--Balas dendam terbaik adalah dengan menjadi pemenang sejati--
Setelah dicampakkan ayahnya dan diputus status sebagai Tuan Muda saat usia delapan tahun karena kutukan, Xavier bangkit sebagai sisi yang berbeda setelah dewasa. Mengusung nama besar Blood dengan menjadi panglima perang sejati dan pebisnis andal di kekaisaran.
Namun ... pada akhir dia tetaplah sampah!
---Ekslusif di NOVELTOON---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ɛpɪsoʊd 26
Bunyi berisik siraman air terdengar dari dalam bilik mandi kamar Xavier.
Ada apa dengan dirinya, Xavier tentu tahu. Meski tak pernah melakukan praktek dan hanya baru mempelajari materi saat di perguruan tinggi, dia bisa merasakan itu sangatlah gila.
Rasanya membakar.
“Aku tak berniat seperti ini! Tolong kau percaya padaku! Tanganku bergerak begitu saja!”
Kalimat terakhir Aegle sebelum akhirnya melarikan diri terbirit-birit.
Mengingat itu, Xavier berdecak, “Ck! Bergerak sendiri katanya?”
Itu terdengar skeptis. Bagaimana bisa bergerak sendiri?
Dewa mana yang begitu cabulL sampai pengobatan saja harus ada hal yang digerakkan pada hal konyol seperti itu?
Atau Aegle sendiri yang otaknya terlalu mesum?
“Bodoh!”
Setelah tubuhnya bereaksi, wanita itu melarikan diri. Jadi kucuran air terpaksa bertanggung jawab atas Xavier yang testosteron-nya kepalang panas. Meski Ashiana bisa kapan saja digarap, tapi itu seperti kejahatan seksual pada anak-anak. Wanita itu mungkin akan menjerit seperti disundut api batang hidungnya.
“Padahal aku bisa kabulkan jika dia memang sangat menginginkannya.”
Apakah itu terdengar bagus?
Entah!
Memiliki istri yang tak bisa digauli sepuas hati memang membuat sulit, tapi memuaskan diri dengan pasangan yang tak sepantasnya juga bukan tindakan lurus.
Menjadi dewasa dengan tubuh sehat, entah kenapa malah terasa menyiksa, atau terdengar seperti olokan para player yang bisa dengan bebas mencoba semua lubang.
Xavier miris dengan dirinya sendiri.
“Apa aku harus seperti mereka?”
Sayangnya, jari-jari tangan Aegle memang membuat gila. Lembut dan menghanyutkan. Lagi-lagi pikirannya lari ke sana.
“Sekarang aku persis pria murahan.”
Walau bagaimana pun Xavier seorang [anggap saja] publik figur. Setiap laku lampahnya pasti akan disorot. Dia tidak mau dianggap pria sembrono.
“Aku tak boleh terburu nafsu dan menggadaikan kualitasku. Semua harus jelas lebih dulu, baru aku bisa bertindak yang semestinya.”
Meski suhu udara dalam keadaan sangat dingin, Xavier tidak terusik. Berkucur diri di bawah terjunan air sembari berdiri, setidaknya sampai rasa membakar dan penuh tuntutan itu hilang dalam dirinya.
Setelah beberapa saat, akhirnya dia keluar kamar dengan kimono mandi berwarna biru setengah tua sebatas lutut.
Kini dia penasaran tentang hal penting. Cermin panjang di sudut ruang segera dihampirinya dan berkaca diri di sana.
Ingin melihat pantulan bayangnya setelah proses gila yang terjadi di penghujung pagi ini.
Perlahan, tali handuk kimono di depan perut dilepas simpulnya, lalu membuka pakaian itu sekali tarikan.
Sekarang dia telanjang.
Wajah yang basah karena tetesan air dari rambutnya nampak menguar senyum.
“Aku tidak percaya ini,” gumamnya, terharu sendiri.
“Kutukan sialan itu ... sungguh menghilang dari tubuhku.”
Seluruh tubuh yang dulu ungu menghitam dengan corak aneh itu kini putih mulus dan bersih. Bahkan luka-luka hadiah peperangan pun ikut menghilang.
“Luar biasa.” Tak henti rasa takjubnya.
Meski belum sempurna, masih ada di bagian betis yang samar ungu, tapi Xavier sudah sangat merasa puas.
“Aku akan mengabulkan apa pun yang dia inginkan.” Untuk Aegle yang luar biasa.
Orang pertama yang ingin ditemuinya pertama kali setelah kutukannya melebur, tentu adalah istrinya.
Pagi setelah matahari kembali menaiki tahta dengan penuh congkak, Xavier sudah rapi dengan setelan formal-nya seperti biasa.
Ada rasa ragu untuk masuk. Saat ini dia berdiri tepat di depan pintu kamar Ashiana.
Dan keraguan itu terjawab dengan kemunculan Luhde.
“Tuan Putri sedang berjalan-jalan di taman, Tuan Muda.”
Pemberitahuan itu melempar pandangan Xavier pada lelaki itu. “Benarkah? Sepagi ini?”
“Ya, Tuan Muda. Sepertinya beliau memiliki mood berbeda hari ini.”
Xavier diam sesaat, kemudian mengangguk. “Baiklah.”
“Apa Anda akan ke sana?”
“Tidak!” Xavier mulai berjalan meninggalkan pintu. “Kita mulai saja pekerjaan kita.”
“Baik, Tuan Muda." Luhde mengikuti dari belakang. Di sela langkah menuju ruang kerja dia bertanya, “Sepertinya penyembuhan kutukan Anda sangat berhasil. Saya tidak mencium apa pun lagi dari tubuh Anda selain wangi dari parfum Britis yang saya belikan.”
Menyikapi itu, Xavier tersenyum. “Kau benar, Luhde. Aegle melakukannya dengan sangat baik.”
“Saya turut berbahagia.”
Lebih dari kata itu sendiri, Luhde merasakan kebahagiaan itu terasa penuh memenuhi ruang dalam dadanya. Bagaimana tidak, semua usaha yang dilakukannya selama belasan tahun terbayar begitu saja oleh seorang ahli sihir yang tak sengaja ditemukan Xavier sendiri di tepian jalan. Menakjubkan saja tidak cukup, bukan? Mungkin dia harus mengundang Zeus dan Amor makan malam di taman belakang.
Kedengarannya bagus.
Sangat bagus sampai terdengar seperti penyair yang berubah menjadi pelawak.
“Terima kasih, Luhde.”
Hanya runduk hormat yang digerakkan Luhde. Rasanya sulit berkata panjang untuk melengkapi ekspresi senangnya yang tak terkira.
Keduanya sampai di ruang kerja.
“Bagaimana kelengkapan bahan? Ada kendala?" Xavier bertanya seiring kursi didudukinya.
Luhde mengisi kursi di hadapannya, tersekat meja. Sebuah dokumen yang baru saja diambilnya dari meja lain mulai disibak-sibak. “Kayu-kayu dan besi akan dikirim siang ini. Kemarin bebatuan dan bata telah sampai. Tuan besar mengirim ahli terbaik dari kenalannya. Pembangunan mungkin akan mulai dikerjakan beberapa pekan dari sekarang.”
Xavier manggut, paham dan tak melontar rasa keberatan apa pun. Jika Homer Blood turun tangan meski hanya membantu rekomendasi para ahli saja, sudah pasti akan berjalan baik.
“Lalu para penduduk? Apa sudah terkumpul?” tanya Xavier lagi.
“Sudah, Tuan Muda,” jawab Luhde. “Total jumlah mereka sekitar dua ratus orang.”
“Hanya dua ratus?" Kening Xavier berkerut tebal.
Luhde menarik napas, membetulkan kacamatanya, lalu mengungkap, “Sebagian dari mereka meninggal dunia, Tuan Muda. Kelaparan, penyiksaan jalanan, sampai penyakit dari udara yang tak bersahabat.”
Mata Xavier berkilat memantulkan cahaya menusuk, ekspresinya jelas dalam mode marah, juga sangat menyayangkan. “Tolong jaga mereka yang tersisa. Berikan makanan dan kebutuhan lain yang paling layak. Aku tidak mau dengar lagi ada keburukan menimpa mereka.”
“Baik, Tuan Muda," tanggap Luhde. Dokumen ditutupnya, lalu melengak ke wajah Xavier dan bertanya, “Kapan kira waktunya Anda akan ke Grim Hills untuk meninjau secara langsung?”
Satu helai kertas yang ditatap sembari ditandatangani, dicampakkan Xavier. Pena dalam jepitan jari ditaruhnya di atas kertas yang sama. Tatapan matanya kini datar, ada raut bermakna yang sulit ditebak. “Ada sesuatu penting yang harus kuurus lebih dulu. Kesempatannya hanya tinggal sekali. Aku akan fokus ke sana dulu.”
Pengungkapan itu menarik kening Luhde jadi mengernyit. “Maaf, kalau boleh tahu, urusan apakah itu, Tuan Muda?”
Mata tajam Xavier terlempar ke wajah Luhde yang penasaran. “Aku belum bisa mengatakannya,” katanya. “Setelah usai dan jelas, akan aku beritahukan.”
Luhde mengangguk sekali dan lemah. “Baik, Tuan Muda.” Terheran saja, Luhde merasa ada yang aneh. Tidak biasanya Xavier menyembunyikan sesuatu darinya.
Keterbukaan yang dijalani selama ini memang hanya terkait perang, bisnis, pekerjaan, juga keperluan pribadi yang hanya berupa pakaian dan sejenisnya. Jadi jika ada apa pun yang bertentangan, maka Xavier memiliki masalah pribadi terkait ... mungkin hati.
Memang, sesuai penilaian Luhde yang sering digosipkannya berdua bersama Proka, setelah Xavier menikah .... “Tuan Muda seperti menjadi orang yang berbeda.”
Lebih terbuka, sering menunjukkan senyuman tulus yang selama ini tak pernah Xavier perlihatkan sama sekali pada siapa pun. Hidupnya seperti berada dalam wadah yang berisi kesuraman tanpa batas. Tapi itu melebur setelah Ashiana hadir dalam hidupnya.
“Jika itu karena pernikahan, maka mendapat istri seorang Putri Ashiana yang sedemikian ... bukanlah hal yang merugikan. Semoga Anda selalu berbahagia, Tuan Muda.”
😍😍😍
😘😘😘🔞🔞🔞