My Crazy Daughter

My Crazy Daughter

Bab 1

Sebuah rumah bergaya kuno dilalap si jago merah yang mengamuk tanpa belas kasihan. Jeritan kesakitan menggema di seluruh area paviliun, bercampur dengan derak kayu yang terbakar. Di antara kobaran api dan darah yang menggenang, tubuh para pelayan dan prajurit keluarga Mpu Suranggana bergelimpangan, sebagian masih menggeliat meregang nyawa, sebagian lainnya sudah tak bergerak.

"Habisi semua keturunan dan pengikut Mpu Suranggana!" seru pemimpin pasukan dengan suara lantang, penuh amarah. Pedangnya menebas siapa saja yang menghalangi jalannya, mengukir jejak kematian di sepanjang koridor. Langkah mereka tak terhentikan, hingga akhirnya tiba di sebuah paviliun yang masih utuh—tempat Sekartaji Suranggana tengah bertapa dalam keheningan.

Putri bungsu Mpu Suranggana, gadis yang dikenal karena kecantikan dan kecerdasannya, membuat banyak bangsawan berlomba-lomba melamarnya. Namun, dari sekian banyak lamaran, hatinya hanya terpaut pada seorang panglima perang yang dijuluki Singasakti, pahlawan kerajaan yang menorehkan kemenangan di banyak pertempuran.

Tetapi malam ini, sosok yang seharusnya menjadi pelindungnya justru berdiri dengan pedang berlumuran darah.

“Jleb!”

Ujung pedang menembus dada Sekartaji, merobek daging dan paru-parunya. Gadis itu terbatuk, memuntahkan darah segar yang mengalir dari bibirnya. Mata yang sejak tadi terpejam dalam ketenangan, kini terbuka, menatap orang yang berdiri di hadapannya—orang yang seharusnya menggenggam tangannya dalam cinta, bukan dalam pengkhianatan.

Aryaweda.

Sosok yang selama ini dicintainya, kini menatapnya dengan penuh kebencian.

"Kenapa...?" bisik Sekartaji lemah, dadanya berdenyut nyeri, bukan hanya karena luka, tetapi juga karena pengkhianatan yang tak pernah ia bayangkan.

“Kau tega meracuni putri kedua karena cemburu padaku?” suara Aryaweda dingin, penuh tuduhan. “Kau memang licik, Sekar.”

Tanpa ragu, ia menekan pedangnya lebih dalam, memutar bilah tajam itu hingga kesakitan Sekartaji kian menjadi. Gadis itu menggigit bibir, menahan erangan, tapi tubuhnya tak bisa berbohong—darah semakin deras mengalir dari lukanya.

Dengan kasar, Aryaweda mencabut pedangnya. Tubuh Sekartaji terjerembab, tangannya gemetar menyangga dirinya yang hampir jatuh sepenuhnya ke tanah. Napasnya tersengal, namun matanya tetap tajam menatap lelaki yang kini berdiri di atas kehancurannya.

"Kau tidak akan percaya... meskipun aku mengatakan yang sebenarnya," suara Sekartaji bergetar, tetapi tekadnya tetap kuat. “Kau telah membantai keluargaku, menghancurkan segalanya… Aku mengutukmu, Aryaweda! Kau akan menyesal!”

Langit bergemuruh. Petir menyambar dengan dahsyat, angin kencang berputar di sekitar mereka, seolah semesta ikut murka. Namun, Aryaweda hanya menatapnya dengan tatapan dingin.

“Aku tidak pernah menyesal telah membunuhmu, Sekartaji,” bisiknya, seraya berjongkok di hadapan gadis yang mulai kehilangan kesadaran. “Dan aku tidak akan pernah menyesal.”

Seketika, pedang di tangannya terayun cepat.

Darah segar menyembur.

Leher Sekartaji Suranggana terpisah dari tubuhnya.

Kepala Sekartaji Suranggana jatuh ke tanah, matanya yang indah masih terbuka, seolah hendak mengutuk lelaki yang telah menghancurkan hidupnya. Darahnya membasahi lantai kayu paviliun, merembes ke dalam retakan, bercampur dengan abu dari bangunan yang terbakar.

Aryaweda menatap tubuh tak bernyawa itu tanpa ekspresi, seakan kematian gadis itu bukanlah sesuatu yang perlu disesali. Namun, saat hendak berbalik, hembusan angin dingin menyapu tempat itu—angin yang bukan berasal dari alam, melainkan dari sesuatu yang lebih kelam.

Langkahnya terhenti.

Di sekelilingnya, api yang membakar istana keluarga Mpu Suranggana mendadak meredup. Bara merah yang berkobar perlahan berubah menjadi nyala biru, menjilat-jilat udara dengan gerakan yang aneh dan tidak wajar.

Para prajurit yang berdiri di belakangnya mulai gelisah.

"Tuanku... ada yang tidak beres," bisik salah satu prajurit, suaranya dipenuhi ketakutan.

Aryaweda menghunus pedangnya, waspada.

Lalu terdengar suara.

Bukan jeritan, bukan gemuruh api, bukan suara reruntuhan—melainkan tawa.

Tawa lirih seorang wanita, bergema di seluruh paviliun yang porak-poranda.

Tubuh Sekartaji yang sudah tak bernyawa, perlahan-lahan bergerak.

Tidak, bukan tubuhnya.

Kepalanya.

Mata Sekartaji yang sudah kehilangan cahaya, kini berangsur-angsur bersinar, berubah menjadi keemasan dengan retakan-retakan hitam di sekelilingnya. Ujung bibirnya menyunggingkan senyum kecil, senyum yang membuat bulu kuduk meremang.

Para prajurit yang melihatnya segera mundur, ketakutan.

"L-Lebih baik kita pergi, tuanku!" seru salah satu prajurit, suaranya gemetar.

Namun, Aryaweda tetap diam. Pedangnya erat digenggam, namun untuk pertama kalinya, tangan yang selama ini mantap memegang senjata itu terasa dingin.

Kepala Sekartaji tertawa pelan.

"Aryaweda..."

Ia memanggil namanya dengan suara yang seharusnya tidak mungkin keluar dari tubuh yang telah mati.

"Kau bilang tak akan pernah menyesal?"

Suara itu menggema, semakin lama semakin nyaring, hingga terdengar seperti seruan ribuan arwah yang terjebak dalam kegelapan.

Lalu sesuatu terjadi.

Tubuh para prajurit yang masih hidup, satu per satu membiru. Nafas mereka tercekat. Mata mereka melotot, mulut mereka berbusa.

Racun.

Racun yang tidak berasal dari makanan, tidak berasal dari senjata, tetapi dari udara.

Satu per satu mereka terjatuh, kejang-kejang, merasakan racun yang menggerogoti tubuh mereka dari dalam.

Hanya Aryaweda yang masih berdiri, meski kakinya mulai lemas.

Ia mencoba melangkah mundur, namun bayangan hitam merayap dari tubuh Sekartaji, mengikat pergelangan kakinya.

Senyuman di wajah gadis itu semakin lebar, matanya semakin terang.

"Ku harap kita tidak akan bertemu lagi, Aryaweda..."

Itu adalah kalimat terakhir yang ia dengar sebelum semuanya menjadi gelap.

🐾

Dunia Modern

Seorang pria melangkah dengan penuh kesombongan di lorong panti asuhan, matanya menyapu sekeliling dengan tatapan tajam, membuat anak-anak kecil yang berada di sana menatapnya dengan ketakutan. Beberapa dari mereka bahkan tak kuasa menahan air mata. Pria itu memiliki wajah tampan, rambut ungu kehitaman yang sedikit berantakan, serta mata hitam yang tajam, seolah mampu menembus siapa pun yang dipandangnya. Telinganya dihiasi beberapa piercing yang mencolok. Dia tidak mengenakan jas formal, melainkan pakaian sederhana berwarna gelap, dengan gaya yang lebih mirip seorang berandalan.

Anak-anak di panti asuhan itu tampak terawat, mengenakan pakaian yang rapi dan bagus. Namun, mata pria itu tertuju pada seorang anak perempuan berusia tujuh tahun yang mengintip malu-malu dari balik bilik. Rambutnya hitam legam, terkesan kusut, sementara matanya yang hijau tampak kosong, tanpa sorot emosi apapun. Penampilannya yang tak terawat menarik perhatian pria itu, membuatnya melangkah mendekat ke arahnya.

Tatapan mereka bertemu. Manik mata hijau yang jernih milik anak itu beradu dengan mata hitam dan hijau setajam mata elang milik pria itu, seolah saling menyelami satu sama lain, menciptakan keheningan sejenak. Lalu, pria itu dengan tenang mengalihkan pandangannya, menatap pengurus panti dengan ekspresi datar. "Aku pilih anak ini," katanya tanpa ragu.

Pengurus panti memandang anak itu dengan tatapan sinis, lalu beralih menilai pria berpenampilan preman tersebut. Mereka berdua sama-sama berpikir bahwa anak ini mungkin pembawa sial yang sebaiknya disingkirkan.

"Oh, tentu! Tentu!" sahut pengurus panti dengan nada yang terkesan terlalu ceria, "Aku harap dia betah tinggal bersamamu. Didik dia agar tidak membuat masalah, dan kalau bisa, jangan kembalikan dia nanti. Dia sudah tiga kali diadopsi dan selalu berakhir dikembalikan." Curhat sang pengurus panti membuat pria itu mengernyit, sedikit terganggu dengan informasi tersebut.

"Baiklah. Siapkan dokumennya," ujar pria itu dengan nada tegas.

"Ah! Tunggu sebentar, Tuan," sahut pengurus panti dengan tergesa-gesa sebelum bergegas pergi, meninggalkan pria itu bersama anak-anak lain yang masih berkumpul. Beberapa di antaranya menatap gadis kecil itu dengan sorot sinis.

Gadis kecil itu menatap pria di depannya dengan pandangan yang seolah penuh penilaian. Tangannya semakin erat memeluk boneka usangnya yang terlihat lusuh, dengan kain robek di beberapa bagian. Dia melirik sekeliling, menyadari tatapan kebencian yang diarahkan kepadanya, lalu perlahan menundukkan kepala.

"Siapa namamu?" tanya pria itu datar, memecah keheningan.

Gadis itu mendongak, menatap pria itu sejenak sebelum menjawab pelan, "Ragna."

"Nama yang bagus," pria itu berkomentar singkat, sebelum melanjutkan dengan nada yang lebih tajam. "Mulai sekarang kau ikut denganku. Tapi kau harus tahu, aku bukan orang baik."

Ragna terdiam sesaat, pikirannya melayang pada orang-orang sebelumnya yang pernah mengadopsinya. Wajah mereka selalu manis di awal, tetapi semuanya berubah menjadi dingin dan kasar setelah beberapa waktu.

Namun, kali ini berbeda. Tanpa keraguan sedikit pun, dia menganggukkan kepala. "Uhm," jawabnya lugas, tanpa emosi, seolah sudah terbiasa dengan kehidupan yang tidak memberinya banyak pilihan.

🐾

"Ku harap kau cepat mati, Ragna. Kalau kau membuat ulah lagi dan kembali ke sini, aku nggak akan pernah menerimamu lagi. Kau mengerti?" geram pengurus panti, menyisir rambut hitam gadis itu dengan kasar.

"Iya," jawab Ragna pelan, hampir berbisik.

"Bagus! Aku harap kau tidak pernah kembali. Kalau kau diusir, itu urusanmu!"

Ragna hanya terdiam dan mengangguk tanpa perlawanan. Matanya menatap pantulan dirinya di cermin dengan kosong. Meski kini ia tampak lebih rapi, pakaian dengan warna pudar dan rambut yang digerai membuatnya tampak sedikit lebih layak daripada sebelumnya.

"Sudah selesai. Sekarang cepat pergi! Jangan membuatnya menunggu lama!" bentak wanita itu seraya mendorong tubuh kecil Ragna dengan kasar menuju ruang tamu.

Tak lama, pria itu muncul dengan membawa beberapa berkas di tangannya. Pandangannya menyapu ke arah Ragna sebelum ia berbicara dengan nada dingin, "Ayo pergi."

Tanpa suara, Ragna mengangguk dan mulai mengikuti pria itu. Namun langkah pria itu tiba-tiba terhenti. Tanpa sepatah kata, ia berbalik, menarik Ragna ke dalam pelukannya dengan satu gerakan tegas.

Tubuh kecil itu kaku dalam pelukannya, namun pria itu tidak peduli. Ia melanjutkan langkahnya, membawa Ragna dalam gendongannya tanpa memperhatikan tatapan terkejut yang terpancar dari para penghuni panti. Ragna hanya bisa membenamkan wajahnya di dada pria itu, merasakan kehangatan yang asing namun entah mengapa menenangkan.

"Kenapa?" bisik Ragna pelan, suaranya hampir tenggelam dalam angin.

"Mulai sekarang, kau putriku," jawab pria itu tanpa menoleh, suaranya datar namun tegas. "Aku nggak akan biarkan putriku terlihat hina." Langkahnya tetap mantap, perlahan meninggalkan panti asuhan yang suram itu.

Ragna terdiam dalam pelukannya, merasakan sesuatu yang asing menyelimuti dirinya. Bukan cinta, bukan pula kasih sayang, tetapi ada kehangatan yang aneh—dingin namun nyata. Seolah-olah pria itu berkata tanpa kata, bahwa ia tidak lagi sendirian, tidak lagi terbuang.

Ketika mereka tiba di luar gerbang panti, pria itu menghentikan langkahnya. Ia menatap bangunan tua itu sekilas, mata hitamnya menyiratkan sesuatu yang tak dapat ditebak. Keheningan sejenak menyelimuti mereka sebelum pria itu kembali melangkah.

Ragna melirik panti asuhan itu untuk terakhir kalinya, tempat yang selama ini ia kenal sebagai "rumah" meski penuh luka. Ada kelegaan dalam hatinya, tapi juga kegelisahan tentang apa yang menunggunya di luar sana. Ia tidak bertanya lagi. Ia hanya memeluk erat boneka usangnya, menggenggam satu-satunya hal yang membuatnya merasa aman di tengah ketidakpastian.

Langit mendung di atas mereka, angin dingin menerpa wajah Ragna, namun dalam gendongan pria itu, ia merasakan sedikit rasa aman. Mereka berjalan menyusuri jalan yang sepi, meninggalkan bayangan masa lalu Ragna di balik pintu gerbang panti yang mulai menutup.

🐾

Pria itu mendudukkan Ragna di atas ranjang yang empuk, membuat gadis kecil itu sedikit terpana dengan kenyamanan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Setelah itu, ia melepas jaket kulit hitamnya yang basah oleh hujan dan menggantungkannya di balik pintu kamar.

"Kita menginap di sini untuk malam ini," ucap pria itu sambil menatap ke luar jendela, di mana hujan badai mengguyur kota tanpa henti.

Ragna hanya mengangguk kecil sebagai jawaban, memeluk boneka usangnya erat-erat. Kakinya yang kecil menggantung di tepi ranjang, sementara ia memandangi pria itu dengan rasa penasaran yang tak berani diungkapkan.

"Om belum memperkenalkan diri," akhirnya Ragna memberanikan diri untuk berbicara, suaranya kecil namun terdengar di tengah suara hujan yang deras.

Pria itu menoleh, wajahnya tetap dingin namun ada sedikit kelembutan di balik matanya. "Aku lupa. Namaku Verio Jayaksha, yang mulai hari ini adalah ayahmu," ucapnya, suaranya tegas namun terdengar seperti janji yang takkan diingkari.

Ragna menatapnya sejenak, lalu menunduk sedikit, menggenggam bonekanya lebih erat. "Aku Ragna. Hanya Ragna. Aku nggak punya nama panjang seperti yang lainnya," ucapnya pelan, ada nada rendah diri dalam suaranya.

Verio terdiam beberapa saat, menatap gadis kecil itu yang tampak begitu rapuh di hadapannya. Ia mendekati ranjang, lalu duduk di samping Ragna. "Mulai sekarang, kau adalah Ragna Jayaksha," ucapnya datar, namun penuh keyakinan.

Ragna mendongak, menatap pria itu dengan mata membulat, hampir tak percaya. "Jayaksha?" ulangnya, suaranya bergetar pelan.

"Ya," jawab Verio singkat, matanya kembali menatap ke luar jendela yang dihiasi gemuruh petir. "Kau bagian dari keluargaku sekarang."

Ragna tidak berkata apa-apa lagi, tapi sesuatu di dalam dirinya mulai terasa sedikit lebih hangat. Untuk pertama kalinya, ia merasa memiliki tempat di dunia ini, meskipun bersama seseorang yang masih asing baginya.

"Terimakasih... Papa." Suara Ragna terdengar seperti bisikan.

Verio menoleh pelan ke arah Ragna, keningnya berkerut mendengar kata-kata itu. "Apa yang kau bilang?" tanyanya dengan suara rendah, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Ragna menunduk, menggigit bibir bawahnya sebelum berbisik, "Terimakasih... Papa." Suaranya kecil, tapi cukup jelas di tengah gemuruh hujan yang terus turun di luar sana.

Pria itu terdiam. Ia tidak tahu harus merespons bagaimana. Kata "Papa" itu terasa asing di telinganya—sesuatu yang belum pernah ia dengar diarahkan padanya. Pandangannya melembut, meskipun wajahnya tetap dingin seperti biasa.

"Kau benar-benar anak aneh," gumam Verio, namun ada nada samar yang terdengar seperti senyum dalam suaranya. Ia mengusap kepala Ragna dengan tangannya yang besar dan hangat, membuat gadis itu sedikit tersentak. "Jangan cepat percaya pada orang lain. Bahkan aku."

Ragna mengangguk kecil, tapi tidak mengelak dari sentuhan itu. Dalam keheningan, Verio kembali berdiri, melangkah ke jendela untuk mengamati badai yang tak kunjung reda. Sementara itu, Ragna duduk di ranjang, tangannya menggenggam erat bonekanya, dan untuk pertama kalinya, dia merasa nyaman mengucapkan kata "Papa."

Di luar, petir menyambar, menerangi ruangan sesaat. Namun di dalam kamar itu, ada kehangatan kecil yang mulai tumbuh, membalut dua hati yang tadinya sama-sama dingin dan terluka.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!