Di sebuah kota yang tampak tenang, Alvin menjalani hidup dengan rutinitas yang seolah-olah sempurna. Seorang pria berusia awal empat puluhan, ia memiliki pekerjaan yang mapan, rumah yang nyaman. Bersama Sarah, istrinya yang telah menemaninya selama 15 tahun, mereka dikaruniai tiga anak: Namun, di balik dinding rumah mereka yang tampak kokoh, tersimpan rahasia yang menghancurkan. Alvin tahu bahwa Chessa bukan darah dagingnya. Sarah, yang pernah menjadi cinta sejatinya, telah berkhianat. Sebagai gantinya, Alvin pun mengubur kesetiaannya dan mulai mencari pelarian di tempat lain. Namun, hidup punya cara sendiri untuk membalikkan keadaan. Sebuah pertemuan tak terduga dengan Meyra, guru TK anak bungsunya, membawa getaran yang belum pernah Alvin rasakan sejak lama. Di balik senyumnya yang lembut, Meyra menyimpan cerita duka. Suaminya, Baim, adalah pria yang hanya memanfaatkan kebaikan hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aufklarung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Tak terasa, usia Rey kini sudah menginjak 22 tahun, dan beberapa bulan lagi, ia akan menyelesaikan kuliahnya di Singapura. Hari-hari yang dulunya penuh dengan kebingungannya sebagai mahasiswa baru, kini telah berubah menjadi rutinitas yang lebih stabil. Ia sudah beradaptasi dengan kehidupan kampus yang padat, dan bahkan memulai beberapa proyek penelitian yang menantang. Meski begitu, di balik kesibukannya, Rey merasa ada sesuatu yang membuat hatinya merasa cemas dan penuh pertanyaan: masa depan.
Alvin dan keluarganya telah beberapa kali mengunjungi Rey di Singapura. Mereka datang bukan hanya untuk menghabiskan waktu bersama, tetapi juga untuk memastikan bahwa Rey baik-baik saja di negeri orang. Meskipun begitu, Rey tidak bisa menghindari kenyataan bahwa, semakin ia terfokus pada kuliah dan kehidupan kampusnya, semakin jarang ia punya waktu untuk berhubungan dengan keluarganya. Terlebih lagi, sejak Rey memperkenalkan pacarnya, Disti, kepada Alvin dan Meyra, hubungan keluarga mereka terasa semakin berbeda.
Disti, seorang perempuan yang berasal dari Indonesia dan merupakan putri seorang pengusaha, Disti, yang berusia dua tahun lebih muda dari Rey, masih berusia 20 tahun. Meski lebih muda, ia sudah menunjukkan kematangan dalam banyak hal, terutama dalam hal kehidupan sosial dan gaya hidup yang mewah. Gaya hidup Disti yang penuh dengan kemewahan dan hobi berbelanja seolah tak terpisahkan darinya. Rey sering terkesan dengan bagaimana Disti bisa mengatur kehidupannya meski masih muda, namun terkadang hal itu membuatnya merasa sedikit khawatir.
Meskipun begitu, usia Disti yang lebih muda daripada Rey tak serta merta membuatnya lebih kekanak-kanakan. Dia cukup matang dalam pergaulan dan cerdas dalam memilih teman-temannya. Namun, seringkali ia juga menunjukkan bahwa ia tidak terlalu memikirkan konsekuensi dari gaya hidupnya yang boros. Rey sendiri selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk Disti, bahkan terkadang dengan cara yang membuatnya tampak lebih mapan dan dewasa daripada yang seharusnya.
. Gadis itu memiliki gaya hidup hedonis yang jelas terlihat dari cara dia berpakaian dan kebiasaan berbelanjanya yang kerap kali memikat perhatian Rey. Setiap kali mereka berkumpul, Rey tak segan memberikan hadiah-hadiah mahal untuk Disti, mulai dari perhiasan hingga tas desainer. Meskipun Rey merasa bahwa memberi hadiah adalah bentuk kasih sayangnya, Meyra tidak bisa menahan perasaan tidak setuju yang timbul di hatinya.
Suatu sore, setelah makan malam bersama di rumah mereka di Singapura, Meyra duduk di samping Alvin di ruang keluarga. Mereka berdua tengah menikmati secangkir teh hangat setelah hari yang panjang. Wajah Meyra terlihat sedikit murung, dan Alvin yang menyadari hal itu bertanya, “Ada apa, sayang? Kamu kelihatan berpikir keras.”
Meyra menatap Alvin dengan tatapan yang penuh kerisauan. “Aku cuma merasa… ada sesuatu yang tidak beres dengan hubungan Rey dan Disti,” katanya pelan, mencoba menyusun kata-kata. “Aku tahu Rey mencintainya, tapi Disti… dia tidak seperti gadis-gadis yang biasanya Rey kenal. Gaya hidupnya itu, Alvin. Semua yang berbau kemewahan, belanja tanpa batas, dan yang membuatku lebih khawatir, Rey selalu memberinya hadiah mahal. Aku merasa itu bukan cara yang sehat untuk menjalani hubungan.”
Alvin menghela napas, matanya menatap jauh ke depan, seperti sedang berpikir. “Aku tahu kamu khawatir, Meyra. Tapi Rey sudah dewasa, dia tahu apa yang dia lakukan. Disti memang berbeda, itu tidak bisa kita pungkiri, tapi kita harus memberikan kepercayaan padanya.”
Meyra mengangguk pelan. “Aku paham, pa, tapi aku tetap merasa ada yang salah. Aku ingin melihat Rey bahagia, tapi bukan dengan cara yang seperti itu. Aku harap ini bukan hanya sebuah fase dalam hidupnya. Aku takut dia hanya terjebak dalam gaya hidup yang hanya bisa memberi kebahagiaan sementara.”
Di sisi lain, di meja makan, Rey dan Disti sedang berbincang dengan santai. Disti, dengan senyumnya yang selalu menawan, tampak sedang bercerita tentang koleksi tas terbaru yang baru saja dibelinya. “Rey, kamu harus lihat tas baru ini. Ini edisi terbatas lho. Kamu pasti suka,” katanya dengan penuh semangat.
Rey tertawa, lalu menjawab, “Kamu memang tahu cara membuatku terkesan, Disti. Tapi, kamu tahu, aku juga punya hadiah lain untukmu.” Rey mengeluarkan sebuah kotak kecil yang dibungkus rapi. Ketika Disti membukanya, tas desainer lainnya terlihat di dalamnya. “Ini untuk kamu, Disti. Aku harap kamu suka.”
Disti mengangguk dengan senyum lebar. “Aku sangat suka, Rey! Terima kasih banyak,” jawabnya, matanya bersinar kegembiraan. Tapi di sisi lain, Meyra yang berada di ruang tamu mendengar percakapan tersebut hanya bisa menarik napas panjang. Ia berusaha untuk tidak menunjukkan ketidaksukaannya pada Disti di depan Rey, meskipun hatinya terasa berat.
Setelah beberapa saat, Meyra berusaha untuk tetap ramah. Ketika Disti menghampiri dan menyapa, Meyra memberikan senyum yang hangat, meskipun di dalam hatinya ia tidak sepenuhnya setuju. “Hai, Disti. Kamu tampak cantik malam ini,” ucap Meyra dengan nada lembut.
Disti membalas dengan senyum lebar. “Terima kasih, Mom. Kamu juga terlihat cantik seperti biasa.”
Alvin, yang melihat interaksi antara istrinya dan Disti, hanya bisa diam. Ia tahu betul betapa besar kekhawatiran Meyra terhadap hubungan Rey dan Disti, tapi ia juga tahu bahwa kadang-kadang, orang tua harus memberi ruang bagi anak-anak mereka untuk memilih jalan hidupnya sendiri.
Meyra kembali duduk di sofa, sedikit menghela napas. “Aku hanya ingin yang terbaik untuk Rey, papi. Aku ingin dia memilih dengan bijak, bukan hanya karena tampak menyenangkan di awal.”
Alvin menyentuh tangan Meyra dengan lembut, memberi dukungan tanpa kata-kata. “Kita akan lihat, Meyra. Kita percayakan pada Rey. Kita hanya bisa memberi nasihat dan dukungan, tapi keputusan tetap ada di tangannya.”
Meyra mengangguk pelan, meski perasaan khawatirnya tidak sepenuhnya hilang. Ia hanya bisa berdoa agar Rey, anak laki-lakinya yang kini sudah dewasa, bisa membuat keputusan yang tepat untuk masa depannya, termasuk dalam soal pilihan pasangan hidup.
Halo, Pembaca Setia! ✨
Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini. Dukungan kalian sangat berarti dan membantu saya untuk terus berkarya!
Jika kalian menikmati cerita ini, ada beberapa cara untuk mendukung saya:
🌟 Beri Komentar & Like – Komentar kalian memberikan semangat dan inspirasi bagi saya untuk terus menulis!
🌟 Tambahkan ke Perpustakaan – Dengan menambahkannya ke perpustakaan, kalian membantu meningkatkan popularitas cerita ini.
🌟 Bagikan ke Teman – Cerita ini akan semakin berkembang jika lebih banyak orang tahu!
🌟 Berikan Hadiah atau Tip – Jika kalian ingin mendukung lebih jauh, hadiah dari kalian akan membantu saya secara langsung dan mendorong saya untuk lebih produktif.
✨ Dukungan sekecil apapun berarti besar dan bisa membantu cerita ini mencapai lebih banyak pembaca. Mari kita lanjutkan perjalanan cerita ini bersama-sama! ✨
Salam Hangat dari saya😘😘