IG elis.kurniasih.5
Hanin Aqila seorang wanita sederhana yang baru mengenal cinta. Namun siapa sangka kekasih yang ia pacari selama setahun ini adalah pria beristri. Hanin tak pernah tahu itu. Istri dari kekasihnya pun bukan sembarang orang, wanita itu adalah adik dari pria yang bernama Kenan Aditama, pemilik bisnis properti dan eksport terbesar se ASIA.
Cap pelakor dan wanita penggoda melekat di diri Hanin. Hidupnya pun harus berurusan dengan keluarga Aditama yang terkenal angkuh dan sombong.
"Aku akan menikahi wanita penggoda itu, agar dia tak lagi menggoda suami adikku." Ucap Kenan dingin, sambil melihat keluar jendela.
Walau Kenan belum menikah, tapi ia sudah memiliki kekasih yang ia pacari selama lima tahun.
Bagaimanakah hidup Hanin selanjutnya? Akankah Kenan mampu mempertahankan pernikahan sang adik? Atau justru Kenan malah benar-benar menyukai wanita yang di sebut sebagai wanita penggoda itu?
Simak yuk guys
Terima kasih 😘😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elis Kurniasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepribadian ganda
Hanin masih berada di dalam kamar mandi. Ia masih enggan untuk keluar dari tempat ini. ia sudah muak dengan sikap Kenan. Ia tidak ingin melihat wajah pria itu. Sudah berkali-kali, pria itu melecehkan, menghina, dan menjatuhkan harga dirinya. Sudah berkali-kali juga, Hanin harus mengeluarkan air mata karenanya.
Selesai membersihkan diri, Hanin terpaksa memakai kemeja Kenan, karena pakaian yang tersedia di sana, bukanlah pakaian yang biasa Hanin pakai. Lagi pula, ia tak ingin di sebut lagi wanita penggoda, jika memakai pakaian yang kurang bahan seperti itu. Tubuh Hanin kembali duduk di marmer berwarna krem. Ia meringkuk di lantai, sambil memeluk lututnya dan merebahkan kepalanya di atas lutut dengan menopang kedua tangan. Ia sungguh merasa sendirian kali ini. Biasanya, selalu ada kakak atau sahabat yang bisa ia ajak berkeluh kesah.
Sementara di luar sana, Kenan tertidur karena menunggu Hanin yang terlalu lama berada di dalam kamar mandi dan tak kunjung keluar. Tubuhnya pun sudah sangat lelah setelah satu hari beraktifitas tanpa henti.
Tiba-tiba, Kenan mengerjapkan kedua matanya. Tangan Kenan meraba ke samping. Ia mengira Hanin sudah lama tertidur di sampingnya. Namun, Kenan tak menemukan tubuh Hanin. Kedua matanya semakin terbuka lebar. Ia bangun dan mengedarkan pandangan. Saat ini tepat pukul dua malam. Kenan memang sering terbangun di jam seperti ini, karena tenggorokannya terasa kering.
“Hanin.” Untuk pertama kalinya, Kenan memanggil nama sang istri tanpa sebutan wanita penggoda.
Langkah kaki Kenan tertuju pada sebuah kamar mandi. Ia membuka pintu yang tak menggunakan kunci itu. terlihat di sana seorang wanita yang tertidur dalam keadaan duduk sambil memeluk tubuhnya. Ia pun merasa iba.
Kenan menghampiri Hanin dan berjongkok persis di depan wanita itu.
“Han ...” Panggil Kenan lembut, sembari menggoyangkan tangan yang menjadi sanggahan Hanin untuk merebahkan kepalanya.
“Han ....” Kenan menyentuh kepala Hanin dan ternyata kening itu terasa panas.
“Han ... Hei.. Bangun!” Kenan menangkup kepala Hanin dan menepuknya.
Namun, Hanin tetap tak sadarkan diri. Kenan panik dan dengan cepat ia menggendong tubuh sang istri keluar dari kamar mandi. Ia merebahkan tubuh Hanin di atas tempat tidur.
“Si*l! Aku memang sudah keterlaluan terhadapnya.” Kenan meremas rambutnya. Lalu, kakinya langsung menuju lemari es kecil yang tersedia di sana. Ia mengeluarkan air dingin dan sapu tangan untuk mengompres kepala Hanin, sama seperti yang sering ia lakukan terhadap Kiara, ketika sang adik sedang sakit.
“Aku bukan wanita penggoda.” Ngigau Hanin, saat Kenan mengompres keningnya.
Kenan terdiam dan masih terus melakukan pertolongan pertama pada Hanin. Ia ingat betul, Hanin tak menyentuh makanannya sama sekali sewaktu ia tinggalkan siang tadi, karena hingga kini makanan itu masih tergeletak di sana.
“Aku bukan wanita penggoda.” Ngigau Hanin lagi dengan mata yang masih terpejam.
“Kamu wanita penggoda, karena telah berhasil menggodaku. Itu salahmu,” jawab Kenan, yang duduk persis di samping Hanin sambil memegangi kening dan pipinya yang panas.
“Oh, tubuhmu semakin panas,” ucap Kenan lagi.
Ia pun bangkit dari duduknya dan meraih ponselnya. Ia menekan nomor Vicky.
Tut.. Tut.. Tut..
Panggilan teleponnya belum juga di angkat oleh sang asisten, karena memang Kenan menelpon di waktu orang tengah memejamkan mata.
“Hmm ...”
“Vick, lu dimana?” tanya Kenan to the poin.
“Ada apa sih, Ken. Hmm ... sekarang tuh jam satu malem.”
“Lu udah sampe Jakarta?”
“Iya. Gue baru sampe jam delapan tadi. Gue capek banget, Ken. Besok pagi juga mau ketemu Mr. Anderson,” jawab Vicky dengan suara berat, karena nyawanya masih belum terkumpul sempurna.
“Besok, gue ngga bisa nemenin lu ketemu dengan Mr. Anderson. Lu handle dulu, karena gue belum tentu pulang besok.”
“Apa?” Vicky langsung membuka matanya sempurna. “Kenapa?”
“Hanin sakit, badannya panas. Gue mau ngabarin lu, sekalian minta nomor telepon dokter yang ada di sini. cepet.”
"Ah, lu emang nyusahin. Emang di apain tuh istri. Lu gempur sampe pingsan?” tanya Vicky tertawa. “Dasar.. belum pernah ketemu yang legit, sampe lupa anak orang udah kecapean.”
“Udah cepet, nyemenk aja. Mana nomor telepon dokter di sini?” tanya Kenan tak menjawab ledekan sahabatnya.
“Iya, bentar. Gue cari dulu lah.”
“Ya udah cepetan, gak pake lama,”
“Ga pake k*nd*m juga. supaya bini lu cepet hamil,” sahut Vicky tertawa.
“Dasar otak sel*ngk*ng*n.”
Kenan langsung mematikan sambungan teleponnya.
Ia pun mennunggu notifikasi masuk dari Vicky. Benar saja, satu menit kemudian, Vicky mengirim pesan nomor dokter yang ia kenal di sini. Tak lama, Kenan pun menelepon dokter itu.
Kenan kembali duduk di samping Hanin yang tengah berbaring di atas tempat tidur. Ia pun membuka kemeja yang Hanin kenakan dan hanya menampilkan pakaian dalamnya saja. Kenan juga menanggalkan pakaiannya hingga hanya boxernya yang tersisa. Ia memberikan sentuhan skin to skin, sambil menunggu dokter itu datang.
Kenan mengusap lembut kepala Hanin. Entah mengapa hatinya merasa bersalah.
“Maaf,” ucap Kenan berbisik di telinga Hanin yang tak mendengar perkataan itu.
“Jangan mendekat!” Hanin masih berkata seperti itu, perkataan ini sudah keluar dari mulut Hanin beberapa kali.
Kenan pun tersenyum. “Tapi kita sudah sangat dekat.” Kenan menatap wajah Hanin yang lembut dan mata yang terpejam damai.
“Hmm ...” Gumam Hanin sambil menggigil.
“Aku akan menghangatkanmu.” Kenan mengeratkan pelukannya hingga beberapa menit.
Kemudian, seseorang mengetuk pintu kamar itu. Kenan langsung memakaikan Hanin pakaian yang sebelumnya dipakai dan begitu juga dengan dirinya. Ia turun dari tempat tidur, lalu berjalan menghampiri pintu. Ia membuka pintu itu.
“Akhirnya, dokter datang juga,” ucap Kenan.
“Sorry, Sir.” Pria paruh baya yang menggunakan jas putih itu memohon maaf, karena ia sampai cukup lama ke tempat ini.
“It’s ok.” Kenan tersenyum sembari membalas jabatan tangan dokter itu.
Kenan langsung membawa dokter itu untuk memeriksa istrinya.
“Bagaimana, Dok?” tanya Kenan. Ia sungguh khawatir melihat keadaan Hanin.
“Tak pa, ini hanya demam biasa. Seperti kelelahan and kurang energi.”
“Ya, dia memang tidak mau makan sejak siang tadi, Dok,” sahut Kenan.
“Oke. Ini saya buatkan resep. So, jaga istrimu baik-baik.” Pria paruh baya itu memberi selembar kertas putih yang sudah dituliskan dengan tulisan tangannya.
Kenan mengangguk, lalu mengantarkan dokter itu keluar kamar.
“Thank you.” Kenan mengulurkan tangannya untuk bersalaman dan pria paruh baya itu langsung menyambutnya.
“You’re welcome.”
Kemudian, Kenan meminta petugas Hotel untuk membelikan obat sesuai yang tercatat pada lembar putih itu. Kenan terus mengompres kening Hanin dengan air es, sambil menunggu orang yang ia suruh, datang membawakan obat untuk sang istri.
Ternyata pihak hotel membawakan obat serta seorang petugas apoteker yang mengerti medis untuk menyuntikkan tangan Hanin, karena dokter itu meresepkan dua kantung infus dan satu obat penurun panas cair yang sudah di suntikkan ke dalam cairan infus itu.
Kenan adalah tamu istimewa di hotel bintang lima ini. oleh karena itu, petugas hotel pun memberikan pelayanan yang maksimal terhadapnya.
“Terima kasih," ucap Kenan, saat Hanin selesai mendapat perawatan.
Ia pun bisa memejamkan mata di samping tubuh sang istri, sambil memeluknya. Walau sesekali ia tetap terbangun untuk mengecek suhu tubuh Hanin agar tidak sepanas tadi.
****
Di pagi hari, Kenan bangun terlebih dahulu. Tangannya langsung terangkat untuk menyentuh dahi Hanin.
"Syukurlah." Kenan lega karena suhu tubuh Hanin kian normal.
“Pesawat.” Hanin terbangun tiba-tiba dan langsung terduduk. Ia hendak menggerakkan tangannya yang sedang di infus.
“Jangan!” Sontak Kenan menahan tangan Hanin yang masih tertancap jarum.
“Aku kenapa?" tanya Hanin bingung melihat tangannya.
“Kamu tertidur di kamar mandi dan demam tinggi semalam. Menyusahkan!” Kenan memberi jarak pada tubuh Hanin, padahal semalam ia memeluknya dengan erat.
“Kenapa di bantuin, biar saja aku mati kedinginan di dalam kamar mandi. Supaya kamu puas membalaskan dendammu.”
“Siapa yang balas dendam?” tanya Kenan.
Kedua manusia berlawan jenis yang sudah sah menjadi suami istri ini pun berseteru dan saling berhadapan dalam keadaan duduk di atas tempat tidur.
“Kamu lah. Puas buat aku seperti ini? Hah. Padahal sama sekali tidak ada niatan aku untuk menyakiti adik kesayanganmu.” Hanin menunduk dan hendak menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Namun, dengan cepat Kenan menahan tangan Hanin yang sedang di infus agar tidak bergerak ke atas.
“Jangan banyak gerak! Nanti darahmu ikut mengalir di dalam sana.” Kenan menunjuk selang yang kini sudah tak lagi berwarna putih bening karena tangan yang terinfus itu selalu bergerak.
“Apa pedulimu?” tanya Hanin menantang.
Tok.. Tok.. Tok
“Ck.” Kenan memanglingkan wajahnya. Ia pun turun dari tempat tidur dan membuka pintu kamar yang terketuk.
Room service membawakan Kenan sarapan dan bubur untuk Hanin, sesuai pesanan Kenan.
“Pesawatku,” rengek Hanin, karena ia melewatkan penerbangan yang seharusnya ia lakukan pukul empat tiga puluh pagi tadi. Sedangkan saat ini sudah pukul tujuh pagi.
Kenan menghampiri Hanin dan meletakkan bubur itu di samping nakas. Sebenarnya ia pun tahu, bahwa Hanin memesan tiket ke Jakarta di jam itu.
“Tiket pesawat itu sudah aku batalkan,” kata Kenan santai.
“Apa?’
“Aku sudah memblok akunmu di situs pemesanan tiket online itu.” Kenan duduk di samping Hanin sambil memegang bubur yang akan ia suapkan untuk sang istri. "Ayo makan dulu, dari kemarin kamu belum makan.”
Hanin cemberut. “Aku mau kabur.”
“Aku tahu.”
“Kenan, sudah cukup! Aku sudah menerima deritaku selama ini, jadi aku mohon lepaskan aku!”
“Kita baru saja menikah. Bagaimana mungkin aku melepaskanmu?”
“Hmm ... Apa maumu?” tanya Hanin pasrah.
“Memastikan, kamu tetap dalam pengawasanku dan tidak kembali pada suami adikku.”
“Kamu bisa percaya kata-kataku, Kenken. Aku juga ngga sudi balik lagi sama Mas Gun. Aku cukup tahu diri.”
“Apa katamu? Kamu memanggilku apa?” Kenan memajukan wajahnya.
“Kenan.”
“Bukan.”
“Kenan.”
“Bukan.” Kenan meletakkan mangkok bubur itu dan menatap tajam ke arah Hanin.
“Ken ... Ken,” jawab Hanin terbata-bata dengan wajah ketakutan.
Lalu, Kenan mengambil kembali mangkuk bubur itu. “Lucu juga. Ayo makan!”
Hanin menggeleng.
“Ayo makan! atau kamu ingin aku memakanmu?”
Hanin kembali menggelengkan kepalanya dengan cepat dan membuka mulutnya. “Aaa..”
“Nah, seperti itu lebih manis.” Kenan tersenyum. Sungguh istrinya sangat menggemaskan. Hanya dengan melihat wajah Hanin yang cemberut, mampu kembali membuat miliknya menegang.
“Ah, si*l,” umpat Kenan dalam hati, dengan tetap menyuapi bubur itu ke mulut Hanin.
Hanin pun menatap wajah Kenan. Ia seperti melihat kepribadian ganda dalam diri pria yang sedang menyuapinya ini. Hanin heran dengan sikap Kenan yang lembut dan perhatian, padahal sebelumnya pria ini selalu membuatnya menangis.
"Aku ngga boleh lengah. Harus tetap berjaga-jaga," gumam Hanin, sambil menganggukkan kepalanya menyetujui apa yag di ucapkan dalam hatinya tadi.
"Kenapa?" tanya Kenan yang melihat kepala Hanin mengangguk.
Hanin langsung menggeleng. "Ngga, ngga apa-apa."
Kenan tahu, sang istri pasti masih merencanakan untuk kabur. Ia pun menaikkan sudut bibirnya.
ternyata dunia novel benar2 sempit, sesempit pikiran Gun Gun 🤭
ingat umur daaaad...!!!!
ternyata mami Rasti sama dgn Hanin kehidupan masa lalu nya..🥺
CEO tp g ada otak nya,,mesti nya kamu tuh cari dlu kebenaran nya Ken sebelum menghukum Hanin..kamu tuh kaya CEO bodoh g bisa berprilaku bijak..benar2 arogan..😠