Setelah kematian yang tragis, dia membuka matanya dalam tubuh orang lain, seorang wanita yang namanya dibenci, wajahnya ditakuti, dan nasibnya dituliskan sebagai akhir yang mengerikan. Dia kini adalah antagonis utama dalam kisah yang dia kenal, wanita yang dihancurkan oleh sang protagonis.
Namun, berbeda dari kisah yang seharusnya terjadi, dia menolak menjadi sekadar boneka takdir. Dengan ingatan dari kehidupan lamanya, kecerdasan yang diasah oleh pengalaman, dan keberanian yang lebih tajam dari pedang, dia akan menulis ulang ceritanya sendiri.
Jika dunia menginginkannya sebagai musuh, maka dia akan menjadi musuh yang tidak bisa dihancurkan. Jika mereka ingin melihatnya jatuh, maka dia akan naik lebih tinggi dari yang pernah mereka bayangkan.
Dendam, kekuatan, dan misteri mulai terjalin dalam takdir barunya. Tapi saat kebenaran mulai terungkap, dia menyadari sesuatu yang lebih besar, apakah dia benar-benar musuh, atau justru korban dari permainan yang lebih kejam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25: Jejak Kegelapan yang Tersisa
Udara malam di sekitar mereka masih dipenuhi debu dan bau darah. Seraphina menarik napas panjang, menenangkan pikirannya yang masih dipenuhi dengan pertanyaan.
Xerath melarikan diri.
Itu bukan berita baik. Jika orang seperti dia berhasil kabur dalam kondisi terluka, maka besar kemungkinan dia akan kembali dengan kekuatan yang lebih besar dan rencana yang lebih matang.
Seraphina mengalihkan pandangannya ke Lucian.
"Kita harus mengejarnya," katanya tegas.
Lucian yang masih terduduk di tanah tertawa kecil, menatapnya dengan ekspresi lelah.
"Aku juga ingin, tapi lihat kondisi kita sekarang."
Seraphina menggeram pelan. Tubuhnya masih terasa sakit akibat ledakan simbol hitam yang Xerath buat.
Luka-luka di tubuh mereka belum sembuh, dan jika mereka memaksakan diri mengejar sekarang, mereka hanya akan menjadi umpan yang mudah bagi Xerath.
Lucian menghela napas dan mulai berbicara, "Xerath jelas lebih kuat dari yang kita kira."
Seraphina mengangguk.
"Dan dia tahu sesuatu yang kita tidak tahu."
Bukan hanya tentang sihir gelap yang ia gunakan, tetapi juga tentang alasan kenapa dia ada di sini dan apa yang sebenarnya dia cari.
Seraphina menatap bekas simbol hitam yang tersisa di tanah.
Energi kegelapan itu masih terasa kuat, seolah-olah masih ada sesuatu yang tertinggal di tempat ini.
Lucian berdiri perlahan dan mendekati simbol tersebut.
"Ini... bukan sihir biasa," gumamnya.
Seraphina ikut mendekat.
"Kita harus mencari tahu lebih banyak tentang ini," ujarnya.
Lucian mengangguk. "Tapi bukan di sini. Kita harus kembali ke kuil."
Dengan langkah berat, mereka meninggalkan lokasi pertempuran dan kembali ke Kuil Assassin.
Begitu mereka tiba, para murid lain langsung menatap mereka dengan penuh keterkejutan.
Pakaian mereka robek, luka di tubuh mereka masih berdarah, dan aura mereka terasa lebih gelap dari sebelumnya.
Salah satu murid yang lebih muda mendekat dengan cemas.
"Kalian... Apa yang terjadi?"
Seraphina mengabaikan pertanyaan itu dan langsung berjalan menuju ruang utama.
Lucian, yang masih memiliki sedikit kesabaran, hanya berkata "Kami butuh informasi tentang seseorang. Panggilkan salah satu Tetua Kuil."
Murid itu mengangguk dan segera berlari.
Beberapa saat kemudian, seorang pria tua dengan jubah hitam panjang muncul.
"Apa yang kalian temukan?"
Seraphina menatap tajam ke arah pria itu.
"Xerath," katanya, "dan simbol hitam yang ia gunakan dalam pertarungan."
Pria tua itu mengangkat alis.
"Simbol hitam?"
Seraphina mengangguk dan mulai menjelaskan tentang bagaimana simbol itu meledak dan bagaimana energi gelapnya masih terasa bahkan setelah Xerath menghilang.
Mata pria tua itu menyipit, dan dia berjalan menuju rak buku besar di belakangnya.
Ia menarik sebuah buku tebal berdebu, membukanya, dan mulai membacanya dengan suara rendah.
Setelah beberapa saat, dia menghela napas panjang.
"Kita dalam masalah besar," katanya akhirnya.
Seraphina dan Lucian saling berpandangan.
"Kenapa?" tanya Lucian.
Pria tua itu menatap mereka dengan serius.
"Karena simbol itu bukan hanya sihir hitam biasa. Itu adalah bagian dari ritual pemanggilan kuno."
Seraphina merasa hawa dingin menjalar di punggungnya.
"Ritual pemanggilan?"
"Ya," pria tua itu mengangguk, "dan jika Xerath menggunakannya, itu berarti dia sedang berusaha memanggil sesuatu ke dunia ini."
Seraphina menggenggam tangannya erat.
"Apa yang dia coba panggil?"
Pria tua itu mengerutkan alisnya.
"Aku tidak tahu pasti, tapi jika dia menggunakan simbol itu dan masih bisa bertahan setelah serangan kalian, itu berarti dia memiliki koneksi yang lebih dalam dengan kekuatan gelap dari yang kita duga."
Lucian menarik napas dalam-dalam, "Jadi dia bukan hanya musuh biasa."
Pria tua itu mengangguk.
"Dan jika dia masih hidup, maka ini hanya permulaan."
Seraphina terdiam sejenak, pikirannya berpacu dengan cepat.
"Kita harus menemukannya sebelum dia bisa menyelesaikan ritual itu."
Lucian tertawa kecil, meskipun wajahnya masih penuh luka.
"Kau tidak pernah berubah. Selalu ingin berburu musuh sebelum mereka menjadi lebih kuat."
Seraphina menatapnya dingin.
"Karena jika kita tidak melakukannya, maka tidak akan ada yang bisa menghentikan apa yang akan terjadi."
Pria tua itu menghela napas.
"Aku akan mencari lebih banyak informasi. Sementara itu, kalian harus memulihkan diri dan bersiap-siap. Jika Xerath benar-benar kembali, kalian harus berada dalam kondisi terbaik."
Seraphina dan Lucian saling bertukar pandang.
Mereka tahu bahwa waktu mereka tidak banyak.
Xerath masih di luar sana.
Dan dia tidak akan berhenti sampai rencananya berhasil.
Malam itu, Seraphina berdiri di balkon kuil, menatap langit malam yang penuh bintang.
Pikirannya masih dipenuhi dengan bayangan pertarungan tadi.
Siapa sebenarnya Xerath?
Dan apa yang dia coba panggil?
Suara langkah kaki mendekatinya dari belakang.
Seraphina tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu.
"Kau seharusnya beristirahat," kata Lucian sambil bersandar di pagar balkon.
Seraphina hanya tersenyum tipis. "Aku tidak bisa tidur."
Lucian menatap langit, lalu berkata dengan nada pelan, "Kita sudah melalui banyak hal bersama, tapi kali ini... aku merasa ada sesuatu yang berbeda."
Seraphina mengangguk pelan. "Aku juga merasakannya."
Mereka berdua terdiam, menikmati malam yang sunyi.
Namun dalam hati, mereka tahu—
Badai besar sedang menunggu mereka.
Dan kali ini, mereka harus siap untuk menghadapi kegelapan yang lebih besar dari sebelumnya.
.
.
Malam di Kuil Assassin begitu sunyi, hanya suara dedaunan yang bergesekan diterpa angin. Seraphina masih berdiri di balkon, merenungkan semua yang terjadi.
Xerath melarikan diri.
Simbol hitam yang ia gunakan masih menyimpan misteri.
Dan kini, mereka harus bersiap menghadapi sesuatu yang lebih besar.
Lucian, yang berdiri di sampingnya, akhirnya membuka suara.
"Apa rencanamu sekarang?" tanyanya dengan nada santai, meskipun ia tahu Seraphina tak akan pernah diam begitu saja.
Seraphina menghela napas panjang.
"Kita tidak bisa menunggu sampai dia menyerang duluan. Kita harus mencari jejaknya sebelum terlambat."
Lucian tertawa kecil, lalu menatapnya dengan ekspresi serius.
"Aku tahu itu yang akan kau katakan. Tapi kau sadar, kan? Kali ini lawannya bukan orang biasa. Bahkan kita hampir mati dalam pertarungan tadi."
Seraphina mengangguk. "Justru karena itu. Jika kita tidak bergerak sekarang, kita akan menyesal di kemudian hari."
Lucian menatapnya beberapa detik, lalu menghela napas dan tersenyum miring.
"Baiklah. Kalau begitu, mari kita mulai dari mana?"
Mereka kembali ke ruang utama kuil, di mana pria tua pemimpin kuil masih membolak-balik buku tebalnya.
Begitu melihat mereka masuk, ia menutup bukunya perlahan.
"Aku tahu kalian tidak akan tinggal diam," katanya sambil menatap mereka dengan tajam.
Seraphina mendekat. "Kau bilang simbol itu bagian dari ritual pemanggilan. Apa ada catatan lain tentang hal ini?"
Pria tua itu menghela napas panjang, lalu membuka buku lainnya.
"Simbol yang kau lihat... hanya bagian kecil dari sesuatu yang lebih besar. Jika Xerath berhasil menyempurnakan ritualnya, ia mungkin akan memanggil entitas yang bahkan kita belum pernah temui sebelumnya."
Lucian menyipitkan mata. "Entitas? Kau maksud iblis?"
Pemimpin kuil mengangguk perlahan.
"Lebih dari itu. Sesuatu yang jauh lebih kuat dari sekadar iblis biasa."
Seraphina menatap simbol yang tergambar dalam buku itu, dan sesuatu dalam dirinya terasa tidak nyaman.
"Apakah ada tempat yang cocok untuk melakukan ritual semacam ini?"
Pria tua itu berpikir sejenak, lalu menunjuk sebuah bagian dalam buku yang menggambarkan sebuah reruntuhan di tengah hutan hitam.
"Di sini," katanya. "Reruntuhan Kuno di Selatan. Tempat itu dipercaya sebagai titik persimpangan antara dunia ini dan dunia lain. Jika Xerath mencari tempat untuk menyelesaikan ritualnya, kemungkinan besar itu di sana."
Lucian menghela napas panjang. "Tentu saja, tempatnya tidak dekat."
Seraphina menatap peta itu dengan penuh tekad.
"Semakin cepat kita bergerak, semakin besar kemungkinan kita menghentikannya sebelum ritualnya selesai."
Pemimpin kuil menutup bukunya dan menatap mereka dengan serius.
"Aku tidak bisa melarang kalian pergi, tapi ingatlah—kali ini, kalian mungkin tidak akan kembali dengan selamat."
Seraphina tersenyum tipis. "Aku sudah terbiasa menghadapi kematian."
Lucian mencibir. "Dan aku juga tidak suka diam-diam menunggu nasib."
Pria tua itu akhirnya menghela napas, lalu mengambil sesuatu dari raknya—sebuah gulungan kuno.
"Bawa ini. Jika kalian terpojok dan tidak punya pilihan, gunakan gulungan ini untuk melarikan diri. Tapi ingat, ini hanya bisa digunakan sekali."
Seraphina menerima gulungan itu dan menyimpannya dengan hati-hati.
"Terima kasih."
Keesokan harinya, mereka bersiap untuk perjalanan panjang.
Seraphina mengenakan jubah hitamnya, menyembunyikan wajahnya di balik tudung. Sementara Lucian membawa perlengkapan senjata tambahan.
Saat mereka keluar dari kuil, beberapa murid yang dulunya meremehkan Seraphina menatap mereka dengan rasa penasaran.
"Apa kau benar-benar akan mengejar pria itu?" salah satu murid bertanya.
Seraphina tidak menjawab. Ia hanya melangkah maju tanpa menoleh.
Lucian tersenyum miring dan menepuk bahu murid itu.
"Kau akan mengerti nanti."
Mereka lalu meninggalkan kuil dan memasuki hutan, memulai perjalanan panjang mereka menuju Reruntuhan Kuno.
Hari pertama perjalanan berjalan lancar. Mereka bergerak cepat, hanya berhenti sebentar untuk makan dan mengatur strategi.
Namun, di hari kedua—mereka mulai menyadari sesuatu yang aneh.
Hutan yang mereka lewati terasa semakin sunyi.
Seraphina menghentikan langkahnya, mendengarkan dengan saksama.
Lucian mengikuti gerakannya.
"Ada yang tidak beres," katanya pelan.
Seraphina menyipitkan mata. "Kita diawasi."
Lucian langsung bersiap, tangannya sudah berada di gagang pedangnya.
"Dari mana?"
Seraphina menutup matanya sejenak, mencoba merasakan mana di sekitarnya.
Dan saat ia membuka matanya kembali—
Sebuah panah hitam meluncur ke arah mereka dengan kecepatan tinggi.
Seraphina melompat ke samping, sementara Lucian menebas panah itu dengan pedangnya.
"Sial! Kita dalam jebakan!"
Dari balik pepohonan, beberapa sosok bertopeng muncul. Mereka mengenakan jubah hitam, dan aura mereka terasa gelap dan berbahaya.
Lucian mengutuk pelan. "Pasukan Xerath."
Seraphina menyeringai tipis.
"Bagus. Aku butuh pemanasan."
Salah satu pria bertopeng melangkah maju.
"Seraphina Duskbane."
Seraphina mengangkat alis. "Oh? Kau tahu namaku?"
Pria itu tertawa pelan.
"Tuan Xerath sudah menunggumu. Dia tahu kau akan datang."
Seraphina mengetatkan genggaman pada belatinya.
"Kalau begitu, sebaiknya aku tidak membuatnya menunggu terlalu lama."
Lucian mengeluarkan dua bilah pedangnya, siap bertarung.
"Ayo kita habisi mereka."
Pria bertopeng itu tersenyum samar.
"Kita lihat siapa yang akan bertahan hidup hari ini."
Dalam sekejap—pertarungan pun dimulai.
Al-fatihah buat neng Alika beliau orang baik dan Allah menyayangi orang baik, beliau meninggal di hari Jumat bertepatan setelah malam nisfu syabaan setelah tutup buku amalan.. semoga beliau di terima iman Islamnya di ampuni segala dosanya dan di tempatkan di tempat terindah aamiin ya rabbal alamiin 🤲