Undangan sudah disebar, gaun pengantin sudah terpajang dalam kamar, persiapan hampir rampung. Tapi, pernikahan yang sudah didepan mata, lenyap seketika.
Sebuah fitnah, yang membuat hidup Maya jatuh, kedalam jurang yang dalam. Anak dalam kandungan tidak diakui dan dia campakkan begitu saja. Bahkan, kursi pengantin yang menjadi miliknya, diganti oleh orang lain.
Bagaimana, Maya menjalani hidup? Apalagi, hadirnya malaikat kecil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Belum sepenuhnya.
Dua hari, Zamar merasa hidupnya tidak tenang. Ada perasaan cemas dan khawatir akan sesuatu yang entah apa. Makan terasa hambar, pikirannya tidak fokus dan jantungnya terus berdegup tidak karuan.
Sudah sembilan bulan, Maya pergi entah kemana. Hari-hari, Zamar lalui dengan bekerja dan bekerja. Akhir pekan, ia akan mengunjungi vila seorang diri.
Lalu, apa kabar dengan pernikahannya? Semua sama, tidak ada yang berubah. Meski, sang ibu menuntut memiliki cucu segera mungkin. Jawaban Sandra dan Zamar selalu sama, berbulan-bulan, mereka akan terus mengatakan hal yang sama.
"Mungkin, Tuhan belum mempercayai mereka berdua."
Atau mengatakan,
"Sabar, Ma. Mungkin, belum saatnya kita diberi rezeki."
Begitulah, sepasang suami-istri itu menutupi kebohongan mereka selama ini. Kadang waktu tertentu, Zamar mengajak Sandra untuk makan malam atau nonton bioskop. Tapi, itu hanyalah sebuah pertunjukan, karena pada akhirnya mereka berpisah, untuk melakukan kesibukan masing-masing.
Beberapa bulan ini juga, Zamar akan sering menginap di apartemen. Alasan pekerjaan, menjadi senjata baginya, untuk menghindari kecurigaan sang ibu.
Ruangan yang luas, dengan dinding kaca lebar. Zamar menatap keluar. Gedung-gedung pencakar langit, berdiri kokoh. Langit biru yang cerah, berdampingan dengan awan putih yang bergerak, karena tiupan angin.
"Huan," panggilnya.
"Iya, Tuan."
"Ada kabar tentang Maya?"
"Belum ada, Tuan."
Zamar menghela napas. Bukan lalu, ia meminta Huan untuk mencari keberadaan Maya. Bukan untuk bersama kembali, melainkan hanya ingin melihatnya, meski dari jarak jauh. Ia merindukan wajah gadis itu, senyum, tawa dan marahnya. Ia merindukan segala tentangnya.
Padahal, Huan sudah lama mencarinya lebih dulu, sebelum mendapatkan perintah. Namun, sampai saat ini, mereka belum menemukannya. Kota seluas ini, mencari seseorang, sama saja mencari jarum dalam tumpukan jerami. Meski, teknologi sudah maju, hal itu tetaplah sulit. Apalagi, Maya mengganti nomor ponselnya.
Lalu, mengapa setelah sekian lama, Zamar baru berpikir untuk mencarinya? Ia tersiksa dengan menahan rasa rindu pada seseorang, yang sama sekali tidak bisa ia lihat lagi. Rindu seperti ini, seperti merindukan seseorang yang sudah tiada. Hanya bayangan dan kenangannya saja, yang berbekas dalam hati dan pikiran.
"Temukan dia, Huan. Paling tidak, aku hanya ingin memastikan kalau dia baik-baik saja. Dia pasti sudah melahirkan anaknya."
"Saya akan berusaha, Tuan."
"Terima kasih. Sekarang pulanglah! Aku akan menyetir sendiri."
"Baik. Saya permisi, Tuan."
Masih banyak yang ingin Huan sampaikan, namun ia merasa waktunya belum tepat. Hasil penyelidikan, sedikit demi sedikit memberikan petunjuk. Meski, belum sepenuhnya menjadi bukti.
Kini, diruangan yang luas, Zamar duduk menyendiri. Ia menopang kepala, disalah satu tangannya yang tertekuk diatas meja. Menatap nanar, pada pemandangan diluar.
"Kau sibuk?"
Zamar mendongak. Sang istri, datang tanpa mengetuk pintu.
"Ada apa?"
"Mari pulang bersama. Ibu akan semakin curiga, jika kita terus seperti ini."
"Tunggu, sebentar."
Zamar mengatur dokumen dan merapikan meja kerjanya. Dia juga memasukkan foto Maya dalam laci.
"Kita langsung pulang atau kau mau mampir ditempat lain?" tawar Zamar, mengingat matahari masih terang diluar sana.
"Minum kopi?"
"Boleh."
Beginilah hubungan mereka, hanya seperti teman. Makan dan mengobrol, seperti biasa. Lalu, apakah yang dirasakan Zamar, sama dengan Sandra? Tujuh bulan pernikahan mereka, apakah perasaan Sandra tetap jalan ditempat?
Hubungan yang katanya hanya teman, namun membuat nyaman. Ia bisa bercerita dengan bebas dan terbuka. Pelukan Zamar yang hangat saat ia menangis, genggaman tangannya yang nyaman saat mereka berjalan dan perhatiannya yang membuat jantungnya tidak aman.
Mustahil, ia tidak jatuh cinta. Namun, sebisa mungkin, ia harus menyembunyikan perasaannya dengan rapi. Karena ia tahu, Zamar memiliki perasaan berbeda kepadanya. Meski, ia berkata membenci Maya, namun kenyataannya berbeda.
Sandra memesan dua kopi dan sandwich. Mereka duduk berhadapan, disudut ruangan.
"Kapan kau akan wisuda?"
"Bulan depan. Kau mau datang?"
"Aku tidak janji. Tapi, aku akan usahakan."
Dua cangkir kopi dan sepiring sandwich mendarat diatas meja. Zamar langsung menyambar gelasnya yang masih beruap.
"Za, kenapa kau tidak pernah bertanya padaku tentang malam itu?"
Pertanyaan yang sebenarnya sudah lama, ingin ia tanyakan. Zamar tidak pernah mempertanyakan, kebenaran tentang keberadaan Sandra malam itu. Sandra yang ingin mengaku, namun takut menimbulkan kesalahpahaman. Apalagi, sang ibu terus mengancamnya.
"Untuk apa? Kau kan, berasa diluar negeri!"
"Apa kau sama sekali tidak percaya padanya? Kalian bersama cukup lama."
"Waktu, tidak bisa membuatmu mengenal baik pasanganmu. Dia bisa menggunakan topeng, sebelum berdiri dipelaminan."
Ucapan Zamar, terdengar dingin. Mungkin, sampai saat ini, luka dan ingatan itu, belum hilang.
"Mungkin saja dia dijebak, Za. Aku percaya Maya, tidak seperti itu."
"Memangnya, siapa yang mau menjebaknya? Aku tidak punya kekasih lain dan orang tuaku menerimanya dengan baik." Zamar menggoyang cangkirnya. "Dia mengaku mengandung anak orang lain. Lalu, untuk apa lagi?"
Hampir saja, Sandra menjatuhkan gelasnya, karena tersentak. Matanya membulat, beriringan detak jantungnya yang terpacu.
"Dia hamil?"
"Ya, Maya hamil, anak orang lain," tegas Zamar.
Mungkinkah?
"Ayolah, May. Segelas saja, Zamar tidak akan membunuhmu, jika kau minum segelas."
"Kau tahu, kan, toleransiku pada alkohol. Aku akan pusing dan mual, meski hanya segelas."
Tidak. Oh, Tuhan. Apa yang aku lakukan?
Keringat dingin, membasahi sekujur tubuh Sandra. Ia meremas ujung kemejanya, dengan tangan yang gemetar. Wajahnya pias.
"Kenapa San?" tanya Zamar, yang memperhatikan sikap Sandra yang tiba-tiba membisu.
Jika aku mengatakan, Maya bersamaku malam itu. Apa kau akan membenciku?
Sandra mendongak, menghalau air matanya yang sebentar lagi akan jatuh. Terlambat, sangat terlambat untuk berkata jujur. Maya sudah pergi dan ia akan disalahkan, pada hal yang ia sendiri tidak mengerti.
"Kita pulang!" Sandra bangkit, tanpa menunggu jawaban.
"Minumanmu, kau belum menyetuhnya." Zamar berlari kecil mengejar Sandra.
Dalam perjalanan, Sandra membisu dan menolak bertatapan dengan Zamar. Pikirannya kalut, ia seolah dikejar dosa, yang menggungat dirinya, meminta pertanggungjawaban.
Sandra berjalan lebih dulu, setelah tiba. Tanpa memberi salam atau menyapa, seperti yang biasa ia lakukan. Beruntung, Resti tidak berada di rumah. Ia melewati pelayan yang menyambutnya, berlari masuk kamar.
Apa yang salah pada malam itu? Sandra terus bergumam dengan otak yang dipaksa berpikir. Ingatannya terputus, saat ia mabuk.
"Kau kenapa?"
"Tidak ada. Aku hanya lelah," kilahnya dengan mencoba bersikap normal.
"Bohong." Zamar memegang pundak Sandra, memaksa membalas tatapannya.
"Lepas!" Melepaskan tangan Zamar, namun pria itu kembali menyentuhnya. "Aku baik-baik saja."
"Katakan, padaku! Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?"
Deg.
Jantung Sandra, seperti akan melompat sebentar lagi.
"Menyembunyikan apa?"
"Jangan membohongiku. Setiap membicarakan Maya, sikapmu selalu berubah. Katakan!" Cengkraman tangan Zamar, semakin menguat.
"Aku tidak menyembunyikan apa-apa. Aku hanya merasa bersalah padanya. Dia hamil dan seorang diri diluar sana. Sementara, aku malah menikah denganmu. Dia tidak punya apa-apa, entah bagaimana dia akan hidup."
Danau yang menggenang, akhirnya jebol. Sandra terduduk, menangis dan terus meminta maaf dalam hati.
Zamar mematung dengan tatapan nanar. Memang benar. Maya seorang diri diluar sana, tanpa apa-apa. Ia pergi dengan pakaian yang ia bawa, dari panti asuhan.
🍋 Bersambung
karya yg sungguh bagus.
sebagai orangtua memang hrs bijak menyikapi pilihan anak
tidak seperti ibunya Za dan ibunya Sandra
tanpa mrk sadari, kedua orgtua tsb sdh merusak mental dan karakter anak
sy Tidak menyalakan sepenuhnya Za
mungkin klw kita berada diposisi Za akan mengalami hal yg sama
Buat May,hrs juga bijaksana,dan mengalahkan ego
di bab ini sy suka peran Kel.dr.Ansel.
Terimakasih Thor,sy suka dgn karyamu
banyak pesan moral yg Thor sampaikan.
Terimakasih.👍👍❤️