Luna merupakan anak pertama Raihan Wicaksono yang berusia 23 tahun, dia bekerja pada di kantor swasta sebagai kepala divisi penjualan. Meskipun ayahnya adalah seorang Ahli Bioteknologi dia sama sekali tidak mewarisi bidang pekerjaan ayahnya.
Luna berkhayal bahwa dia ingin mempunyai suami yang di dapat dari rekanan ayahnya seperti kebanyakan film yang dia tonton, sampai pada akhirnya dia ikut ayahnya bekerja dan bertemulah Luna dengan Renzo anak dari rekan bisnis ayahnya. Usia mereka terpaut lebih dari 10 tahun, Luna langsung jatuh hati begitu melihat Renzo. Tapi tidak pada Renzo, dia sama sekali tidak tertarik pada Luna.
"Itu peringatan terakhirku, jika setelah ini kamu tetap keras kepala mendekatiku maka aku tidak akan menghentikannya. Aku akan membawa kamu masuk ke dalam hidupku dan kamu tidak akan bisa keluar lagi," ancaman dari Renzo.
Cegil satu ini nggak bisa di lawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YPS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13
Apartemen mewah dengan desain modern itu tampak elegan, dikelilingi kaca-kaca besar yang memantulkan cahaya dari luar. Begitu pintu masuk terbuka, Renzo menggenggam tangannya erat untuk masuk ke dalam lift.
Tanpa banyak bicara Luna hanya mengikuti langkah Renzo.
"Apartemen ini menjadi tempatku menyendiri," ucap Renzo pelan, sebelum Luna sempat bertanya.
Luna hanya tersenyum, mengamati bagaimana Renzo menekan tombol lantai tertinggi. Suasana di dalam lift terasa sunyi, hanya ada suara lembut dari musik instrumental yang mengalun.
Begitu pintu lift terbuka, Luna langsung disambut oleh pemandangan luar biasa. Dinding kaca besar di ruang tamu menghadirkan panorama kota yang indah di pagi hari. Desain interiornya minimalis, dengan warna-warna netral seperti hitam, abu-abu, dan putih yang mendominasi ruangan. Sebuah sofa besar menghadap televisi layar datar, sementara lampu gantung berbentuk unik memberikan kesan hangat di dalamnya.
"Kamu sering datang ke sini sendirian?" tanya Luna pelan, berjalan mendekati jendela dan menempelkan tangannya di kaca.
Renzo melepaskan jaketnya, meletakkannya di gantungan, lalu menghampiri Luna dari belakang. "Ya. Aku lebih suka tempat ini daripada mansion."
Luna menoleh, menatap wajah Renzo yang tampak lebih santai dibanding biasanya. Justru Luna yang terlihat memendam pertanyaan yang tak bisa ia sampaikan.
Renzo memegang wajah Luna dengan kedua tangannya yang tampak besar dan kekar. "Hanya kamu wanita yang pernah ke sini, aku rasa kamu yang pertama dan terakhir. No one else."
"Oke lah aku percaya pada pria keturunan Korea yang gemar menggunakan bahasa inggris ini." ucap Luna dengan menorehkan senyum, tangannya masih melingkar di pinggang Renzo.
Renzo menggendongnya tanpa persetujuan, menjatuhkan tubuh Luna di ranjang besar yang ada di sana dan meletakkan tubuh kekarnya di atas Luna.
Bibirnya sudah menempel pada setiap inci tubuh Luna, entah secepat apa kini Luna dalam keadaan tanpa sehelai benang apapun. Suasana pagi yang dingin seketika menjadi panas membara, tak hanya Renzo yang memimpin permainan tetapi Luna juga dengan berani meletakkan dirinya di atas.
"Sempurna.... " ucap Renzo lirih, matanya masih menatap bola mata Luna. "Harder, Sayang."
Renzo menggulingkan kembali tubuh Luna, mempercepat gerakannya. Hingga keduanya mencapai puncaknya tanpa harus menunggu lama.
"Sakit?"
"Nggak." jawab Luna singkat dengan napas yang masih memburu dan keringat yang bercucuran.
.
Beberapa jam berlalu dengan cepat. Renzo tampak masih memandangi Luna yang tertidur lelap di balut selimut, dengan posisi duduknya yang menyandar dan menghisap rokoknya lalu menghembuskannya perlahan.
"Maaf, aku ketiduran." suara serak Luna ketika baru membuka matanya dan mellihat Renzo masih menatapnya.
"Kamu kelelahan bekerja atau kelelahan berperang bersamaku?" goda Renzo.
Luna terkekeh kecil lalu memeluk tubuh Renzo.
"Kamu happy menjadi pasanganku? Atau aku perlu melakukan hal lain yang akan membuatmu semakin happy?" tanya Renzo sembari menghembuskan asap rokoknya.
"Jadi dirimu sendiri, kita akan sama-sama belajar setelahnya apa yang menjadi kekurangan dan yang harus di perbaiki. Dengan bisa memilikimu saja aku sudah sangat bahagia, Ren!"
Renzo mematikan rokoknya dan kembali merebahkan dirinya di sisi Luna, memanjangkan lengan tangannya agar kepala Luna bisa bersandar dengan nyaman.
Aktifitas mereka setelahnya hanya bercanda gurau, menonton film sembari menyantap makanan yang sudah mereka pesan.
.
.
"Baru pulang sudah mau pergi lagi?" suara berat yang sedikit menekan nadanya saat melihat anaknya hendak keluar rumah. Raihan Wicaksono, ayah yang selalu memperhatikan kegiatan anak-anaknya.
Walau sudah tua dia masih terlihat bugar, meskipun kacamata selalu bertengger di hidung mancungnya.
"Cuma mau lari di taman luar sana." tunjuk Luna ke asal arah.
"Malam-malam gini?"
"Cuma satu jam saja, apa yang mencurigakan dari seorang anak gadis yang memakai pakaian olahraga malam hari?!" cicit Luna yang tetap berjalan keluar rumah di bantu oleh penjaga untuk membuka gerbang besar rumahnya.
Raihan menatap Dewi, tatapan penuh tanya. "Kelihatan senang sekali dia hari ini, habis pergi dari mana?"
"Jalan-jalan sama Renzo." jawab Dewi yang masih menatap layar ponsel.
Raihan tidak bertanya lagi, beranjak dari sofa menuju ruang kerjanya. Entah apa arti dari ekpresi yang dia berikan, tidak melarang hubungan anaknya dengan Renzo tidak juga mengungkapkan secara terang-terangan bahwa ia setuju.
.
"Dua kilo," gumam Luna, menatap smart watch di tangan kirinya. Dia berhenti sejenak duduk di kursi taman sembari meminum air yang di bawanya.
Dia tidak sendiri, beberapa orang juga ada di sana melakukan aktifitas yang sama dengannya. Tatapannya lurus tapi tak di pungkiri bibirnya tersirat senyuman membayangkan hubungannya dengan Renzo.
"Kak Luna, sepertinya sedang bahagia hari ini?" suara pria yang terdengar tidak asing di telinganya.
Luna menoleh, menengadahkan pandangannya. Pria yang tinggi dan kurus berada di sampingnya, tidak lain ia adalah Ivan. Bagaimana mungkin Ivan berada di sekitar komplek rumahnya?
"Hey, tinggal di dekat sini juga? Suka lari juga? Kebetulan sekali.... "
"Beberapa kali saja ke sini, tidak sengaja lihat kamu tadi. Rumahmu dekat sini? Sangat kebetulan sekali, ya?" jawab Ivan.
Yap mereka melanjutkan kegiatan olahraganya dengan lari bersama, beriringan sembari berbincang-bincang tentang kehidupan sehari-hari Ivan. Luna dengan ramah mendengarkan.
Berhenti di kursi lainnya untuk beristirahat.
"Ya, jadi begitulah ceritanya, Kak. Adikku di bunuh oleh pacarnya, karena pacarnya gila. Jangan sampai Kak Luna bertemu dengan orang semengerikan itu!" pekiknya.
"Terima kasih,"
"Semua yang terlihat baik di depan belum tentu sepenuhnya baik, hati-hati." imbuhnya lagi seperti menyiratkan suatu arti.
Luna tidak menjawab lagi dan meminta izin untuk kembali lebih dulu ke rumah. Melangkah dengan cepat, karena jantungnya ikut berdegup cepat seperti sedang di awasi.
Luna merasa ada yang salah pada mental Ivan, bisa jadi itu hanya cerita bualan untuk menarik perhatiannya. Entah apa rencananya kedepan, satu yang pasti dia adalah orang asing bagi Luna.
.
Setibanya di depan gerbang rumahnya yang masih tertutup, Luna tak lekas masuk dia masih mengatur napasnya yang tersengal-sengal.
Tangan kanannya mengusap keringat yang terus menetes di pelipisnya. Suara Ivan yang berat terasa masih terngiang di telinganya.
Luna mengambil ponselnya dan ingin mengirim pesan pada Renzo, dia ingin meminta bantuan Renzo untuk menyelidiki Ivan. Percakapan malam ini membuat Luna merasa aneh, mulai dari tatapan Ivan, senyumannya dan gerakan bola matanya.
"Ren, maaf aku mengganggu waktumu. Kamu ingat seorang pria yang bekerja di kafe depan kantorku?"
Belum juga mendapat balasan, Luna segera menekan tombol panggil untuk menelpon Renzo. Tiba-tiba ada langkah kaki di belakang tubuhnya.
"Kak.... " suara pria memanggil namanya tepat di belakang tubuh Luna.
"Kamu kenapa mengikutiku sampai ke sini?" teriak Luna.