Zharagi Hyugi, Raja ke VIII Dinasti Huang, terjebak di dalam pusara konflik perebutan tahta yang membuat Ratu Hwa gelap mata dan menuntutnya turun dari tahta setelah kelahiran Putera Mahkota.
Dia tak terima dengan kelahiran putera mahkota dari rahim Selir Agung Yi-Ang yang akan mengancam posisinya.
Perebutan tahta semakin pelik, saat para petinggi klan ikut mendukung Ratu Hwa untuk tidak menerima kelahiran Putera Mahkota.
Disaat yang bersamaan, perbatasan kerajaan bergejolak setelah sejumlah orang dinyatakan hilang.
Akankah Zharagi Hyugi, sebagai Raja ke VIII Dinasti Huang ini bisa mempertahankan kekuasaannya? Ataukah dia akan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs Dream Writer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Peringatan Keras
Selesai acara penyambutan, hari yang cerah membawa aroma bunga melati yang semerbak dari taman istana. Namun, suasana hati Ratu Hwa tidak selaras dengan keindahan pagi itu. Di kediamannya, ia duduk dengan anggun di sebuah kursi kayu berukir naga, mengenakan jubah sutra berwarna biru kehijauan yang berhiaskan bordiran emas. Matanya yang tajam memandang ke arah lentera gantung yang masih redup, seolah menggambarkan kedalaman pikirannya.
Setelah malam yang penuh perenungan, Hwa memutuskan bahwa ia tidak boleh hanya diam. Sebagai seorang Ratu, ia tahu bahwa posisinya bukan sekadar perhiasan istana, melainkan penopang utama Dinasti Hyugi. Maka, pagi itu, ia memerintahkan pelayannya untuk mempersiapkan sebuah perjamuan kecil di taman istana—dengan tujuan yang jelas, menarik kembali perhatian Raja Zharagi.
"Persiapkan segala sesuatunya dengan sempurna," ujarnya kepada pelayan kepala. "Pastikan setiap bunga terpilih dengan teliti, hidangan terbaik dihidangkan, dan musik yang dimainkan harus mengingatkan Yang Mulia pada kejayaan nenek moyang kita."
Pelayan itu menunduk dalam-dalam. "Titah Anda akan segera dilaksanakan, Yang Mulia."
Hwa bangkit perlahan dari kursinya, melangkah menuju jendela besar yang memperlihatkan taman yang sedang dihias. Ia memandangnya dengan mata penuh tekad. “Zharagi mungkin telah melupakan tugasnya untuk menjaga harmoni antara Raja dan Ratu. Namun, aku akan mengingatkannya bahwa tanpa kebersamaan kami, Dinasti ini tidak akan berdiri kokoh.”
---
Matahari mulai condong ke barat saat Raja Zharagi melangkah ke taman istana. Jubah kebesarannya yang berwarna hitam dengan motif naga perak berkilau di bawah sinar matahari. Ia mendapati taman itu telah dihias dengan indah; bunga-bunga musim semi bermekaran di sepanjang jalan setapak, sementara aroma teh melati menguar lembut dari sebuah meja marmer yang dipenuhi hidangan.
Ratu Hwa berdiri di tengah taman, menunggunya dengan anggun. Jubah sutranya yang berwarna merah marun membuat auranya tampak lebih kuat, dan mahkota kecil bertabur batu giok menghiasi rambutnya yang disanggul rapi. Ia menunduk hormat saat Zharagi mendekat, lalu melangkah maju dengan gerakan yang terukur.
“Yang Mulia,” ujar Hwa dengan suara lembut namun tegas, “saya telah menyiapkan perjamuan ini untuk kita. Sudah terlalu lama sejak kita berbicara dari hati ke hati.”
Zharagi tersenyum kecil. “Perjamuan ini terlihat indah, Ratu Hwa. Kau selalu memiliki selera yang tinggi.”
Keduanya duduk berhadapan di meja kecil itu. Sambil menuangkan teh untuk Raja, Hwa memulai pembicaraan dengan hati-hati.
“Yang Mulia,” katanya, “saya memahami bahwa peran seorang Raja membawa banyak tekanan, terlebih setelah perang besar yang baru saja usai. Namun, ada satu hal yang ingin saya sampaikan dengan penuh hormat—sebuah kerajaan hanya akan berdiri kokoh jika Raja dan Ratu berjalan seiring.”
Zharagi meletakkan cangkir tehnya. Ia memandang Hwa dengan tatapan yang sulit ditebak. “Katakanlah, apa yang ada di hatimu, Hwa.”
Hwa menarik napas dalam-dalam. “Sebagai Ratu, aku tidak hanya berdiri di sisi Anda sebagai istri, tetapi juga sebagai pendamping dalam pemerintahan. Namun, beberapa waktu terakhir, aku merasa peran itu mulai tergantikan." Suara Hwa terputus.
"Aku, bukan wanita yang akan menuntut perhatian untuk kepuasan pribadi. Aku hanya ingin mengingatkan Anda bahwa keharmonisan antara Raja dan Ratu adalah fondasi dari Dinasti ini.”
Zharagi terdiam sejenak. Kata-kata Hwa membawa beban yang tidak bisa ia abaikan. Ia menyadari bahwa meskipun ia baru saja kembali dari medan perang dan berusaha menyeimbangkan pikirannya, ia mungkin telah mengabaikan Hwa, yang setia menjaga istana selama ketidakhadirannya.
“Ratu Hwa,” ujar Zharagi akhirnya, “aku menghargai kejujuranmu. Kau benar, sebagai Raja, aku harus memastikan bahwa kita berjalan bersama. Kau adalah bagian penting dari Dinasti ini, bukan hanya sebagai Ratu, tetapi juga sebagai pendukung utama dalam masa-masa sulit. Aku mengerti maksudmu."
Hwa tersenyum tipis, meskipun hatinya masih diliputi keraguan. “Yang Mulia, saya hanya ingin memastikan bahwa peran saya tetap berarti untuk Anda dan di hadapan rakyat. Seorang Ratu tidak hanya bertanggung jawab untuk berdiri cantik di istana, tetapi juga untuk menjaga kehormatan kerajaan.”
Zharagi menundukkan kepalanya sedikit, sebuah gestur penghormatan yang jarang ia tunjukkan. “Kau benar, Hwa. Aku berjanji untuk lebih memperhatikan kita, baik sebagai pasangan maupun sebagai pemimpin kerajaan ini. Kau memiliki tempat yang tidak tergantikan oleh siapapun.”
Percakapan itu membawa kelegaan bagi Hwa. Meski ia tahu perjuangannya belum berakhir, setidaknya ia telah mengingatkan Zharagi bahwa di balik kekuatan seorang Raja, ada kekuatan seorang Ratu yang mendampinginya.
Malam mulai menyelimuti langit, menggantikan kehangatan sore dengan dingin yang menusuk. Zharagi berjalan perlahan di koridor istana, ditemani suara langkah sepatunya yang bergema di dinding batu. Pikirannya berat. Pertemuan dengan Ratu Hwa tadi memberi peringatan bahwa ia tidak bisa lagi mengabaikan posisi istrinya—terlebih karena keluarga bangsawan yang mendukungnya adalah fondasi stabilitas istana saat ini.
Namun, di balik janji untuk menjaga harmoni, ada keraguan yang terus menghantui hati Zharagi. Kabar eksekusi Lady Ira, yang tertangkap merencanakan pengkhianatan, telah tersebar. Hukuman mati ini bisa menjadi bumerang bagi pemerintahannya jika tidak ditangani dengan cermat, mengingat Lady Ira memiliki beberapa pengikut yang masih berkeliaran di kalangan istana.
“Ratu Hwa mungkin tampak tenang,” gumam Zharagi pada dirinya sendiri, “tetapi aku tahu bahwa hatinya seperti permukaan danau yang menyembunyikan kedalaman yang tak terduga. Ia mungkin terhubung dengan masalah ini lebih dari yang ia tunjukkan.”
Zharagi melangkah memasuki ruang pertemuan rahasia di sayap barat istana. Di sana, menunggunya adalah Kanselir Zhu, penasihat terpercaya yang telah setia melayani Dinasti Huang sejak zaman pemerintahan ayah Zharagi.
“Yang Mulia,” Zhu menyapa sambil membungkuk hormat. “Saya sudah mempersiapkan laporan mengenai insiden Lady Ira. Hukuman akan dilaksanakan dalam dua hari. Namun, ada desas-desus bahwa beberapa bangsawan dari pihak Ratu Hwa meminta pengampunan untuknya.”
Zharagi mengangkat alis, meskipun ia tidak terlalu terkejut. “Mereka ingin mengampuni seorang pengkhianat? Apa alasannya?”
Armand menghela napas. “Mereka beralasan bahwa kematian Lady Ira dapat memicu perpecahan di kalangan istana, terutama karena keluarga Lady Ira memiliki hubungan dekat dengan keluarga Ratu Hwa.”
Zharagi terdiam sejenak, pikirannya berpacu. Ia tahu bahwa Ratu Hwa tidak mungkin secara terang-terangan mendukung Lady Ira, tetapi kemungkinan adanya koneksi antara kedua wanita itu tidak bisa diabaikan begitu saja. Jika ia salah langkah, itu bisa menjadi celah bagi keluarga Hwa untuk memengaruhi istana lebih dalam.
“Zhu,” ujar Zharagi dengan nada tegas, “kita harus berhati-hati. Aku tidak ingin hukuman Lady Ira menjadi bahan pertikaian, tetapi aku juga tidak akan membiarkan pengkhianatan seperti ini dibiarkan.”
Zhu mengangguk. “Tentu, Yang Mulia. Apa perintah Anda?”
Zharagi menatap jauh ke arah jendela, memandang bulan yang mulai memudar di balik awan. “Atur pertemuan pribadi dengan keluarga bangsawan pendukung Ratu Hwa. Aku ingin mendengar langsung alasan mereka. Sementara itu, perintahkan agar eksekusi Lady Ira tetap berjalan, tetapi kabar pelaksanaannya dirahasiakan sampai menit terakhir.”
Zhu menunduk. “Akan saya laksanakan, Yang Mulia.”
---
Keesokan harinya, Zharagi mengundang beberapa perwakilan keluarga bangsawan ke ruang pertemuan kecil di istana. Di hadapan mereka, ia berdiri dengan karisma seorang pemimpin yang tak tergoyahkan, namun nada bicaranya tetap diplomatis.
“Saya mendengar bahwa ada permintaan dari pihak kalian untuk menunda atau bahkan membatalkan eksekusi Lady Ira,” kata Zharagi tanpa basa-basi.
Seorang bangsawan tua dari Klan Yun berdiri dan membungkuk hormat. “Yang Mulia, permintaan ini datang bukan untuk membela tindakan Lady Ira, tetapi untuk mempertimbangkan dampak politiknya. Jika salah satu bangsawan dihukum mati, keluarga besar yang berhubungan dengannya mungkin akan merasa terancam dan berbalik melawan Anda.”
Zharagi menyipitkan mata. “Apakah itu ancaman?”
Bangsawan itu tergagap. “Tidak, Yang Mulia. Kami hanya khawatir akan kestabilan istana. Bagaimanapun, Dinasti ini telah melalui banyak ujian, dan kami ingin menghindari konflik internal.”
Zharagi tertawa kecil, dingin. “Kestabilan istana bukan sesuatu yang bisa dipertahankan dengan melindungi pengkhianat. Lady Ira telah melanggar sumpahnya sebagai bagian dari keluarga kerajaan. Jika hukum tidak dijalankan dengan tegas, bagaimana mungkin rakyat mempercayai kepemimpinan saya?”
Ruang pertemuan sunyi, kecuali suara napas gugup beberapa bangsawan.
“Sampaikan pesan ini kepada keluarga kalian,” lanjut Zharagi. “Hukuman akan berjalan sesuai jadwal. Namun, jika ada yang berusaha menghalangi atau menciptakan kekacauan, aku tidak akan segan-segan menjatuhkan hukuman kepada siapapun, termasuk keluarga besar pendukung Ratu sekalipun.”
Pernyataan itu membuat beberapa wajah memucat. Kharisma Zharagi terpancar kuat, mempertegas bahwa meskipun ia menghormati hubungan politik, ia tidak akan gentar mengambil langkah yang dianggapnya benar.
Ketika pertemuan berakhir, Zharagi kembali ke ruang pribadinya. Ia menghela napas panjang, merasa lelah dengan permainan politik yang tak ada habisnya. Di balik topeng ketegasannya, ia tahu bahwa langkah ini akan membawa konsekuensi, baik terhadap istana maupun hubungannya dengan Ratu Hwa.
“Jika kau benar-benar setia, Hwa,” bisiknya pada dirinya sendiri, “buktikan bahwa kau berdiri di sisiku, bukan di sisinya.”