"Aku mencintainya, tapi akulah alasan kehancurannya. Bisakah ia tetap mencintaiku setelah tahu akulah penghancurnya?"
Hania, pewaris tunggal keluarga kaya, tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Meskipun seluruh sumber daya dan koneksi dikerahkan untuk mencarinya, Hania tetap tak ditemukan. Tidak ada yang tahu, ia menyamar sebagai perawat sederhana untuk merawat Ziyo, seorang pria buta dan lumpuh yang terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya.
Di tengah kebersamaan, cinta diam-diam tumbuh di hati mereka. Namun, Hania menyimpan rahasia besar yang tak termaafkan, ia adalah alasan Ziyo kehilangan penglihatannya dan kemampuannya untuk berjalan. Saat kebenaran terungkap, apakah cinta mampu mengalahkan rasa benci? Ataukah Ziyo akan membalas dendam pada wanita yang telah menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Mencurigakan Tapi Berpihak
Hania baru saja selesai menyuapi Ziyo, tangannya dengan cekatan membersihkan bibir pria itu. "Saya pamit dulu, Tuan Ziyo," katanya lembut.
Ziyo mengangguk pelan. "Terima kasih, Hania."
Hania tersenyum kecil sebelum berbalik dan melangkah keluar dari kamar rawat. Begitu pintu tertutup di belakangnya, ia bergegas menuju taman yang ada di rumah sakit. Hania duduk di kursi panjang di mana ia bisa mengawasi sekelilingnya. Setelah merasa kondisi aman, ia segera mengeluarkan ponselnya, menekan nomor seseorang yang bisa ia percaya.
"Aku butuh bantuanmu," bisiknya. "Cari tahu kemungkinan pengobatan terbaik untuk kakinya. Dan juga... cari donor kornea."
Di dalam ruangan, beberapa saat setelah Hania pergi, Prasetyo masuk. Ia menatap Ziyo yang duduk diam dengan ekspresi tenang, lalu berjalan mendekat.
Ruangan itu terasa sunyi saat Prasetyo berdiri di samping tempat tidur Ziyo, ekspresinya serius. Ziyo yang masih duduk di kursi roda dengan tenang menunggu pria itu berbicara. Meski matanya tak bisa melihat, ia bisa merasakan ketegangan di udara.
"Ada sesuatu yang harus saya beritahukan kepada Anda, Tuan," kata Prasetyo dengan suara rendah.
Ziyo sedikit mengangkat dagunya. "Katakan."
Prasetyo menarik napas dalam sebelum melanjutkan, "Setelah operasi, seseorang mencoba menukar obat Anda dengan obat lain yang tidak akan membantu perkembangan kesembuhan Anda."
Ruangan itu sunyi sejenak setelah Prasetyo mengungkapkan apa yang terjadi. Ziyo, yang duduk tegap di kursi rodanya, tetap tenang meski ekspresinya sempat berubah sesaat, tetapi jemarinya mengepal di sandaran kursi roda.
"Jadi ada yang ingin menukar obatku dengan sesuatu yang tidak akan membantuku sembuh?" Ziyo bertanya dengan nada datar, meski ada ketajaman tersembunyi di balik suaranya.
"Benar, Tuan," jawab Prasetyo.
"Siapa?" tanyanya, suaranya terdengar datar tetapi penuh ketajaman.
"Saya belum mengetahui siapa dalangnya," Prasetyo mengakui.
Ziyo menghela napas pelan. "Bagaimana kau mengetahuinya?"
Prasetyo menatapnya serius. "Yang menyadari hal ini pertama kali adalah Hania. Dia meyakini bahwa obat yang diberikan apoteker tidak sesuai dengan resep. Saya pun mengecek sendiri dan dia benar. Obat yang hampir Anda konsumsi tidak sesuai dengan resep dokter."
Ziyo menghela napas pelan, seolah mencerna informasi tersebut. "Jadi ada yang ingin memastikan aku tidak sembuh."
Prasetyo mengangguk. "Sepertinya begitu, Tuan. Dan ini bukan ketidaksengajaan. Ini rencana yang disengaja."
Ziyo terdiam sejenak, mencerna informasi itu. "Dan?"
Prasetyo mengembuskan napas berat. "Saya juga menerima pesan dari anonim tentang kejadian ini. Ada pria misterius yang mencoba menukar obat Anda. Saya sudah mencoba menyelidiki, tetapi sampai sekarang belum menemukan titik terang siapa pria itu."
Ziyo mengetukkan jemarinya perlahan di sandaran kursinya. "Menarik," gumamnya.
"Tuan, saya khawatir seseorang berusaha menghentikan Anda untuk pulih sepenuhnya," lanjut Prasetyo.
Ziyo tersenyum tipis, tapi ada sesuatu yang dingin dalam senyumnya. "Tentu saja. Jika aku pulih, aku bisa kembali berkuasa. Dan ada orang-orang yang jelas tidak menginginkannya."
Prasetyo mengangguk. "Saya akan terus menyelidiki ini."
Ziyo menyunggingkan senyum kecil, tapi senyumnya lebih terlihat seperti seseorang yang menemukan kepingan puzzle baru dalam permainan yang lebih besar. "Sepertinya aku mulai punya gambaran siapa yang mungkin menginginkannya."
Prasetyo menatapnya dengan penuh perhatian. "Apa Anda curiga pada seseorang?"
Ziyo tidak segera menjawab. Ia hanya berkata dengan suara rendah dan penuh ketenangan yang berbahaya, "Kita lihat saja siapa yang akan panik lebih dulu."
"Tuan, selain itu, saya ingin membicarakan sesuatu," ujar Prasetyo pelan.
Ziyo menoleh sedikit ke arah suara Prasetyo. "Tentang apa?"
Prasetyo menarik napas sebelum berbicara. "Tentang Hania. Dia lebih cerdas dari yang terlihat. Untuk seseorang yang hanya lulusan SMA, pengetahuannya tentang medis cukup mengesankan."
Ziyo tersenyum tipis. "Aku juga merasakannya sejak hari pertama dia bekerja."
"Tuan juga merasakan kejanggalan?" Prasetyo bertanya, kali ini lebih serius.
"Aku merasakannya," Ziyo mengakui. "Ada sesuatu yang disembunyikannya. Tapi di sisi lain..." Ia terdiam sejenak, seolah mencari kata yang tepat. "Aku juga merasakan ketulusan dan profesionalismenya. Dan seperti yang kau katakan, meski dia mencurigakan, entah mengapa aku merasa dia berada di pihak kita."
Prasetyo menatap majikannya dengan penuh pertimbangan. "Itu yang membuat saya bingung, Tuan. Haruskah kita menyelidikinya lebih jauh?"
Ziyo tersenyum samar. "Tidak sekarang. Kita amati saja dulu. Jika dia memang memiliki niat tersembunyi, cepat atau lambat dia akan menunjukkan dirinya."
Prasetyo mengangguk. "Baik, Tuan."
Keduanya terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Sementara itu, jauh di luar ruangan, Hania masih berbicara di telepon, memastikan bahwa semua yang ia rencanakan untuk Ziyo berjalan tanpa hambatan.
***
Diva duduk di sofa ruang kerjanya dengan kaki bersilang, menatap tajam pria yang berdiri di hadapannya. Orang kepercayaannya itu tampak sedikit gelisah, seolah-olah ia telah gagal membawa kabar yang memuaskan.
"Jadi?" tanya Diva, nada suaranya datar tapi mengandung tekanan.
Pria itu menundukkan kepala sedikit sebelum menjawab, "Saya sudah menyelidiki Hania sesuai perintah Anda, Bu. Tapi... tidak ada yang mencurigakan."
Diva menyipitkan matanya. "Maksudmu?"
"Kehidupannya cukup sederhana," lanjut pria itu. "Dia berasal dari desa kecil, bekerja serabutan sebelum akhirnya menjadi perawat untuk Tuan Ziyo. Yang menarik, seorang dokter --di kampung Pak Sarwo, security di rumah Anda-- dokter itu mengatakan bahwa Hania pernah belajar medis darinya cukup lama. Dia juga sering membaca buku-buku medis dan memiliki pengetahuan cukup luas tentang obat-obatan."
Diva mengangkat alisnya, ekspresi di wajahnya berubah. Bibirnya melengkung dalam senyum samar, tapi matanya tetap tajam.
"Seorang gadis kampung yang belajar sendiri dan bisa menangkap penyimpangan dalam obat-obatan yang bahkan tidak disadari oleh dokter rumah sakit?" gumamnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Pria itu menegakkan bahunya. "Ya, Bu. Dia memang cerdas. Tapi selain itu, tidak ada yang aneh tentang dirinya."
Diva mendesah pelan lalu tersenyum. "Gadis yang cerdas… dan juga sangat loyal." Ia menyandarkan punggungnya ke sofa, jemarinya mengetuk sandaran lengan kursi dengan ritme pelan. "Menarik."
Ia lalu menatap pria di hadapannya, matanya berkilat penuh perhitungan. "Terus awasi dia. Aku ingin tahu sejauh mana kecerdasan dan keloyalannya bisa membawa dia... dan apakah dia akan tetap menjadi aset atau malah menjadi duri dalam daging."
Hania sudah mengantisipasi kemungkinan dirinya diselidiki sejak pertama kali mendekati Ziyo. Ia tahu bahwa orang-orang di sekitar Ziyo, tidak akan mudah percaya padanya. Oleh karena itu, sebelum menyusup sebagai perawat, ia telah menyiapkan latar belakang yang bisa diverifikasi.
Setelah mencari tahu tentang para staf yang bekerja di rumah Diva, ia menemukan bahwa Pak Sarwo, salah satu security lama di rumah itu, berasal dari sebuah desa kecil yang memiliki satu klinik sederhana. Kebetulan, dokter di klinik tersebut adalah kenalan lama Hania—seseorang yang pernah membantunya memahami dasar-dasar medis.
Dengan sedikit rekayasa, ia membangun narasi bahwa dirinya pernah belajar medis secara informal di klinik desa itu dan memiliki minat besar dalam bidang kesehatan. Ia memastikan bahwa jika ada orang yang menyelidikinya, mereka akan mendengar kesaksian yang kredibel dari dokter tersebut.
Dengan cara ini, ia menutup celah kecurigaan dan membuat orang yang menyelidikinya percaya bahwa dirinya hanyalah gadis sederhana dengan sedikit pengalaman medis, bukan seseorang dengan agenda tersembunyi.
***
Di ruangan yang sunyi, hanya suara detak jam yang terdengar samar. Ziyo duduk di kursi roda, kepalanya sedikit menunduk. Meskipun ekspresinya tetap tenang seperti biasa, Prasetyo bisa melihat jemarinya yang terkulai di atas sandaran kursi menggenggam sedikit lebih erat.
Hania masuk ke dalam kamar, diikuti oleh Prasetyo yang menghela napas sebelum berbicara. “Tuan Ziyo,” panggilnya dengan suara dalam namun hati-hati. “Saya baru saja mendapat kabar dari dokter spesialis yang menangani kondisi Anda.”
Ziyo mengangkat kepalanya sedikit. “Apa itu kabar buruk atau baik?” tanyanya, suaranya datar, tanpa emosi.
...🍁💦🍁...
.
To be continued
Hania pergi ziyo ada yg hilang walaupun tidak bs melihat wajah hania ziyo bs merasakan ketulusan hania walaupun ada yg disembunyikan hania....
Dalang utama adalah diva ingin mencelakai ziyo dan pura2 baik didepan ziyo bermuka dua diva ingin menguasai perusahaan.....
Dasar ibu diva hanya mementingkan diri dan tidak mementingkan kebahagiaan Zian..
Diva tidak akan tinggal diam pasti akan mencelakai ziyo lagi....
bagus hania bantu ziyo sembuh dan pulih lagi musuh msh mengincar ziyo....