Siapa yang ingin rumah tangganya hancur? Siapa yang ingin menikah lebih dari satu kali? Semua orang pastilah berharap menikah satu kali untuk seumur hidup.
Begitu pun denganku. Meski pernikahan yang kujalani terjadi secara paksaan, tapi aku bisa menerimanya. Menjalani peran sebagai istri dengan sebaik mungkin, berbakti kepada dia yang bergelar suami.
Namun, bakti dan pengabdianku rasanya tidak cukup untuk membina rumah tangga dadakan yang kami jalani. Dia kembali kepada kekasihnya setelah aku mengandung. Kesempatan demi kesempatan aku berikan, tapi tak digunakannya dengan baik.
Bercerai? Rasanya tidak semudah itu. Aku ingin merebut kembali apa yang menjadi milikku. Termasuk modal usaha yang aku berikan dulu kepadanya. Inilah kisahku, Shanum Haniyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 27
Tak sabar rasanya ingin segera melihat keadaan toko. Tidak biasanya Irwan tidak mengirimkan laporan, uang pun belum ada masuk ke tabunganku. Padahal kemarin aku sudah mengiriminya pesan untuk mengirimkan keuntungan dari penjualan bulan ini.
"Awas aja si Irwan, apa dia mau main-main sama aku?" ancamku geram di depan cermin besar.
Kusudahi membenahi diri, berjalan keluar langsung menuju dapur di mana biasanya Shanum sudah berada menyiapkan sarapan. Namun, tak ada sosoknya di sana, keadaan dapur terasa lengang. Bahkan, tudung saji yang biasanya menghias meja makan kini tidak terlihat.
"Sha, kamu belum bikin sa-"
"Astaghfirullah!"
Kusapu wajah kala teringat bahwa Shanum sudah tidak tinggal bersamaku. Kenapa aku bisa lupa? Sebentar lagi kami akan bercerai, dan menjalani hidup masing-masing. Kutarik udara sedalam-dalamnya, berbalik meninggalkan dapur terus berjalan menuju teras.
Biarlah aku sarapan di jalan saja. melajukan mobil dengan kecepatan sedang sembari memilih dan memilah menu apa yang ingin aku santap sebagai sarapan pagi ini. Aku malas rasanya karena lidah sudah terbiasa dengan masakan Shanum.
Kuputuskan mendatangi sebuah gerobak yang tidak terlalu ramai pembeli. Kupat sayur dan ketoprak. Duduk di bangku menunggu pesanan sambil menatap lalu-lalang manusia juga kendaraan. Menikmati sarapan pagi ini tanpa rasa nikmat seperti biasanya. Hilangnya Shanum dalam kehidupanku, membawa serta selera makanku.
Ah, tapi nggak apa-apa. Nanti kalo aku udah nikah lagi, akan ada yang masakin juga. Udah nggak perlu inget-inget Shanum lagi sekarang. Dia akan jadi orang lain, orang asing buat aku.
Aku mencoba meyakinkan hati, tak hanya Shanum perempuan di dunia ini yang bisa memanjakan lidahku dengan masakan-masakan sederhana yang terasa nikmat ketika disantap. Suatu hari pasti akan ada perempuan yang bisa melebihi Shanum.
Kuberikan sejumlah uang yang diminta oleh pedagangnya dan berjalan mendekati mobil. Namun, tak sengaja mataku menangkap sebuah pemandangan memuakkan tak jauh dari tempat mobilku terparkir.
"Hmm ... Shanum? Ngapain dia sama si Benny? Kurang ajar, apa mereka selingkuh? Pantesan si Benny nggak mau tanggung jawab sama Shila, rupanya dia ngejar-ngejar Shanum." Aku tercengang, ketika teringat sesuatu.
Kupandangi tangan Shanum yang menggenggam sebuah hadiah pemberian Benny. Jika tak salah melihat itu seperti perlengkapan bayi.
"Jangan-jangan bayi yang ada di kandungan Shanum bukan anak aku, tapi anak Benny. Makanya Benny menelantarkan Shila dan lebih memilih Shanum. Kenapa aku jadi ragu kalo itu anak aku?"
Geram melihat kedekatan mereka berdua, Shanum tersenyum manis pada laki-laki itu. Padahal senyum itu harusnya dia berikan untukku seorang saja. Bagaimanapun aku masih suaminya dan dia tidak pantas berduaan dengan laki-laki lain seperti saat ini.
Tangan yang sudah memegang pintu mobil dan membukanya, urung aku lakukan. Kubawa langkah mendekati kedua sosok yang masih asik bercengkerama. Mereka berada tepat di depan sebuah toko yang menjual perlengkapan bayi.
"Bagus! Jadi kamu pergi dari rumah supaya bisa dua-duaan sama laki-laki, ya. Ingat, Shanum aku ini masih suami kamu. Nggak seharusnya kamu berduaan sama laki-laki lain," ketusku sambil melirik mereka berdua yang tampak terkejut, kemudian bersikap biasa saja.
Shanum mendengus sambil berbalik, terserah. Apa yang aku katakan adalah fakta di mana seorang wanita yang sudah bersuami haram berduaan dengan seorang laki-laki asing. Kulempar lirikan kepada laki-laki pengecut yang tak bertanggungjawab itu.
Ia berpaling sambil mengusap tengkuk salah tingkah. Sebelah tangannya berkacak di pinggang, tak senang karena aku memergokinya merayu Shanum.
"Kamu juga, Benny. Laki-laki pengecut dan nggak tahu malu. Kamu tinggalin tanggung jawab dan ngejar-ngejar istri orang. Sebagai orang yang berpendidikan, kamu nggak seharusnya ngelakuin kayak gini. Shanum itu istri aku!" Aku tegaskan kepada Benny siapa Shanum dan apa statusnya supaya dia semakin mengerti bahwa ada dinding di antara mereka.
"Udahlah, Ka. Nggak usah banyak omong. Bentar lagi kita cerai dan kamu udah setuju. Mulailah belajar buat nggak ngurusin kehidupan aku. Jalani aja hidup kita masing-masing tanpa mengganggu satu sama lain. Bisa?" ujar Shanum yang terlihat tak senang dengan kedatanganku.
Kutatap perempuan yang kini bersembunyi dibalik kain yang bernama kerudung itu. Aku mencibir, menilai penampilannya yang semakin agamis. Gamis panjang dan longgar menutupi seluruh lekuk tubuhnya yang dahulu seksi. Rambut ikal nan hitam kini tak lagi terlihat. Dia bahkan mengenakan kaos kaki untuk menutupi kakinya.
"Penampilan aja yang tertutup, tapi kelakuan sama aja. Kamu bilang aku yang selingkuh, padahal kamu yang main laki-laki di belakang aku. Aku jadi ragu kalo anak itu adalah anak aku." Kulipat kedua tangan di perut, sejenak aku melihat raut wajah Shanum yang terkejut dan tidak terima.
Mata indahnya melotot lebar, kedua pipinya bahkan terlihat memerah mungkin karena amarah. Kenapa harus marah jika apa yang aku katakan adalah tidak benar. Dia hanya tinggal menyangkalnya saja, bukan? Menjijikkan, semakin dia marah semakin jelas terlihat kebenarannya.
Bugh!
Tak dinyana, sebuah pukulan tiba-tiba mendarat di wajahku. Sial! Kuangkat pandangan, Benny ikut meradang dengan kedua tangannya yang mengepal.
"Kenapa kamu pukul aku? Ini bukan masalah kamu, ini masalah aku sama Shanum! Nggak usah ikut campur, kamu bukan siapa-siapa!" bentakku geram.
Benny bergeming, dia berjalan kembali hendak menyerangku. Namun, Shanum dengan cepat mencegah. Cih, memuakkan.
"Jangan, Ben! Nggak usah diladenin, biarin aja. Aku nggak apa-apa, kok. Raka bener, ini urusan aku sama dia. Mending kamu pergi duluan, aku nggak apa-apa," ucap Shanum yang wajahnya masih terlihat memerah.
"Terus ninggalin kamu sama laki-laki berengsek ini? Nggak, Sha. Aku tahu, aku ini bukan siapa-siapa. Ini juga bukan urusan aku, tapi dia udah keterlaluan!"
Aku muak melihat drama di depan mataku ini, terus saja berakting. Saling peduli satu sama lain, semakin membuktikan bahwa ada sesuatu di antara mereka.
"Nggak apa-apa, kamu tenang aja. Di sini banyak orang, pergi aja duluan." Shanum tersenyum meski terkesan dipaksakan. Benny menghela napas, mengalah. Ia melirikku sebelum berbalik dan pergi meninggalkan kami berdua.
Kini, Shanum menghadapku sepenuhnya. Menatap nanar padaku, ada kekecewaan yang kulihat di kedua bola matanya yang jernih. Apa aku cemburu? Kurasa tidak, aku hanya tidak senang melihat Shanum bersama laki-laki lain. Apalagi tersenyum seperti tadi.
"Maksud kamu apa? Kalo emang kamu nggak mau tanggung jawab sama janin yang ada di perut aku, aku nggak apa-apa, kok, tapi kamu jangan ngomong sembarangan kayak tadi. Hal itu nggak pantes diucapkan laki-laki yang sebentar lagi akan jadi ayah."
"Tanggung jawab? Tanggung jawab apa kalo aku sendiri ragu siapa bapak anak itu?" Aku menyangkal. Shanum terlihat geram.
"Terserah!" Shanum berbalik dengan wajah kesal, meninggalkan aku yang tak terima dengan apa yang dilakukannya tadi.
"Inget, Shanum! Kamu itu masih istri aku! Aku nggak izinin kamu berduaan sama laki-laki lain!" Aku berteriak kuat tak peduli keadaan sekitar. Namun, Shanum bergeming dan masuk ke dalam mobilnya.
"Dasar!" Aku mengumpat.