NovelToon NovelToon
My Crazy Daughter

My Crazy Daughter

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Balas Dendam / Identitas Tersembunyi
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Matatabi no Neko-chan

Setelah diadopsi Verio, kehidupan Ragna berubah. Apalagi saat mendapat ingatan masa lalunya sebagai putri penjahat yang mati akibat penghianatan.
Memanfaatkan masa lalunya, Ragna memutuskan menjadi yang terkuat, apalagi akhir-akhir ini, keadaan kota tidak lagi stabil. Bersama Verio, mereka memutuskan menuju puncak dalam kekacauan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20

"Papa, aku berangkat dulu," ujar Ragna sambil menutup tasnya.

"Tunggu sebentar, bocah. Kita pergi bareng," balas Verio dari dalam kamarnya.

Tak lama, pria itu keluar dengan jaket kulit hitam yang membalut tubuh atletisnya. Tindik di telinganya masih terpampang jelas, memberi kesan rebel, sementara rambut hitamnya terlihat setengah berantakan seperti biasanya.

"Papa mau ke mana, sih, dandan rapi begitu?" tanya Ragna penasaran, matanya memperhatikan penampilan ayah angkatnya dari atas sampai bawah.

"Aku ada urusan bengkel, mau ambil beberapa peralatan otomotif ke beberapa suku cadang."

Mendengar itu, mata Ragna langsung berbinar. "Aku ikut, ya, Pa?" tanyanya penuh harap.

"Tidak bisa, Nak. Ini baru hari kedua sekolahmu. Jangan cari alasan buat bolos," sahut Verio sambil menatap gadis itu dengan ekspresi setengah kesal setengah geli.

Ragna mengembungkan pipinya, menampilkan wajah cemberut yang malah membuat Verio terkekeh. Dengan spontan, pria itu mencubit pipinya pelan, lalu menepuk kepala gadis itu dengan gemas. "Dasar bocah keras kepala. Ayo, sekarang kita berangkat."

Verio berjalan menuju garasi dan mengeluarkan mobil Subaru modifikasi yang terlihat gagah. Deru mesinnya terdengar halus, tapi penuh tenaga—jelas bukan mobil sembarangan.

Ragna menatap mobil itu dengan mata berbinar lagi. "Pa, aku yang bawa mobilnya, ya? Sekali ini aja, plis," pintanya sambil menatap Verio penuh harap.

Pria itu menatap anak gadisnya dengan alis terangkat, bibirnya melengkung seolah hendak mengucapkan sesuatu yang sarkastik. "Kau pikir nyawa ayahmu ini buat taruhan, hah?" sindirnya, meski nada suaranya tetap terdengar lembut.

"Kan cuma mau coba, Pa. Lagian aku udah belajar bawa motor dari Papa juga," Ragna mencoba membujuk, senyumnya penuh keyakinan.

Verio hanya menggeleng sambil menekan kunci mobil. "Kau boleh coba bawa mobil ini nanti, kalau aku sudah siap mengatur warisan."

Ragna mendesah kecewa, tapi tetap masuk ke dalam mobil dengan patuh. Meski begitu, ada senyum kecil yang tersungging di wajahnya. "Kapan, tuh, siapnya?" godanya sambil melirik Verio.

"Kalau umurmu sudah lebih dari setengah umurku sekarang. Jadi, tunggu saja," balas Verio santai, memasang seatbelt sambil melirik gadis itu sekilas.

Mobil melaju keluar garasi, menyisakan deru mesin yang menggema ringan di pagi itu. Meski sarkastik, percakapan kecil mereka sarat akan kehangatan yang sulit dilihat oleh orang lain.

Mobil Subaru itu melaju dengan kecepatan stabil, menyusuri jalan pagi yang masih sepi. Ragna menyandarkan tubuhnya pada kursi penumpang sambil melirik ke arah Verio, yang tampak tenang mengemudi.

"Papa," panggil Ragna tiba-tiba.

"Hm?" gumam Verio tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.

"Kenapa Papa suka banget sama barang-barang otomotif? Motor, mobil, semuanya. Kadang aku mikir, Papa lebih perhatian sama mesin-mesin itu daripada aku," ucapnya dengan nada menggoda, meski senyumnya mengisyaratkan dia tak benar-benar serius.

Verio terkekeh pelan, sudut bibirnya terangkat. "Mesin nggak pernah ngelawan, nggak pernah bikin pusing, dan yang paling penting, nggak bisa ngambek seperti kau," jawabnya, menyelipkan nada sarkas.

"Tapi mesin juga nggak bisa ngobrol, nggak bisa peluk, nggak bisa masakin Papa makanan, kan?" Ragna membalas sambil menyilangkan tangan, mencoba memasang wajah tersinggung.

"Kalau mesin bisa masak dan peluk, mungkin aku bakal lebih pilih mereka." Verio menoleh sekilas sambil tersenyum jahil, membuat Ragna mendesis kesal.

"Papa ini, ya... selalu menang sendiri!"

"Dan kau ini, Nak, selalu cari perhatian," balas Verio cepat, kembali fokus pada jalan.

Ragna mendengus, tapi matanya menyiratkan kehangatan. "Tapi Papa nggak pernah bosan sama aku, kan?" tanyanya, nada suaranya melembut.

Verio terdiam sejenak, lalu meraih kepala Ragna dengan satu tangan, mengacak rambut gadis itu dengan pelan. "Kau itu meskipun kadang bikin aku pusing, tetap jadi yang paling berharga. Jadi, nggak usah bertanya hal bodoh seperti itu lagi," ucapnya dengan nada rendah tapi penuh makna.

Ragna tersenyum lebar, pipinya sedikit memerah. "Papa ini romantis kalau nggak sengaja," komentarnya, mencoba menutupi rasa haru yang tiba-tiba menggelayut.

Verio hanya mendengus sambil melanjutkan perjalanan. Tidak ada yang perlu diucapkan lagi, karena keheningan mereka kali ini terasa cukup. Suara mesin mobil dan angin pagi menjadi pengiring keakraban yang hanya bisa dirasakan oleh mereka berdua.

Ragna tersenyum manis, melambaikan tangan pada Verio yang sudah duduk di balik kemudi, siap melaju meninggalkannya di depan gerbang sekolah. Saat mobil ayahnya menghilang dari pandangan, senyum di wajahnya lenyap. Raut wajahnya berubah datar penuh kewaspadaan. Tatapannya tertuju pada sekelompok siswa yang sibuk saling dorong di sudut halaman, menandakan pertarungan akan segera pecah.

Di tengah kerumunan, seorang pemuda berdiri dengan angkuh, matanya menatap tajam kelompok lawannya yang tampak penuh emosi. Dan seperti yang sudah diduga, tak lama kemudian perkelahian dimulai.

Ragna menyilangkan tangan di dada, memperhatikan pertarungan itu dengan tatapan dingin, namun bibirnya sedikit menyungging. Satu lawan dua puluh dan kebanyakan dari lawannya kini sudah terkapar, meringis kesakitan di atas tanah.

"Apa-apaan ini, adik-adik tercinta?" bentak pemuda itu keras, tatapannya penuh hinaan. "Kalian mau mempermalukan nama sekolah kita dengan kemampuan payah seperti ini? Pulang dan latihan lagi, dasar pecundang!"

Pemuda-pemuda itu berusaha bangkit dengan tubuh penuh luka, namun raut ketakutan jelas tergambar di wajah mereka.

"Wah, dia benar-benar kuat," gumam Ragna pelan, kepalanya sedikit miring, seperti mengamati sesuatu yang menarik. "Meskipun, yah... masih di bawah Papa, sih."

"Hei, kau!" suara keras pemuda itu tiba-tiba membuat Ragna terlonjak. Matanya membelalak kecil sebelum menyadari tatapan tajam pemuda itu mengarah padanya.

Ragna menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi setengah terkejut, "Kau berbicara denganku?"

Pemuda itu melangkah mendekat, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku seragamnya. "Apa kau salah alamat, Nona?" tanyanya dengan nada sinis, menatap Ragna dari atas sampai bawah. "Kau memakai seragam ini seperti siswa teladan saja."

Ragna menjawab tanpa kehilangan ketenangannya, "Aku punya penampilan khas. Jadi, kau nggak usah ikut campur. Kalau keberatan, kau bisa mencongkel matamu sendiri."

Pemuda itu menyeringai, tetapi sebelum sempat membalas, sebuah suara keras dari kejauhan memotong momen itu.

"Ragna?! Apa yang kau lakukan di sana?!" teriak seseorang dengan suara berang.

Ragna mendesah panjang, menoleh ke arah datangnya suara. "Sial, anjing gila itu datang lagi," gumamnya sambil menghela napas kesal.

Pemuda itu mengerutkan alis. "Anjing gila?" tanyanya bingung.

"Itu dia." Ragna menunjuk seorang pemuda lain yang berjalan cepat ke arah mereka dengan raut wajah penuh amarah.

"Bukan urusanmu!" teriak Ragna lantang ke arah Edgar, lelaki yang kini semakin dekat. Dengan santai, dia mengacungkan jari tengahnya membuat Edgar langsung kehilangan kesabaran.

"Dasar kau!" geram Edgar sambil berlari ke arah Ragna, wajahnya memerah karena amarah.

Namun, Ragna tidak terlihat gentar sedikit pun. Sebaliknya, dia merogoh tasnya dengan santai, mengeluarkan sesuatu yang membuat pemuda di sebelahnya menegang.

"Hei, itu... bom molotov?!" seru pemuda itu kaget, langsung mundur beberapa langkah.

Ragna menyalakan sumbu molotov dengan korek api yang ia keluarkan dari kantong jaketnya, wajahnya tetap tenang dengan senyum penuh sindiran di bibirnya. "Kau tahu, kadang pembuat onar tidak selalu harus terlihat garang," ucapnya dengan santai sebelum melemparkan molotov itu ke arah Edgar.

Pemuda itu refleks melompat mundur, matanya membelalak saat molotov meledak, menciptakan api kecil yang membakar rumput kering di sekitar lokasi. Edgar terpaksa berlari menghindar, memaki-maki tanpa sempat membalas.

Ragna terkekeh kecil, memutar tubuhnya untuk meninggalkan lokasi itu, tak lupa mengangkat tangan untuk melambai kecil pada Edgar yang masih sibuk memadamkan api dengan jaketnya. "Sampai jumpa, anjing gila!" katanya santai sebelum melangkah pergi.

Ragna berjalan santai melewati gerbang sekolahnya yang masih ramai oleh siswa-siswa yang bersiap menghadapi hari itu. Tentu saja, perhatian beberapa siswa tertuju padanya setelah insiden kecil tadi. Namun, Ragna sama sekali tidak peduli, melangkah tanpa menoleh sedikit pun.

"Hei, hei, Ragna," panggil Jay yang berdiri di dekat tembok, wajahnya penuh rasa penasaran. "Itu tadi siapa? Kok kayaknya dia mau ngajak duel?"

Ragna melirik Jay dengan ekspresi datar. "Ah, dia? Itu cuma anjing liar yang salah masuk wilayah. Harus diajari sopan santun sedikit."

Jay terkekeh dan melipat tangannya sambil menyender pada dinding. "Anjing liar? Tunggu, dia bukan anak sekolah kita, ya?"

"Jelas bukan," jawab Ragna ringan. "Edgar itu anak sekolah swasta ternama di sebelah. Sok penting, sok jago, dan sok punya kuasa. Kalau dia mau cari masalah di sini, aku kasih sambutan hangat, kan?"

Jay mendengus menahan tawa. "Sambutan hangat berupa molotov? Kau memang gila, Ragna."

"Tidak juga," jawab Ragna santai sambil mengangkat bahu. Dia melanjutkan langkahnya menuju kelas, diikuti Jay yang terus berbicara.

"Edgar, Edgar," gumam Jay mengulang nama itu dengan nada geli. "Kukira nama itu cuma ada di novel picisan, tapi ternyata nyata. Dia penggemar rahasiamu atau gimana?"

Ragna berhenti sejenak, menatap Jay dengan pandangan malas. "Kalau dia penggemar, aku pasti sudah kasih tanda tangan. Masalahnya, dia lebih mirip kredit macet yang nggak selesai-selesai."

Jay tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Ragna, membuat beberapa siswa di koridor menoleh ke arah mereka.

"Jadi, apa dia akan balik lagi?" tanya Jay sambil menyeka air mata di sudut matanya.

Ragna mengangkat satu alisnya. "Kalau dia cukup bodoh, mungkin iya. Tapi kalau dia punya otak, dia pasti tahu kalau ini bukan wilayahnya buat bermain-main."

Jay mengangguk setuju. "Benar juga. Kau memang menakutkan kalau sudah marah."

"Aku? Menakutkan?" Ragna terkekeh kecil, lalu melangkah lagi. "Aku cuma memberi apa yang pantas mereka terima. Kalau itu menakutkan, itu masalah mereka, bukan aku."

Sementara itu, di luar gerbang sekolah, Edgar masih berdiri dengan wajah kesal. Seragamnya sedikit kotor karena insiden tadi dan dia mengutuk dirinya sendiri karena membiarkan Ragna mempermalukannya seperti itu.

"Sialan," gumam Edgar, tangannya mengepal. "Gadis itu memang menyebalkan."

Namun, meski begitu, ada senyuman samar di wajahnya. "Tapi menyenangkan."

Edgar mengeluarkan ponselnya, mengetik sesuatu dengan cepat sebelum memasukkan kembali ponselnya ke saku.

"Baiklah, Ragna," katanya pada dirinya sendiri, matanya menyipit dengan penuh tekad. "Kita lihat siapa yang akan menyerah lebih dulu."

1
Listya ning
kasih sayang papa yang tulus
Semangat author...jangan lupa mampir 💜
Myss Guccy
jarang ada orang tua yg menujukkan rasa sayangnya dng nada sarkas dan penuh penekanan. tp dibalik itu semua,, tujuannya hanya untuk membuat anak lebih berani dan kuat. didunia ini tdk semua berisi orang baik, jika kita lemah maka kita yg akan hancur dan binasa, keren thor lanjutkan 💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!