NovelToon NovelToon
Dokter Bar-Bar Kesayangan Mafia Tampan

Dokter Bar-Bar Kesayangan Mafia Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Crazy Rich/Konglomerat / Dokter Genius / Beda Usia / Roman-Angst Mafia
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Seraphine E

Dibesarkan oleh kakeknya yang seorang dokter, Luna tumbuh dengan mimpi besar: menjadi dokter bedah jantung. Namun, hidupnya berubah pada malam hujan deras ketika seorang pria misterius muncul di ambang pintu klinik mereka, terluka parah. Meski pria itu menghilang tanpa jejak, kehadirannya meninggalkan bekas mendalam bagi Luna.

Kehilangan kakeknya karena serangan jantung, membuat Luna memilih untuk tinggal bersama pamannya daripada tinggal bersama ayah kandungnya sendiri yang dingin dan penuh intrik. Dianggap beban oleh ayah dan ibu tirinya, tak ada yang tahu bahwa Luna adalah seorang jenius yang telah mempelajari ilmu medis sejak kecil.

Saat Luna membuktikan dirinya dengan masuk ke universitas kedokteran terbaik, pria misterius itu kembali. Kehadirannya membawa rahasia gelap yang dapat menghancurkan atau menyelamatkan Luna. Dalam dunia penuh pengkhianatan dan mimpi, Luna harus memilih: bertahan dengan kekuatannya sendiri, atau percaya pada pria yang tak pernah ia lupakan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22 : Bohong

Di rumah mewah keluarga Douglas, suasana yang biasanya tenang mendadak pecah oleh teriakan panjang nan dramatis dari Clara. "ARGHHHHH!" suaranya menggema sampai burung-burung di luar jendela terbang ketakutan.

Claudia, sang ibu yang sedang menikmati teh sore sambil membaca majalah mode, nyaris menjatuhkan cangkir porselennya. Dengan langkah anggun namun penuh rasa ingin tahu, dia menuju kamar Clara. Begitu pintu terbuka, dia mendapati Clara duduk di tempat tidur dengan wajah merah padam, rambutnya berantakan seperti habis dipukul badai.

"Ada apa denganmu? Kenapa kau berteriak seperti orang gila begini?" Claudia bertanya sambil mendekati Clara dan membelai lembut rambut anaknya, berusaha menenangkan si drama queen rumah itu.

"Mom," Clara memulai dengan suara penuh keluhan, "Aku benci dengan Luna! Sejak dia pindah ke sekolahku, rasanya hidupku berubah jadi mimpi buruk. Hidupku menderita!" Clara membenamkan wajahnya di bantal, mengeluarkan suara erangan seperti anak kecil yang kehilangan mainan favoritnya.

Claudia mengernyitkan dahi. "Luna? Gadis itu lagi? Apa yang dia lakukan kali ini?" tanyanya dengan nada penuh rasa ingin tahu namun juga sedikit kesal.

"Dia mempermalukanku di sekolah tadi, Mom. Aku malu sekali!" Clara mengangkat wajahnya yang memerah. Mata berkaca-kaca itu menambah kesan dramatis, seolah-olah dunia ini sungguh tidak adil padanya. Tentu saja, dia tidak lupa menambahkan sedikit bumbu fitnah untuk meningkatkan simpati.

Claudia mengangkat alis, wajahnya berubah dingin. "Apa?! Beraninya gadis itu mempermalukanmu?! Tenang saja, sayang. Mommy akan mengurus semuanya. Dia tidak akan lagi bisa menjatuhkanmu," katanya dengan nada yang penuh kepercayaan diri seorang ibu singa. Kalau perlu, dia akan memanggil pengacara keluarga atau bahkan menyewa detektif pribadi untuk menyelesaikan masalah ini. Luna harus tahu siapa yang berkuasa.

Namun, setelah luapan emosinya mereda, Claudia menatap Clara dengan penuh selidik. "Ngomong-ngomong, bagaimana dengan hasil ujianmu? Mommy yakin kau mempertahankan posisimu, kan?"

Clara yang mendengar pertanyaan itu langsung kaku seperti patung. Pikirannya berputar cepat mencari jawaban yang aman. Kalau dia jujur bahwa dia bahkan tidak masuk peringkat lima besar, apalagi mengakui Luna adalah juara pertama, bisa-bisa Claudia marah besar. Akhirnya, Clara memasang senyum palsu dan berkata, "Oh, tentu saja Mom. Aku… aku juara pertama! Ya, aku juara pertama sekolah!"

Claudia langsung bersinar. Matanya berbinar bangga. "Ah, anak Mommy memang luar biasa! Aku tahu kau pasti akan membuat Mommy bangga!" katanya sambil memeluk Clara erat-erat.

Clara hampir kehabisan napas di pelukan itu, tetapi lebih baik begini daripada menghadapi kemarahan Claudia. Di dalam hatinya, dia hanya berharap Luna tidak akan membocorkan kebenaran bahwa sebenarnya dia berada jauh di bawah peringkat lima besar. Jauh sekali.

Keesokan harinya, Clara yang sedang asyik menikmati waktu bersama teman-temannya, tidak sadar bahwa nasib sial sedang menunggunya dengan sabar. Tanpa sepengetahuannya, kartu tersebut jatuh dengan indahnya ke tangan Claudia saat pelayan mereka, Rosetta, yang sedang membereskan surat-surat, menemukan hasil ujian Clara yang tidak sempat disembunyikan oleh Clara.

Kartu hasil ujian itu, selalu rutin dikirim oleh pihak sekolah ke rumah masing-masing siswa, sebagai laporan kepada orang tua mereka, namun sialnya Clara tidak sempat untuk menyembunyikan apalagi memalsukannya seperti biasanya.

Mata Claudia langsung membelalak seperti kucing yang baru saja melihat tikus besar di depannya. "Peringkat 9? Peringkat 9??" kata Claudia sambil memegang kartu hasil studi itu seolah-olah itu adalah buku harian lama yang penuh rahasia kelam. "Beraninya dia membohongiku!" ujarnya sambil berdiri di samping jendela, menatap kartu itu seperti seorang detektif yang baru saja mengungkap kasus besar.

Rosetta yang berdiri di dekatnya mulai merasa cemas. Semua orang di rumah tahu bahwa Claudia tidak bisa menerima kegagalan, apalagi kegagalan yang datang dari anaknya sendiri.

Dengan suara yang tidak terlalu lembut, Claudia berteriak, "Rosetta! Dimana Clara?"

"Iya, Madam!" Rosetta melompat kaget, hampir terjatuh karena panik. "Nona muda sedang pergi bersama teman-temannya sejak pagi dan belum kembali."

Claudia mengerutkan dahi. "Disaat seperti ini, dia masih punya nyali untuk bersenang-senang? Tunggu sampai kau pulang nanti Clara."

Seperti seorang predator yang menunggu mangsanya, Claudia menunggu dengan sabar. Sabar? Mungkin lebih tepatnya menunggu dengan ketegangan yang bisa dirasakan oleh seluruh rumah. Dan saat jam menunjukkan waktu yang cukup larut, akhirnya Clara kembali, melangkah masuk ke rumah dengan kaki yang terasa lebih berat dari biasanya.

"Darimana saja kau, Clara?" suara Claudia terdengar dari balik pintu dengan nada yang bisa membuat orang langsung merasa bersalah tanpa tahu kesalahannya.

Clara hampir terjatuh karena terkejut, tubuhnya kaku, dan matanya mulai berkedip dengan panik. "Mom... Mommy belum tidur?" tanyanya dengan suara bergetar, mencoba mencari jalan keluar, meskipun dia tahu tak ada tempat untuk melarikan diri.

Sebelum Clara sempat mengucapkan lebih banyak kata-kata defensif, Claudia sudah bergerak cepat. Dengan gerakan secepat kilat yang hanya bisa dilakukan oleh seorang ibu yang marah besar, Claudia melemparkan kartu hasil ujian ke depan Clara, seolah-olah itu adalah bom waktu yang siap meledak.

Clara menatap kartu itu dengan mata yang membulat. Wajahnya berubah pucat seketika, seperti baru saja menemukan bukti kejahatan besar yang dia sembunyikan selama ini. "M-Mom... Ini... ini bukan yang kau pikirkan!" Clara mencoba membela diri dengan suara serak, namun tahu benar dIa tak bisa mengelak lagi.

Claudia menyilangkan tangannya, memperhatikan Clara dengan tatapan yang lebih tajam daripada pisau dapur. “Jadi... kau berani berbohong padaku, ya? Peringkat ke-9? Ini hasilnya, bukan? Dan kau bilang kau juara pertama?”

Clara terdiam, mulutnya terbuka sedikit, seperti ikan yang tertangkap jaring. Tidak ada jalan keluar. Tentu saja, dia tidak bisa mengakui kebohongannya begitu saja. Tapi melihat wajah Claudia yang sedang marah seperti itu, rasanya Clara ingin menyembunyikan diri di bawah selimut seumur hidupnya.

"Mom, ini... ini cuma salah perhitungan. I-itu... aku pasti... harusnya bisa dapat peringkat lebih tinggi. Itu cuma soal sedikit masalah teknis...!" Clara mencoba membuat alasan, namun suara gemetarannya jelas mengkhianati kebohongannya.

"Ini akibatnya kalau kau terlalu sering bermain-main!” seru Claudia dengan nada tinggi yang membuat lampu gantung di ruang tamu hampir ikut bergetar. “Mulai sekarang, Mommy melarangmu keluar rumah! Tutormu juga akan aku suruh menambah jam belajar. Tidak ada lagi waktu santai, Clara! Kau harus ingat, kau harus masuk sebagai top student di Imperial University, dan menjadi dokter!”

Clara membuka mulut, tapi sebelum dia sempat menyuarakan argumen yang brilian—atau setidaknya mencoba mengelak—Claudia sudah mengangkat tangan, memberi sinyal bahwa tidak ada ruang untuk diskusi.

“Kali ini aku akan membiarkanmu,” Claudia melanjutkan dengan nada yang lebih tenang, tapi justru terdengar lebih mengerikan. “Tapi jika dalam ujian akhir kau tidak mendapatkan hasil yang memuaskan...” Claudia berhenti sejenak, menatap langsung ke mata Clara dengan tatapan yang bisa menghentikan seorang macan. “Kau tahu apa yang akan Mommy lakukan, bukan?”

Clara menelan ludah. Tentu saja dia tahu. Claudia terkenal dengan ancaman-ancamannya yang setara dengan hukuman dalam film-film mafia. Pernah suatu kali Claudia mengancam akan menjual seluruh koleksi pakaian Clara ke toko barang bekas jika Clara tidak menyelesaikan PR matematikanya tepat waktu. Trauma itu masih membekas hingga sekarang.

“Mom, aku bisa jelaskan...” Clara mencoba memulai pembelaan. Namun Claudia sudah berbalik dan pergi, meninggalkan Clara dalam kekacauan emosional yang sulit dijelaskan.

Di kamarnya, Clara meremas tangannya. Wajahnya memerah, bukan karena malu, tapi karena amarah. Dalam hatinya, ada satu nama yang langsung melintas, dan itu bukan nama guru, tutor, atau bahkan Claudia. Luna.

“Semua ini salah Luna!” Clara mendesis sendiri, seperti penjahat yang baru saja merencanakan balas dendam besar. "Kalau saja dia tidak jadi juara satu, aku tidak akan seperti ini! Ugh, kenapa dia selalu muncul dan menghancurkan hidupku?”

Clara lalu memandang ke cermin, seolah-olah sedang berbicara kepada alter egonya. “Aku harus membalasnya. Aku tidak bisa membiarkan dia terus-terusan membuatku terlihat seperti pecundang di depan semua orang!”

Dan di luar kamar, Claudia duduk di ruang tamu dengan secangkir teh, tersenyum kecil, yakin bahwa anaknya akan berhasil menjadi dokter. Sementara itu, Rosetta, pelayan setia, hanya bisa menghela napas sambil berbisik, “Drama lagi...”

...****************...

Pagi itu, suasana kelas 320 terasa berbeda dari biasanya. Biasanya, kelas ini lebih mirip kandang hewan liar dengan suara bising, tawa keras, dan obrolan tentang hal-hal tidak penting. Tapi kali ini, Luna berdiri di depan podium kelas dengan penuh percaya diri, memegang setumpuk modul tebal. Wajahnya serius, tetapi ada secercah semangat yang memancar dari matanya.

“Teman-teman!” serunya, menarik perhatian semua orang. Beberapa murid yang sedang bermain kartu langsung menoleh dengan enggan. Yang lainnya, seperti biasa, hanya memandang Luna seolah dia alien dari planet lain.

“Aku akan membagikan modul belajar ini pada kalian,” lanjutnya dengan nada yakin. “Aku yakin kalian akan bisa belajar lebih mudah dengan ini. Kalian harus ingat target kita untuk masuk sebagai peringkat 10 besar kelas terbaik!”

Sontak, ruangan dipenuhi dengan sorakan... sorakan sumbang, tentu saja. Beberapa murid terkekeh, beberapa melongo tak percaya, dan sisanya hanya menguap bosan. Namun, Dominic, sang ketua kelas yang dikenal setia seperti asisten pribadi, segera maju membantu Luna membagikan modul.

“Wow, tebal sekali,” komentar Daniel sambil menerima modul. “Apakah ini buku suci?”

“Kalau kau benar-benar belajar dari modul ini, mungkin kau bisa lulus tanpa remidi untuk pertama kalinya,” balas Luna tajam. Daniel hanya tertawa canggung.

Di sudut lain, Theresa, si ratu gosip kelas, sudah membuka modulnya. “Hei, kalian benar! Penjelasannya tidak rumit. Bahkan aku yang biasanya buta matematika jadi paham.”

Bu Evelyn, yang berdiri di sudut kelas sambil memeluk buku catatan, tak bisa menyembunyikan senyum lebarnya. Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah karier mengajarnya, dia melihat murid-murid kelas 320 menunjukkan tanda-tanda ingin belajar. Biasanya, mereka hanya menunjukkan tanda-tanda ingin pulang cepat.

“Luna, kau benar-benar luar biasa,” kata Bu Evelyn akhirnya.

Luna menoleh dan tersenyum bangga. “Kalian belajar modul itu, dan setiap minggu Bu Evelyn akan menguji kita untuk mengetahui kemampuan kita. Kalau ada yang tidak kalian mengerti, datang saja padaku.”

Sorakan kembali terdengar, kali ini lebih keras, meskipun sebagian besar diiringi dengan desahan panjang dari mereka yang sudah tahu bahwa belajar akan menjadi bagian dari hidup mereka mulai sekarang. Namun, di tengah keraguan dan keluhan, semangat baru mulai muncul di kelas 320.

“Siapa tahu,” gumam Theresa pelan sambil menatap modulnya, “mungkin kita benar-benar bisa masuk 10 besar.”

“Jangan bermimpi terlalu tinggi,” ledek Daniel, meskipun dia juga diam-diam mulai membaca modul dengan rasa ingin tahu.

...****************...

1
dheey
bagussss luna!!!
Ratna Fika Ajah
Luar biasa
Nurwana
mo tanya thor... emang umur Luna dan Lucius berapa???
Seraphine: Perbedaan usia 8 tahun
Jadi waktu Luna masih SMA dia 18 tahun.
dan si Lucius ini ngempet dulu buat deketin Luna sampai si Luna lulus jadi dokter dulu, karena bab2 awal dia masih abege 🤣✌️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!