Menolak dijodohkan, kata yang tepat untuk Azalea dan Jagat. Membuat keduanya memilih mengabdikan diri untuk profesi masing-masing. Tapi siapa sangka keduanya justru dipertemukan dan jatuh cinta satu sama lain di tempat mereka mengabdi.
"Tuhan sudah menakdirkan kisah keduanya bahkan jauh sebelum keduanya membingkai cerita manis di Kongo..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Obrolan bikin baper
Rafi menggerutu, "ck. Tak senang kao bang lihat aku? Baru mau gerak, masa harus dikasih ke bang Dika..." keluhnya kembali memantik riuhan mencibir dari yang lain, persis lagi nontonin voli antar kampung dan tawa Toni begitu kencang seolah puas melihat seniornya itu menderita karena cinta.
"Bukan jodoh. Nyingkir kamu Fi..." usir Dika, kini ia sudah mendahului langkah Rafi bermaksud ikut bergabung di tenda anak-anak, "jodoh mah tak akan kemana, Fi..."
"Jangan dulu bilang jodoh juga bang, kalau doi ngga mau nanti nangis da rah..." cibir Toni tak lepas tertawa kecil, obrolan santai nan ringan namun mampu menjadi hiburan tatkala jauh dari rumah. Mereka-mereka inilah yang sudah bak saudara saat di perantauan.
"Heuh..." omel Rafi ketika Dika sudah menjauh sambil terkekeh.
"Sudah sana." Bang Franky menarik tangan Rafi lalu mendorongnya ke arah dalam, begitupun Jagat yang sudah ia dorong lengannya.
Sekilas Jagat memandang Aza, memastikan jika Aza baik-baik saja disana sebelum akhirnya berjalan bersama Rafi ke arah dalam bangunan.
"Coba kao panggil kapten..." titah Franky pada Toni, yang enggan repot sendiri, untuk apa ada junior iye khann?!
"Siap ndan!" Toni mengangguk menurut.
"*Open your mouth, please*...aaaa..." pinta Aza, lantas bocah yang tengah di hadapannya itu membuka mulutnya lebar-lebar.
Memang benar, meski tak semua namun Aza menemukan beberapa warga yang mulai mengalami gejala-gejala sakit yang menjadi *mayoritas* penyakit disini. Seperti penyakit kolera, tanda-tanda penyakit campak dan kebanyakan warga menderita penyakit ringan yang disebabkan masalah air dan sanitasi serta gizi.
Semua itu ia tuangkan di buku catatannya yang nanti akan ia rangkum dan kembangkan sebagai bahan tugasnya.
"*Stay healthy...take some food in there, go...go..go*.." cicit kecilnya menyemangati sang pasien kecil ke arah prajurit yang sedang membagikan makanan, membuat pasien bocah lelaki itu segera turun dari bangkunya dan berlari kecil bermaksud ikut mengantre.
Ada perasaan tersendiri yang sulit ia jabarkan, entahkah itu bangga, puas, terharu, senang, hati yang bergetar bercampur dengan rasa sedih dan miris melihat ini. Tak ubahnya di beberapa belahan bumi khatulistiwa, meski secara harfiah, negri sudah bisa dikatakan merdeka, namun menurut Aza belum benar-benar merdeka.
Ia beranjak sejenak dari kursinya ketika warga sudah mulai surut dari kursi tunggu, memasukan tangannya ke saku rompi seolah-olah itu bisa menarik otot yang lelah dan berjalan ke arah Laras dan Nisa.
"Cieee calon dokter! Sukses dok?!" goda keduanya. Aza menurunkan maskernya dan tertawa, jika tadi ia berada dalam mode serius, kini ia bisa kembali ke stelan pabrik.
"Lapar emmm...ini udah abis kan?" tanya Aza merujuk pada warga.
Laras mengangguk setelah sebelumnya melirik data di dekapannya, "udah kayanya. Tapi coba nanti aku tanya sama si om-om prajurit..." Nisa sengaja menghampiri Franky dan terlihat mereka berbincang santai meski ngga santai-santai amat, karena nyatanya Nisa terlihat segan pada prajurit yang sudah berkeluarga ini.
"Katanya sih ada beberapa warga yang dia kenal tapi ngga datang kesini, mungkin karena sakit di rumah terus susah untuk mencapai camp...jadi gimana?" Nisa sudah kembali membawa informasi.
"Oh, itu paling nanti kita door to door...kaya sales panci. Biar menjangkau orang-orang yang memang udah sakit dan perlu tindakan pengobatan."
"Za!" Dimas berteriak dan mengetuk-ngetuk arlojinya, "istirahat dulu! Bagi jadi 2 tim...mau kamu duluan apa saya?"
"Dokter Dim aja duluan!" Aza berlari menghampiri dan menggantikan posisinya. Melihat dokter Alteja yang masih menangani pasien, Aza jadi sedikit malu..."dok, biar Aza sama dokter Maya aja, dokter istirahat aja bareng dokter Dimas."
"Tanggung, biar Maya saja. May, kamu saja dulu yang istirahat..." justru ia melemparkan waktu miliknya.
"Siap dok." jawab dokter Maya.
"Jaguar come in...siang ini nihil, belum ada tanda pergerakan di titik koordinat yang diinfokan..." Jagat menekan intercomnya, menunggu perintah selanjutnya turun.
"Check...ok Jaguar, diterima. Tim, Tiger ambil alih, pemantauan kita cukupkan sampai disini. Untuk selanjutnya diganti tim lain..." Yuda meminta Jagat dan Rafi untuk beranjak dari tempat mereka dan bertemu di titik kumpul.
"Ada jejak?" tanya Yuda mengernyitkan dahi dan alis demi menghalau teriknya sinar matahari.
Keringat yang terlihat berkilau dan sesekali mengucur diantara kulit gosong adalah hal biasa untuk mereka.
"Jejak ban mobil dengan lebar sekitar kurang lebih 17 inchi bergerak ke arah utara, kapt." lapor Jagat.
"Tidak ada jejak lain?" tanya Yuda lebih lanjut.
"Diperkirakan melintas semalam." Tutupnya.
Yuda mengangguk seraya menatap luas ke segala arah, dengan tangan yang menyampirkan sling senjata laras panjangnya, "sepertinya pergerakan dilakukan dini hari." diangguki Jagat dan Rafi, "apa tidak sebaiknya kita ikuti jejak, ndan?"
Yuda menggeleng, "ngga usah. Tidak cukup orang dan plan...biar nanti saja kita atur strategi dan rencana dulu dengan komandan. Balik..."
"Siap kapt!"
***
Aza menaruh pan tatnya lelah di kantin, acara charity pertama sudah berakhir. Dia harus rela makan siang terlambat karena ketika ia akan mengakhiri sesi pemeriksaannya, beberapa warga yang menyusul datang dengan kondisi di bopong oleh warga lainnya, membantu dokter Alteja yang sepertinya sengaja membebankan tanggung jawab padanya cukup membuat dirinya dilanda gugup dan khawatir salah memberikan tindakan. Sementara dokter Alteja tetap disana mengawasinya praktek.
Aza mengehkeh ingat kejadian tadi.
"Dok, itu..."
"Ya kamu check...saya dampingi..."
"Ini gimana, dok?" tanya nya mendadak blank, pelajaran yang ia dapat selama lebih dari 7 semester bersama praktek lapangan tiba-tiba tumpah dari otaknya manakala dihadapkan pasien yang lemas dan nyengir meringis merasakan sakitnya, meminta secepatnya untuk diobati.
Aza menyendok santap siangnya dengan membayangkan kejadian absurd tadi, refleks tangannya salah membawa suntikan yang membuat pasien itu terlihat syok, padahal niatnya ia hendak meraih thermogun. Padahal dulu, seeaktu sering melakukan charity begini di tanah air tidak begitu.
"Be go banget astagfirullah," ia terkikik kecil.
Jagat baru sampai di camp, ia langsung menyisir area yang sekarang sudah mulai kosong dari pasien menyisakan para penghuni camp yang tengah membereskan sisa-sisa keramaian hari ini.
Jujur saja, ia mencari Aza, tak dipungkiri lagi.
Diantara khusyuknya mencari Aza, tepukan keras mengejutkannya, "Gat, mangan dulu lah!" ajak Yuda hanya diangguki Jagat, "siap ndan."
Dirasa tak menemukan sejauh matanya memandang, untuk bertanya pada para nakes yang sedang beres-beres pun ia merasa malu nan canggung, Jagat memilih menyetujui ajakan Yuda.
Seulas senyumannya terbit, jodoh...ia menemukan Aza yang duduk sendiri sambil melahap makanan dan mengetik sesuatu di laptopnya. Sepertinya sama, Aza pun melewatkan jam makan siang seperti dirinya. Bisa-bisanya jodoh sekamvrett ini, ia terkekeh geli.
"Dedikasimu cukup tinggi..." Jagat menaruh nampan makanannya di depan Aza dan berusaha duduk di bangku meski Aza belum mempersilahkan.
Aza mendongak, "emh, bang J...darimana aja bang, baru ketemu lagi kita, ya hari ini..."
Jagat mengulas senyum, bukan karena ada yang lucu dari wajah Aza, tapi rupanya setelah didekati sayup nan lirih Aza tengah mendengarkan lagu yang ia putar dari ponselnya juga meski dengan musik yang pelan.
"Bengawan solo?" tebaknya, diangguki Aza, "hafal?"
Jagat terkekeh renyah, "Masa iya ngga hafal lagu rumah sendiri...jarang anak muda seneng lagu itu." Jagat mulai menyuap makanannya.
Aza menggeleng, "ini juga baru denger sih sebenernya. Tau ngga, kemaren sempet ngobrol sama ibunya calonku, lagu ini katanya lagu pengantar tidurnya calon suamiku dulu waktu dia kecil, aneh kan padahal orang seneng dinyanyiin nina bobo..." ceritanya pada Jagat.
"Jadi curiga kalo orang yang dijodohin sama aku tuh mbah-mbah, iya khan..." tembaknya dengan mata yang sudah bersiap menggelinding dari tempatnya, dan Jagat hanya bsa merutuk dalam hatinya akan itu.
"Kenapa ngga lingsir wengi aja sekalian, ya.." tambahnya lagi lebih sadis.
Jagat semakin melebarkan senyuman diantara hati yang sudah berbunga, menghantarkan rasa hangat ke seluruh aliran da rah di tubuhnya, ia tertawa dengan ucapan terakhir Aza, gemes juga lama-lama, ta cubit juga pipinya nih!
"Saking cintanya tanah air, mungkin. Jangan berburuk sangka dulu, siapa tau calonmu gantengnya ngalahin Stephan william...." Opini Jagat yang padahal ia pun tak tau kenapa ia sangat suka lagu itu, mungkin karena si mbahnya sewaktu kecil selalu menyanyikan lagu itu sampai ia terlelap.
Aza tertawa, "cowok seputih susu begitu bukan idamanku bang, cowok idamanku tuh kaya rambo waktu muda....biar tiap pagi bisa gendong-gendongan..." tawanya mengakui keabsurdannya.
Rambo ya....Jagat tertawa geli. Ini benar 100 persen Azanya, ucapannya persis ketika mereka telfonan waktu itu, cerewet sepaket ocehan absurd.
"Oh ya, aku sampe lupa terus mau tanya...bang J udah berkeluarga?" tanya Aza, itu poin yang paling penting untuk ditanyakan, selama ia mengenal Jagat belum pernah ia menanyakan perihal itu, bukan apa-apa ia tak mau kedekatannya dan Jagat disalah artikan, sekedar mengingatkan hatinya juga biar hati-hati.
"Alhamduliah sudah punya calon istri juga," jawab Jagat.
"Oh." Aza terlihat cukup terkejut meski tak kentara perbedaan raut wajahnya.
"Dan calonku sama sepertimu, calon dokter juga." jelasnya lagi tenang, entah kenapa kini Aza merasa suasana hatinya tak karuan.
Sebenarnya perasaan itu selalu terjadi dikala obrolannya dengan Jagat mulai mencair dan mengalir.
Kini mulutnya terbuka sedikit, cukup tremor dan bikin mules meski tak bersuara. Aza mengangguk memandang isian nampannya, mendadak nafsu makannya hilang.
.
.
.
.
.
lanjut