Wanita, seorang insan yang diciptakan dari tulang rusuk adamnya. Bisakah seorang wanita hidup tanpa pemilik rusuknya? Bisakah seorang wanita memilih untuk berdiri sendiri tanpa melengkapi pemilik rusuknya? Ini adalah cerita yang mengisahkan tentang seorang wanita yang memperjuangkan kariernya dan kehidupan cintanya. Ashfa Zaina Azmi, yang biasa dipanggil Azmi meniti kariernya dari seorang tukang fotokopi hingga ia bisa berdiri sejajar dengan laki-laki yang dikaguminya. Bagaimana perjalanannya untuk sampai ke titik itu? Dan bagaimana kehidupan cintanya? Note: Halo semuanya.. ini adalah karya keenam author. Setiap cerita yang author tulis berasal dari banyaknya cerita yang author kemas menjadi satu novel. Jika ada kesamaan nama, setting dan latar belakang, semuanya murni kebetulan. Semoga pembaca semuanya menyukainya.. Terimakasih atas dukungannya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Bakso
Kedua orang tua dan adik Azmi sudah dalam perjalanan menuju Tanjung. Azmi yang sudah bersemangat sejak pagi bahkan menyempatkan untuk berolahraga sebentar. Selesai berolahraga, Azmi membersihkan diri dan bersiap. Tapi sebelum itu, ia harus menemui Lala untuk izin keluar mess.
“Kamu bisa kembali sebelum jam 9.”
“Aku libur 2 hari, Mbak. Bolehkah kembali besok?”
“Oke. Tapi kamu menginap dimana?”
“Aku akan menginap bersama keluargaku dipenginapan.”
“Baiklah. Aku akan memberikan izin, ingat jangan lewat dari jam 9 malam.”
“Siap!”
Masalah izin selesai, Azmi kembali kekamar untuk mengambil tas yang telah ia siapkan bersamaan dengan Egi yang menghubunginya.
“Tunggu sebentar, aku ke depan.”
Butuh waktu sekitar 10 menit bagi Azmi untuk sampai di gerbang. Setelah memberikan surat dari Lala ke sekuriti, Azmi diperbolehkan keluar dan masuk kedalam mobil yang telah terparkir dipinggir jalan.
“Assalamu’alaikum, Ayah, Ibu.” Azmi mencium punggung tangan kedua orang tuanya dan memeluk Egi.
“Sepertinya kamu lebih nyaman disini dibandingkan ditempat sebelumnya?”
“Alhamdulillah, Yah. Walaupun pekerjaannya lebih kompleks, disini orangnya ramah-ramah. Ada sih yang jutek, tetapi tidak sampai menyerang Azmi.”
“Alhamdulillah. Semoga bisa bertahan sampai 3 bulan nanti.”
“Aamiin..”
Destinasi pertama mereka adalah makan karena Egi hanya sempat makan sedikit pagi tadi. Ayah Azmi memarkir mobil disebuah tempat makan dengan nama khas Jawa. Disana menyediakan ayam bakar khas Jawa dan masakan lainnya. Ayah dan Ibu Azmi memesan ayam bakar, sementara Azmi nasi goreng seafood dan Egi memesan ayam geprek.
“Setelah ini kita kemana?” Tanya Ayah Azmi.
“Kita ke pasar, Yah!” Seru Egi.
“Jauh-jauh kemari hanya ingin ke pasar?”
“Lalu kemana lagi, Yah? Disini tidak ada mall.”
“Tidak mau ke kolam renang atau taman?”
“Kalau mau ke taman, kita belanja makan ringan dan minuman dulu.”
“Oke.”
Azmi menggelengkan kepala. Egi memang paling bisa berdebat dengan kedua orang tuanya. Akhirnya Ayah Azmi berhenti disebuah minimarket. Azmi dan Egi turun berdua untuk membeli makanan ringan dan minuman. Setelah selesai, Azmi membayar belanjaan mereka dan kembali ke mobil. Mobil kembali bergerak ke arah taman kota Tanjung, tak jauh dari bundaran Tugu Obor Tabalong.
Di siang hari masih ramai pengunjung terutama keluarga dengan anak mereka karena ada wahana permainan dan tempat yang rindang karena pohon-pohon besar yang menaungi.
“Duduk disini saja.” Kata Ayah Azmi.
“Wahana permainanya dibelakang, Yah!” Kata Egi.
“Kalian tidak bisa main juga! Kita bersantai disini saja.”
Semuanya duduk kursi taman yang terbuat dari semen yang berbentuk balok menyatu dengan meja yang dibuat mirip dengan irisan pohon besar. Sambil bersantai, mereka menikmati makanan ruangan yang sempat dibeli dan Egi juga mengeluarkan kue kukus yang sempat ia beli sebelum menjemput Azmi. Obrolan demi obrolan menghiasi kebersamaan mereka.
Sementara itu, Priyo sedang mengantre di bakso Jolali. Ia memesan bakso urat dan bakso jumbo kosongan, seperti kesukaan Azmi. Sempat ingin memesan mie ayam, tetapi ia urungkan karena takut tidak enak. Setelah mendapatkan pesanannya, Priyo kembali ke rumah dan memasukkan motor kedalam rumah, lalu menguncinya. Tak lama kemudian, travel jemputan Priyo datang dan ia masuk ke dalam mobil.
Sampai di Tanjung, Priyo meminta sopir travel untuk singgah sebentar di mess karyawan. Sopir tersebut mengangguk dan mampir di mess yang ditunjukkan Priyo. Saat sampai disana, Priyo meminta sekuriti untuk memanggilkan Azmi agar bisa menemuinya di gerbang.
“Maaf, Mas. Mbak Azminya sednag izin keluar dan kembali besok.”
“Benarkah?”
“Mas bisa menghubungi Mbak Azmi sendiri.”
“Terima kasih, Pak.”
Saat Priyo akan menghubungi Azmi, ia melihat sebuah mobil berhenti di depan gerbang mess dan Azmi keluar dari mobil tersebut. Azmi berpamitan dengan kedua orang tuanya dan Egi yang tidak jadi menginap karena mendapat telepon dari supplier minyak bahwa mereka akan mengirimkan minyak besok pagi. Jika saja stok minyak di warung masih banyak, Ayah Azmi bisa menundanya. Tetapi stok sudah menipis, mereka terpaksa kembali karena jika tidak, mereka akan menunggu 3 hari lagi untuk jadwal supplier.
“Mbak Azmi tidak jadi kembali besok?” Tanya sekuriti yang menerima surat keluar Azmi.
“Tidak, Pak. Orang tua ada urusan.”
“Tadi ada yang mencari Mbak Azmi.”
“Siapa, Pak?”
“Priya atau Priyo gitu, Mbak.”
“Mi!” Panggil Priyo.
“Nah itu orangnya!” Azmi membalikkan tubuh, mendapati Priyo berjalan kearahnya dengan bungkusan di tangannya.
“Kenapa Mas bisa disini?”
”Bukankah aku sudah bilang ada training di Banjarmasin?”
“Ya. Tapi ini Tanjung, Mas.”
“Iya, tahu. Aku cuma mau mengantarkan ini.” Priyo menyerahkan bungkusan ditangannya.
Azmi menerimanya dan melihat bakso di dalamnya.
“Aku menepati perkataan ku.”
“Terima kasih, Mas.” Ucap Azmi sambil tersenyum.
Sungguh senyum yang selalu Priyo rindukan. Hanya saja, ia tidak cukup berani untuk mengatakan yang sejujurnya.
“Baiklah, bakso sudah kamu terima. Aku pergi dulu!” Azmi mengangguk.
“Hati-hati dijalan, Mas!”
Priyo melambaikan tangannya, Azmi membalasnya dengan lambaian tangan juga, lalu masuk ke dalam mess.
“Kamu tidak jadi menginap?” Tanya Lala yang kebetulan bertemu Azmi di lobi.
“Tidak, Mbak. Ayah ada urusan.”
“Besok kamu menganggur?” Azmi mengangguk.
“Ikut aku ke pasar saja!”
“Ke pasar?”
“Ya! Apa kamu tidak pernah ke pasar?”
“Pernah, tapi untuk apa ke pasar?”
“Temani aku. Sekalian kalau ada yang ingin kamu beli, kamu bisa membelinya di pasar atau nanti singgah ke minimarket. Mau, tidak?”
“Mau, Mbak!”
“Aku tunggu jam 7 disini!”
“Siap!”
Azmi dengan senyuman kembali ke kamarnya. Kapan lagi ia punya kesempatan untuk berkeliling kota Tanjung. Tetapi ia harus kembali turun ke kantin untuk memanaskan bakso yang dibawakan Priyo, karena sudah dingin dan lemak tetelan dikuah mengental.
“Mas! Bisa minta tolong panaskan bakso, tidak?” Tanya Azmi ke salah seorang waiter.
“Bisa, Mbak. Minta ditambahkan mie juga bisa.”
“Tidak, Mas. Saya minta tolong dipanaskan saja.”
“Mau dijadikan satu mangkok atau 2 mangkok?”
“Satu saja.”
“Oke, Mbak!”
Waiter tersebut membawa bungkusan bakso Azmi ke dapur dan tak berselang lama, kembali dengan nampan yang berisi mangkuk berukuran lumayan besar.
“Terima kasih, Mas.”
“Sama-sama, Mbak.”
Azmi mengambil mangkuk kosong dan sendok garpu yang disediakan di rak, lalu mengambil air minum kemasan. Saat akan mulai makan, ada rombongan laki-laki yang baru saja turun dari tempat fitness. Mereka duduk di meja sebelah Azmi. Mengabaikan kehadiran mereka, Azmi mulai makan bakso dengan kuah tanpa tambahan apapun.
“Bakso tanpa sambal itu tidak cocok, Ding!” Seru salah seorang laki-laki dengan pakaian futsal.
“Iya. Bakso harus ditambahkan saos, kecap dan sambal biar tambah mantap!” Timpal laki-laki dengan pakaian badminton.
“Jangan-jangan kamu tidak suka pedas, Ding?” Tanya laki-laki dengan pakaian berwarna pink.
Azmi mengabaikan mereka. Ia hanya menanggapi perkataan mereka dengan anggukan kepala dan melanjutkan makannya.