🥈JUARA 2 YAAW S2 2024 🏆
Perceraian, selalu meninggalkan goresan luka, itulah yang Hilda rasakan ketika Aldy memilih mengakhiri bahtera mereka, dengan alasan tak pernah ada cinta di hatinya, dan demi sang wanita dari masa lalunya yang kini berstatus janda.
Kini, setelah 7 tahun berpisah, Aldy kembali di pertemukan dengan mantan istrinya, dalam sebuah tragedi kecelakaan.
Lantas, apakah hati Aldy akan goyah ketika kini Hilda sudah berbahagia dengan keluarga baru nya?
Dan, apakah Aldy akan merelakan begitu saja, darah dagingnya memanggil pria lain dengan sebutan "Ayah"?
Atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#8
#8
Hilda masih sibuk dengan catatan di tangannya ketika sebuah suara melantunkan salam kebakkan.
“Assalamualaikum Ibuku…”
3 pasang mata yang ada di tempat itu, sontak menoleh ke sumber suara, wajah tenang serta rupawan, menatap penuh kerinduan pada Bu Ratih. Tubuhnya lelah, usai menempuh perjalanan jauh, namun wajahnya tersenyum bahagia manakala berada di hadapan sang Ibunda.
Pria itu meninggalkan barang-barangnya begitu saja, kemudian berjalan cepat menghampiri Bu Ratih.
“Aku pulang Bu …” BIsik pria itu ketikan Bu Ratih memeluknya erat, Bu Ratih tak kuasa menahan rasa haru nya, setitik air mata mengalir melalui bola mata teduhnya, akhirnya ia bisa memeluk kembali sang buah hati yang kembali pulang setelah beberapa tahun merantau, ke negeri seberang.
“Anak nakal, mau pulang gak bilang-bilang.” Bu Ratih menepuk punggung Irfan setelah puas memeluk serta menciumi wajah Irfan.
“Kan kejutan, kapan lagi bisa ngagetin Ibuku …” Seringai Irfan membalas celetukan Bu Ratih.
“Kalo Ibu jantungan gimana?”
“Tapi bahagia kan?”
“Bahagia … ibu bahagia, kamu beneran gak balik merantau lagi kan? Ibu sudah semakin tua ini.”
Mendengar pertanyaan Bu Ratih, Irfan menggeleng yakin, sudah cukup ia meninggalkan Ibunya selama bertahun-tahun, kini Ibunya semakin menua, saatnya ia sebagai pemimpin keluarga menggantikan sang Ayah yang telah meninggal 2 tahun silam.
5 Tahun lamanya Irfan merantau, mengamalkan apa yang pernah ia pelajari di bangku Kuliah, dulu ia yakin dengan kepergiannya, karena masih ada sang Ayah yang mendampingi Bu Ratih. Namun tak ada yang bisa menghalau takdir Allah, Kontrak kerja baru berjalan 3 tahun ketika Ayah nya meninggal, jadi ia tak bisa segera mengundurkan diri walau ingin, jadilah Irfan menunggu hingga kontrak kerja berakhir, dan ia bisa kembali seutuhnya ke tanah air.
“Aku terlalu bersemangat untuk kembali makan masakan Ibuku, jadi ketika mereka menawarkan perpanjangan kontrak, aku menolak mentah mentah. Katakan padaku Bu, aku sudah melakukan hal yang benar kan?” tanya Irfan manja.
“Oh Iya … kenalkan, Ini Hilda … wanita yang pernah Ibu ceritakan padamu,” Bu Ratih segera mengenalkan Irfan pada Hilda.
“Jadi ini putra Ibu?” tanya Hilda mengulurkan tangannya, namun ia cukup terkejut ketika Irfan hanya menangkupkan kedua tangan di depan dadanya.
Hilda tersenyum kikuk, malu rasanya, Hilda tak menyangka, selain seorang yang menyayangi Ibunya, Irfan juga menjaga dirinya dari hal hal yang dilarang agama, termasuk diantaranya tidak bersentuhan dengan lawan jenis.
“Hilda …” walau kikuk, tapi Hilda berusaha tetap tersenyum, kemudian mundur beberapa langkah demi menghormati Irfan.
“Irfan … “ Jawab pria itu santun, wajahnya yang berhias cambang tipis itu, tampak tersenyum lembut.
“Hilda … kamu punya kenalan seorang gadis tidak? Irfan ini gak mau menikah sampai sekarang, padahal usianya sudah lebih dari 32 tahun.” Tanya Bu Ratih, tanpa sungkan.
“Eh … tidak Bu … teman-teman saya di Jakarta semua, lagi pula semua sudah berkeluarga.” Jawab Hilda, membuat seseorang yang sejak tadi di sekitar Bu Ratih dan Hilda ikut tersenyum.
“Ibu mulai lagi kan? Maaf Hilda … begitulah Ibuku, dia terlalu takut kalau aku tak segera menemukan seseorang yang bersedia menikah dengan ku.”
“Lho Ibu bener toh, Ibu ini sudah tua nak, pengen menimang cucu secepatnya.”
“Aku gak dengar … aku gak dengar …” Jawab Irfan sembari melangkah memasuki rumah Bu Ratih, ia bahkan sengaja menutupi kedua telinganya dengan telapak tangan. Ketika berpapasan dengan Afifah, Irfan hanya mengangguk perlahan, tanpa berniat menyapa atau bicara pada gadis itu.
“Permisi, Den Irfan …!!” Seru Lek Han, sopir yang biasa mengantar Bu Ratih. “Barang-barangnya langsung dibawa ke kamar den Irfan?”
Irfan berbalik, “Di Mes pegawai, masih ada kamar kosong Lek?”
“Ada, Den … tapi ala kadarnya.”
“Tak apa, sementara itu cukup.”
“Lho … kenapa tinggal di Mes, Ibu sama siapa nanti?”
“Ada Hilda Bu, aku dan dia bukan mahrom.”
“Kalo gitu, aku saja yang pindah ke Mes pegawai,” Hilda menengahi.
“Tidak boleh, kamu lagi hamil, kalo tengah malam mulas mau melahirkan, siapa yang bisa menolong?!!” cegah Bu Ratih, karena khawatir dengan kehamilan HIlda yang semakin mendekati masa persalinan.
Irfan tersenyum lembut, “Tuuhh Ibu sudah dapat jawabannya, aku laki-laki Bu, mudah menjaga diriku, tapi kalau Hilda?”
Santun tutur katanya, serta langsung peka dengan keadaan di sekitar, sekilas itulah yang Hilda pahami mengenai putra Bu Ratih.
.
.
Usai makan siang, Ibu dan Anak itu menikmati secangkir teh melati hangat di balkon atas, semilir angin serta hijau pemandangan dari perkebunan, membuat suasana semakin sejuk.
Irfan masih terbayang lezatnya masakan yang baru saja ia nikmati.
“Gimana? Enak bukan masakan Hilda?”
Irfan mengangguk dengan senyum tersungging di bibirnya, “yah … Ibu benar, pantas saja usaha Catering Ibu segera menjadi buah bibir.”
“Ibu juga terkejut ketika awal-awal mencicipi masakan Hilda, bahkan Pakde mu langsung menyarankan Ibu untuk membuka Catering, terlalu sayang untuk melewatkan potensi yang Hilda miliki.”
“Tapi, Bu… aku masih heran, apa gerangan alasan Hilda bercerai dari suaminya.” tanya Irfan penasaran, kesan pertama ketika berhadapan dengan Hilda beberapa saat yang lalu adalah kecantikan wanita itu, ditambah hormon kehamilan, membuat wajah Hilda semakin cerah bersinar, ramah serta banyak senyuman juga menjadi nilai plusnya.
Tapi tentu saja, Irfan hanya menyimpan sanjungan itu dalam hati nya, tak berani terang terangan mengungkapkan pujian di depan sang Ibu. Selain malu, secara syariat, Hilda masih dalam masa iddah, ada banyak aturan yang harus Hilda jaga, hingga masa iddah nya berakhir.
“Hilda tak banyak bercerita, entah karena malu atau karena apa, tapi sepertinya, karena terlalu sakit hati dengan mantan suaminya. Bahkan mantan suaminya tak tahu jika saat ini Hilda sedang mengandung buah cinta mereka.” Tutur Bu Ratih dengan pandangan menerawang.
“Alasanya apa? Bukankah bayi nya juga berhak tahu perihal keberadaan ayahnya?”
“Hari di mana Hilda mengetahui kehamilannya, Hilda pergi mendatangi rumah yang pernah mereka tempati bersama, tapi di sana pula Hilda melihat mantan suaminya sedang mengucap janji, menghalalkan mantan kekasihnya.”
Irfan menelan ludahnya dengan susah payah, ternyata di dunia ini masih ada pria seperti itu, sungguh tak bersyukur dengan apa yang ada dalam genggamannya, namun merisaukan apa yang belum ia punyai.
“Ibu memang bukan siapa-siapanya Hilda, tapi setiap ibu bangun di sepertiga malam, tak lupa ibu mendoakan Hilda dan anaknya, agar selalu dalam perlindungan Allah. Dan semoga Hilda kembali menemukan pria baik sebagai pengganti suami yang telah berkhianat padanya.”
“Iya, Bu… Ibu sudah melakukan hal yang benar, karena kita tak akan pernah tahu, dari mulut siapakan do'a di ijabah. Semoga Allah mendengarkan ketulusan do'a Ibu.”
.
.
Widya meringis memegangi perutnya yang sedikit nyeri karena terlalu lama duduk, kini kandungannya sudah berusia 7 bulan, namun masih bersikeras ingin membereskan sendiri printilan barang-barang Aldy, padahal ada ART yang siap melakukan tugas tersebut.
Dua bulan yang lalu, akhirnya Widya mendapatkan apa yang ia inginkan, yakni rumah baru, bukan rumah bekas Hilda tinggal.
Dan yang lebih membuatnya bahagia, rumahnya saat ini 4 kali lebih besar dari rumah lama yang mereka tempati sebelumnya, tentunya lengkap dengan 2 orang ART.
Karena Widya yang lebih suka santai di rumah, tak mau pusing dengan urusan dapur dan bersih-bersih rumah.
Jadi untuk antisipasi, Aldy pun mengabulkan keinginan Widya yang ingin memiliki ART, toh sebentar lagi anak mereka juga akan segera lahir.
Setelah sedikit melakukan peregangan, kini rasa nyeri tersebut pun hilang dengan sendirinya, widya bergegas meraih sebuah kotak berisi beberapa dokumen pribadi, Aldy sudah menyiapkan brankas khusus untuk menyimpan dokumen-dokumen penting tersebut.
Widya mulai mengklasifikasikan beberapa dokumen yang saling berkaitan, agar suatu saat jika dibutuhkan, mereka akan mudah menemukannya.
Selang 30 menit, akhirnya tangan Widya sampai di dasar kotak, ia mengernyit heran ketika melihat buku tabungan di lapisan paling bawah.
Buku tipis bersampul biru tersebut, teronggok menyedihkan di sana, Widya membuka dan melihat halaman terakhir print out yang tercetak di buku tersebut.
Mulutnya menganga lebar, bahkan tangannya sedikit gemetar ketika mengetahui nominal yang tercetak di sana, hampir mendekati 1 Milyar rupiah, dan ajaibnya Widya tak pernah tahu uang apakah itu. Bahkan Aldy masih rutin menyetorkan uang tersebut hingga awal bulan kemarin.
“Jangan-jangan, ini uang yang Mas Aldy berikan untuk wanita itu, tidak bisa dibiarkan.” Geram Widya, susah payah menyingkirkan Hilda dari hidup Aldy, tapi ternyata Aldy sendiri masih memikirkan nasib mantan istrinya. “Pantas saja, Mas Aldy menyembunyikannya hingga ke lapisan paling dasar.” Sebaris senyuman licik tergambar di bibir Widya.
Dan tanpa membuang waktu, Widya menyambar tas dan ponselnya, ia sendiri yang akan pergi ke Bank dan memblokir ATM yang kini berada di tangan Hilda.
Dua jam kemudian, senyum lebar menghiasi bibir Widya, akhirnya dengan sedikit muslihat dan tentunya uang pelicin, ia memblokir kartu ATM atas nama Aldy, yang kemungkinan besar ada di tangan mantan istrinya.
“Heh… mantan memang seharusnya dibuang pada tempatnya, enak sekali hidupmu, sudah jadi mantan, masih juga dapat jatah uang bulanan, kini akulah yang menguasai jatah bulanan mu.”
andai..andai.. dan andai sj otakmu skrg