Yesha dari Nara sekalipun harus mengorbankan perasaannya.

Gissele menarik tangannya. Ada perasaan lega yang terselip setelah membuat Yesha tahu segala yang terjadi padanya. Semoga Yesha mengerti dan bisa melindungi Nara dari apapun yang membahayakannya.

Gissele menyeka pipi sekali lagi, menatap Yesha dan Nara bergantian, “Gue pamit ya, Sha, Ra. Doain semoga gue selalu baik baik aja.” Kedua sudut bibirnya tertarik, sebuah senyum tulus. Tanpa menunggu reaksi Yesha dan Nara, Gissele berbalik dan pergi begitu saja.

...***...

Diluar hujan. Paviliun terasa dingin.

Yesha berdiri depan kaca besar, menatap keluar. Melihatnya sudah berdiri disana selama setengah jam, Nara ikut bangkit dari sofa, menghampiri Yesha, perlahan melingkarkan kedua tangan mungilnya di tubuh Yesha, memeluknya dari belakang. Sudah cukup mereka berperang dengan pikiran mereka masing masing. Ini saatnya bicara.

“Yesha…” Panggil Nara lembut, ia merasakan Yesha mengelus punggung tangannya. “Aku bawa kue ulang tahun aku, kamu mau?”

Yesha diam sesaat.

“Apa masih butuh waktu buat sendirian?” Tanya Nara lagi, “Kalau masih pengen ngelamun gak usah peduliin aku, aku mau peluk kamu aja sampai kamu ngerasa lebih baik.” Lanjutnya dengan suara bergetar, mata Nara berair lagi.

Helaan napas terdengar. Yesha membalik tubuh, tersenyum setulus mungkin pada Nara. “Aku mau kuenya.”

“Beneran?”

Yesha mengangguk.

Keduanya lantas saling duduk bersisian di atas sofa. Nara membuka potongan kue yang dibawanya. Lengkap dengan sebuah garpu kecil yang hanya ada satu.

“Aku minta maaf ya, seharusnya ini jadi hari spesial buat kamu, seharusnya aku datang, tapi Zara…” Kalimat Yesha menggantung, rasa bersalah menyelimutinya. “Kamu tahu sendiri.”

Nara mengangguk seraya memotong kue, “Iya, aku tahu. Nggak apa apa kok.” Ia menusuk potongan kue dengan garpu, menyodorkannya kedepan mulut Yesha. “Nih, a…”

Yesha membuka mulut, menerima potongan kue dari Nara, mengunyahnya pelan.

“Enak?”

Yesha mengangguk, tersenyum.

Tangan Nara terulur merapikan anak rambut Yesha, lalu mengelus permukaan wajah lelaki itu dengan ibu jarinya lembut. Tersenyum manis, walaupun saat ini air matanya bergumul cepat. Ribuan kali kejadian tadi berkelebat dibenak Nara, membuatnya sesak luar biasa.

Yesha mencium tangan Nara yang berada disisi wajahnya, menatap Nara lekat. “Brengsek ya, Kei?”

“Siapa?”

“Aku.” Yesha tahu apa yang ada dibenak Nara sekarang. Ia tahu sesakit apa. Tapi mengetahui fakta tentang Gissele, Yesha juga sakit, menyesal, marah, semuanya bercampur menjadi satu.

Nara tertawa sumbang, kembali memotong kue dan menyuapkannya pada Yesha, “Nggak juga.” Air mata Nara akhirnya jatuh setelah susah payah ia tahan, tapi Nara tidak menyekanya. Biarlah Yesha tahu bahwa ada rasa sakit yang tidak bisa Nara jelaskan di hatinya. “Pasti susah jadi kamu.”

“Kenapa susah?”

“Harus mencintai dua orang sekaligus.” Nara justru tersenyum. Padahal jauh didalam sana hatinya rasanya tercabik, sakit sekali.

Yesha menatap Nara lebih dalam. Gadis ini selalu tahu apa yang ada didalam hati Yesha, apa yang ia rasakan tanpa perlu Yesha mengatakannya. Yesha tidak bisa lagi melihat Nara serapuh ini. Entah sudah berapa kali dia menangis karena Yesha. Hatinya ikut berdenyut sakit, air matanya mendadak bergumul di pelupuk mata.

“Sakit ya, Kei?”

Nara mengangguk. Tapi bibirnya tetap mengukir senyum.

“Aku minta maaf sayang.” Yesha meraih jemari Nara, menggenggamnya erat.

“Jadi aku sakit, Yesha. Tapi aku tahu, jadi kamu pasti lebih sakit.”

Yesha menangis. Dan ia tidak akan menutupi itu dari Nara. Biarlah malam ini mereka menangis bersama. Hujan diluar sana seolah tahu bahwa luka mereka nyata. Yesha dan Nara berada disini untuk berusaha saling menyembuhkan sekali lagi.

“Keinarra,” Yesha meraih garpu ditangan Nara, menaruhnya di piring kue, sepenuhnya menggenggam kedua tangan gadis itu, saling berhadapan, “Sekarang kamu mungkin ragu apa keputusan kamu buat sama aku itu bener atau nggak. Apa jatuh cinta sama Yesha itu bener atau nggak. Tapi aku harus bilang sesuatu sama kamu…” Yesha menjeda ucapannya, menyiapkan hati. Air matanya memang tidak lebih deras dari air mata Nara, tapi rasa sakit gadis itu, Yesha bisa merasakannya juga.

“Gissele sempat ada di hati aku, tapi itu dulu. Setelah ada kamu, sejak awal perasaan aku ke kamu selalu jauh lebih besar daripada ke Gissele. Aku mungkin nyesel tahu tentang ini baru sekarang, tapi itu gak akan ngubah apa apa. Sekalipun tuhan menghadirkan dia versi baik baik aja, dengan perasaan yang sama, aku akan tetep milih kamu, Kei.”

Nara susah payah menahan isakan. “B-bukan karena kamu terlanjur janji buat gak ninggalin aku, kan?”

Yesha menggeleng. “Aku gak akan menyia nyiakan perempuan setulus ini, perempuan yang udah buat aku selalu pengen jadi Yesha yang lebih baik setiap harinya. Aku mencintai kamu, Keinarra. Tulus. Sangat, sangat, dan sangat, sayang.” Ucapnya sungguh sungguh.

Nara melihat sirat ketulusan dan kesungguhan itu dikedua mata Yesha. Sirat yang membuatnya percaya bahwa dirinya dan Yesha adalah benar. Air mata Yesha bukan sekedar untuk meyakinkan Nara. Tapi lelaki itu memang menangis untuk Nara, untuk rasa sakit yang Nara rasakan. Yesha tidak peduli dengan lukanya, ia hanya mencoba merasakan perih di hati Nara. Mencoba untuk merasakan rasa sakit yang sama dengannya.

Satu kecupan lama mendarat di kening Nara, memberikannya sensasi berdebar yang selalu ia rindukan. “Selamat ulang tahun Tuan Putri-nya Yesha.” Kedua sudut bibir Yesha tertarik membentuk sebuah senyuman simpul.

Nara mengangguk, mulai tidak bisa menahan isakan. “Makasih…”

Yesha menarik Nara, memeluknya erat. Matanya memejam menikmati wangi manis khas gadis itu yang ternyata Yesha rindu dengan sensasinya. Yesha tidak akan membiarkan Nara pergi, ia membutuhkan Nara dalam hidupnya. Yesha butuh cintanya, kelembutannya, marahnya, senyum dan tawanya. Lelaki itu menyeka pipi, ia tidak boleh menangis, Yesha harus kuat untuk Nara-nya.

Tentangnya dan Gissele sudah selesai.

Keinarra adalah kisah barunya yang harus Yesha perjuangkan.

Sekalipun semesta memiliki ‘banyak’ ujian agar memilih berpihak pada mereka. Dunia ini berputar, dan Yesha serta Nara hanyalah manusia biasa yang akan terus mencoba untuk terus bertahan.

...***...

1
NurAzizah504
Hai, ceritanya keren
Beatrix
Serius thor, kamu mesti lebih cepat update. Agar aku nggak kehabisan tisu ☹️
Ludmila Zonis
Mengharukan
Devan Wijaya
Hahahaha aku baca dari tadi sampe malam, mana next chapter nya thor?!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!