Pelacur mahal milik Wali Kota. Kisah Rhaelle Lussya, pelacur metropolitan yang menjual jiwa dan raganya dengan harga tertinggi kepada Arlo Pieter William, pengusaha kaya raya dan calon pejabat kota yang penuh ambisi.
Permainan berbahaya dimulai. Asmara yang menari di atas bara api.
Siapakah yang akan terbakar habis lebih dulu? Rahasia tersembunyi, dan taruhannya adalah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arindarast, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mahkota Emas atau Sayap Kebebasan
Taman di sekeliling mansion sangat indah terawat dengan bunga-bunga yang bermekaran. Langit biru cerah tanpa cela membentang di atas, dihiasi awan-awan putih yang lembut, menambah keindahan pemandangan.
Semilir angin membawa aroma bunga melati dan lavender, menciptakan suasana tenang dan damai yang menenangkan jiwa.
Rhaell sedang menyusuri jalan setapak yang mengarah ke belakang mansion. Di sana terdapat danau buatan yang mencuri perhatiannya.
Namun, ada hal lain mengusik pikirannya saat ini. Kakak beradik yang membuat hidupnya menjadi rumit.
Ia berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. “Dayana, kira-kira kapan pemilihan Wali Kota itu dilakukan? Dan sampai kapan kamu terus mengikutiku? Jujur saja, aku sangat ingin menyudahi semua ini.”
Dayana tersentak, pertanyaan Rhaell yang bertubi begitu mendadak, namun ia segera menyembunyikan keterkejutannya. “Aku tidak tahu, Rhaell,” jawabnya singkat, suaranya datar dan tegas. “Aku hanya menjalankan perintah. Menjagamu sampai batas waktu yang tidak ditentukan.”
Rhaell melangkah mundur, kakinya hampir terpeleset di atas jalan setapak yang dilapisi kerikil halus. Dayana sigap menangkap lengannya, mencegah Rhaell terjatuh.
Rhaell yang masih dipenuhi rasa penasaran, bertanya lagi. “Memangnya kamu sudah berapa lama kerja dengan Arlo?”
Dayana melepaskan lengan Rhaell dengan lembut, namun tetap menjaga jarak. “Lama sekali,” jawabnya, tatapannya tidak berkedip, mengunci tatapan Rhaell.
Namun, kuncian itu terlepas saat Rhaell menyadari sesuatu, saat Dayana melepaskan lengannya. Ia tak sengaja melihat sekilas tangan kiri Dayana. Di bawah lengan bajunya yang tergulung sedikit, terlihat sebuah bekas luka panjang, memudar namun masih terlihat jelas.
Bekas luka itu seperti sayatan yang dalam, menunjukkan kekerasan yang pernah dialaminya. Rhaell terpaku, tatapannya tertuju pada bekas luka itu. Suasana tenang taman seakan sirna, digantikan oleh ketegangan yang baru. “Itu... bekas luka apa?” tanya Rhaell pelan.
Dayana segera menutup tangannya, menyembunyikan bekas luka itu di balik punggungnya. “Hanya luka biasa,” jawabnya singkat, suaranya sedikit lebih kaku dari biasanya.
Kebohongan itu terasa pahit di lidahnya, namun ia tak bisa membiarkan Rhaell mengetahui lebih banyak.
“Bohong!” bantah Rhaell, suaranya lebih keras dari yang ia sadari. Ia merasakan sesuatu yang tak beres, pekerjaannya pasti berkaitan dengan luka itu.
Sebelum Dayana sempat membalas, sebuah sosok muncul dari kejauhan. Grace, berlari kecil menuju mereka. Napasnya tersengal-sengal, tapi senyum ceria terkembang di wajahnya.
Grace mengabaikan ketegangan, atau mungkin ia sama sekali tak menyadarinya, fokusnya sepenuhnya pada Rhaell. “Pakaian Nona Rhaell sudah siap!” katanya, riang.
Rhaell mengernyitkan dahinya, ia tidak ingat apapun tentang ‘pakaian’. “Pakaian apa, Grace?” Suaranya mengisyaratkan kebingungannya.
Tidak ada jawaban. Grace hanya tersenyum sembari merangkul lengan Rhaell, menyeretnya dengan halus untuk kembali ke mansion.
Rhaell masih mencoba bicara, kebingungan bercampur dengan rasa aneh mulai tumbuh. “Kalian ini mencurigakan sekali,” ucapnya, suaranya hampir tak terdengar di tengah deru angin yang tiba-tiba berhembus kencang.
“Mansion besar itu... mansion itu juga mencurigakan. Dan... rumput itu... rumput itu juga mencurigakan!” Ia menunjuk ke hamparan rumput hijau yang tampak terlalu sempurna, terlalu rapi, hampir seperti karpet yang terbentang luas. “Argh!” Jeritan frustasi Rhaell menggema di udara yang tiba-tiba terasa berat.
...****************...
Pintu mansion terbuka lebar, menyambut Rhaell dan Grace ke dalam sebuah ruangan yang sudah disulap total. Siapapun yang melihatnya pasti akan terkesiap.
Ruang tamu itu seperti terkena mantra sihir, dipenuhi oleh sesuatu yang tak pernah Rhaell bayangkan sebelumnya: puluhan, bahkan mungkin ratusan, pakaian. Gaun-gaun rumahan yang tampak mewah dari desainer terkenal, tergantung rapi di manekin-manekin yang berkilauan di bawah cahaya lampu kristal.
Sutera, beludru, renda, manik-manik, semuanya bergelimang dan memukau. Aroma parfum mahal memenuhi udara.
Grace berdiri di ambang pintu, senyumnya lebar sekali. Di sekeliling mereka, para pelayan butik, dengan seragam berwarna hitam elegan, bergerak dengan tenang, mengatur kembali beberapa gaun yang terlihat sedikit bergeser.
Rhaell terpaku. Ia terkesima oleh pemandangan yang begitu megah dan tak terduga. Ia menoleh ke Grace, mencoba mencari penjelasan, namun hanya menemukan senyum yang semakin susah diartikan. “Ini... apa?” Tanya Rhaell, suaranya hampir tak terdengar di tengah keheningan yang mencekam.
Grace melangkah maju, matanya berbinar-binar. “Ini adalah koleksi pakaian khusus untuk Nona Rhaell,” katanya, suaranya bernada lembut namun penuh keyakinan. “Semua ini Pak Arlo sendiri yang memilih, sesuai dengan selera dan kepribadian Nona Rhaell.”
Senyum kecil tersungging di bibir Rhaell. Ia menunduk sekilas, melihat kaos besar Arlo yang masih dipakainya, tak menyangka Arlo akan bertindak sejauh ini.
Ada sesuatu yang membuatnya merasa hangat, meskipun belum terbiasa dengan hal baru ini. “Oke! Semuanya... terima kasih kalian sudah bekerja keras,” katanya, suaranya terdengar tulus. “Tapi… maaf sekali, aku hanya akan mengambil satu set pakaian saja.”
Ia berjalan mendekati deretan manekin, matanya mengamati setiap detail gaun-gaun yang terpajang. Semuanya indah, tetapi terlalu berlebihan. Ia mencari sesuatu yang sederhana, kasual dan nyaman.
Setelah beberapa saat, mata Rhaell tertuju pada tumpukan baju yang terlipat. Sebuah atasan rajut tanpa lengan berwarna ungu muda dan outer bolero putih berbahan ringan, menarik perhatiannya. Manis dan simpel.
Lalu untuk bawahannya, ia memadukan dengan rok pendek berwarna putih yang memiliki desain asimetris, memberikan kesan modern dan stylish.
“Aku hanya satu hari di sini,” katanya, sambil tersenyum kecil pada Grace dan Dayana. “Jadi aku mau yang ini saja.”
Grace dan Dayana saling bertukar pandang, ekspresi mereka tak terbaca. Grace tampak sedikit sedih. “Yah… sayang sekali,” kata Grace, suaranya pelan namun menusuk. “Pak Arlo akan sangat kecewa.”
“Biarkan dia kecewa, Grace.” jawab Rhaell, “aku tidak ingin memberinya harapan yang akan membuatnya menyesal.”
Dayana, yang dari tadi diam, melangkah maju. Tatapannya pada Rhaell mengandung sesuatu yang sulit diartikan. “Aku antar ke kamarmu,” katanya, suaranya tenang dan tegas.
“Ah, diam kamu.” seru Rhaell, suaranya sedikit marah, namun ada sentuhan humor di dalamnya. Ia menatap Dayana, matanya menyipit. “Jangan bicara padaku sebelum kamu menceritakan luka apa itu.” Ada sebuah tantangan tersirat dalam suaranya, sebuah keinginan untuk mengetahui kebenaran di balik kemisteriusan Dayana.
Dayana menutup rapat bibirnya, tidak membantah. Walaupun Rhaell akan tetap bersikeras ingin tahu tentang lukanya, namun ia juga harus tetap menjaga privasinya.
...****************...
...****************...
Ketukan pintu terdengar nyaring saat Rhaell menguap, melempar ponselnya ke atas kasur dengan malas. Misi membuat Arlo kecewa? Ah, sudahlah. Ternyata lebih melelahkan daripada yang ia bayangkan. Sialnya, malah menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.
Ketukan pintu semakin bermelodi ketika yang mengetuk adalah seseorang dengan darah seni yang mengalir deras dalam dirinya. Rhaell berjalan ke sumber suara berisik itu, membuka dengan gerakan lamban, tanpa semangat.
Di ambang pintu, Marco berdiri dengan senyum menyebalkan yang bahkan Rhaell sendiri sudah terbiasa melihatnya. Sebuah kunci aneh mengkilat, disodorkan Marco tepat di depan muka Rhaell. “Mau bebas?”
Rhaell mengernyit, menatap kunci di tangan Marco dengan curiga. Bentuknya memang aneh, tidak seperti kunci biasa yang pernah ia lihat. Lebih mirip… mainan anak-anak, mungkin? “Kunci apa itu?” tanyanya, suaranya malas namun ada sedikit rasa ingin tahu yang tersirat. “Kenapa aneh bentuknya?”
Marco terkekeh, senyumnya semakin lebar. “Garasi capung besi,” jawabnya singkat, sambil memainkan kunci itu di antara jari-jarinya. Ia menaikkan sebelah alisnya, seolah menantang Rhaell untuk bertanya lebih lanjut. “Mau coba?”
Bersambung…
tu kan mo arah ke ❤❤ gituu 😅🤗