Menunggu selama empat tahun lebih tanpa kepastian, Anya bahkan menolak setiap pinangan yang datang hanya untuk menjaga hati seseorang yang belum tentu ditakdirkan untuknya. Ia tetap setia menunggu, hingga sebuah peristiwa membuat hidupnya dan seluruh impiannya hancur.
Sang lelaki yang ditunggu pun tak bisa memenuhi janji untuk melamarnya dikarenakan tak mendapat restu dari keluarga. Di tengah hidup yang semakin kacau dan gosip panas yang terus mengalir dari mulut para tetangga, Anya tetap masih berusaha bertahan hingga ia bisa tahu akan seperti apa akhir dari kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rijal Nisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Sasha Gagal!
Anya tidak habis pikir dengan Arya, padahal dia dan Windi sudah mengancamnya dengan hal yang sangat menakutkan.
"Dua orang yang sangat berarti dalam hidupnya kita jadikan sebagai jaminan. Kalau dia tidak segera kembali, maka adik dan ibunya akan mati mengenaskan, tapi dia malah mematikan handphonenya dan ngeblokir kita," ucap Windi dengan dua tangan terkepal. "Gue rasa b*j*ng*n itu emang kagak punya hati, Anya," tambah Windi.
"Dia tahu, Win. Dia tahu kalau kita bukan orang sekejam itu, mana mungkin berani menghilangkan nyawa orang, lagian ya, aku juga udah enggak butuh Arya. Kalau dia enggak mau bertanggung jawab, dan Sasha tidak mau merawat anaknya, maka aku yang akan merawat anak itu sendiri." Anya berkata dengan senyuman menghiasi wajahnya, dan ada harapan baru yang mulai muncul di kedua matanya.
"Serius! Gue kayak enggak percaya gitu, lo enggak lagi bercanda kan?" Windi masih tidak percaya, merawat anak bukanlah hal mudah.
Anya sudah berkorban banyak hal untuk Sasha, dia selalu mengutamakan kebahagiaan adiknya. Namun, Sasha tidak pernah melihat kebaikan Anya.
"Aku serius!" jawab Anya mantap.
"Kalau lo udah nikah, tu anak gimana?"
"Aku bisa mengatasi itu, Win. Kamu enggak usah khawatir, dan mungkin aku enggak akan menikah."
Pengakuan Anya dalam sekejap merubah ekspresi tenang di wajah Windi.
"Apa!?"
"Kamu enggak dengar?"
Anya bertanya sekali lagi, Windi terlihat bengong saking kagetnya dengan omongan Anya.
"Yang bener? Anya, jangan membuat keputusan seperti itu, lo belum gila kan? Jangan bilang keputusan lo ini karena gagal nikah sama Rizki?"
Lagi lagi Anya tersenyum. "Bukan karena dia, Win. Aku punya alasan sendiri, tapi kalau nanti Allah memberikan aku jodoh di dunia ini, maka aku tidak bisa menolak, karena itu takdirku."
Windi ingin bertanya lebih jauh, tapi ia menghargai keputusan sahabatnya. Mungkin alasan Anya terlalu privasi untuk diketahui orang lain, jadi biarlah itu hanya dirinya sendiri dan Allah yang tahu.
”Tidak ada lagi keinginan untuk menikah di hati aku, karena aku yakin mereka yang ingin menjadikan aku bagian dari hidup mereka, pastinya akan mencari segala sesuatu tentang keluarga aku. Di situ, baik buruknya keluargaku, mereka akan tahu. Pada akhirnya aku juga akan ditinggalkan sama seperti apa yang dilakukan oleh Rizki.”
Anya berbisik dalam hati, dipandanginya langit sore itu yang kian redup karena matahari sudah hilang perlahan-lahan.
Pantai yang mereka datangi begitu tenang, Anya bisa merilekskan pikirannya di sana. Windi menatap Anya yang sedang memejamkan matanya, dia penasaran, mungkinkah Anya sedang berdoa?
"Doain apa, Nya?"
"Hanya berusaha membuang semua beban pikiran aja, Win," jawab Anya datar.
"Eh, bentar ya! Handphone gue bunyi." Windi segera merogoh saku celananya, dia menerima telpon dari anak buahnya.
Tanpa sepengetahuan Anya, sebenarnya Windi sudah menyuruh beberapa orang untuk terus memantau keadaan di sekeliling rumahnya, Windi khawatir kalau Sasha akan berbuat nekat.
"Apa!?"
Suara keras Windi membuat Anya kaget bukan main, nyaris saja jantungnya copot keluar.
Windi diam-diam menatap Anya yang juga sedang memperhatikannya.
"Oke, kalian awasi anak itu!" titah Windi pada anak buahnya sebelum panggilannya berakhir.
Entah kabar apa yang dia dapat, hingga membuatnya terlihat syok dan gelisah seperti itu.
"Anak buah kamu lagi? Ngomong apa mereka?" tanya Anya begitu obrolan Windi selesai.
"Anya, adi_"
"Tunggu! Ada panggilan masuk dari ibu," sela Anya sebelum Windi menyelesaikan ucapannya, padahal apa yang akan disampaikan Windi juga sama pentingnya.
"Assalamualaikum, Bu!"
"Waalaikumsalam, Anya. Sa- adikmu_"
"Bu, Ibu tenang dulu!" ucap Anya, ia menyadari kalau ibunya sedang panik di seberang sana. Napasnya bahkan terdengar memburu dan tak beraturan.
Windi sudah menduga kalau ibu Anya pasti hendak mengabarkan tentang Sasha yang pergi dari rumah.
"Sasha enggak ada di rumah, ibu enggak tahu dia ke mana! Tadi mau ibu panggil untuk makan, karena dia enggak makan dari tadi pagi. Kamu harus cepat-cepat pulang, ibu tunggu!"
"Bu, Ibu yang tenang di rumah ya. Enggak usah panik, soal Sasha biar Anya yang urusin," ucap Anya berpesan, dan setelah itu obrolan mereka pun berakhir.
"Adik lo ada di tempat aborsi," kata Windi memberi tahu.
"Di tempat aborsi? Dia benar-benar gila! Kok kamu tahu?" Anya menatap curiga ke arah sahabatnya.
Windi segera menarik tangan Anya dan mengajaknya pergi dari pantai itu. "Jangan banyak nanya, ayo kita pergi dan nyusul adik lo!"
Anya tidak banyak bertanya lagi, dia berjalan mengekori Windi yang masuk ke mobil.
.
.
Lima belas menit perjalanan, akhirnya mereka tiba di tempat praktek Dokter Eliza.
Tempat prakteknya berada jauh dari pusat kota, tempat itu terkesan sepi. Kiri kanan di penuhi dengan rumah warga yang sudah terbengkalai. Hanya tempat praktek Dokter Eliza yang terlihat begitu terawat dan masih bagus, Windi menepikan mobilnya dan mereka sama-sama turun.
Dua anak buah Windi segera datang menghampiri begitu melihatnya datang.
"Bos, dia sudah masuk ke dalam!" kata salah satu anak buahnya.
"Gawat! Gimana kalau kita terlambat, Windi." Anya berubah pucat, digenggamnya ujung jilbabnya dengan kuat, dia tidak bisa membayangkan apa yang sedang terjadi di dalam sana.
"Kamu jangan panik dulu, kita masih belum terlambat. Aku yakin mereka belum melakukannya," ucap Windi menenangkan.
"Kalau begitu kita langsung masuk aja!" ajak Anya, ia menarik tangan Windi agar mengikutinya.
"Tunggu!" Dua anak buah Windi segera mencegahnya.
"Kenapa?" Windi mengerutkan keningnya karena bingung.
"Kami juga harus ikut! Di depan ini memang terlihat aman, tapi dokter Eliza selalu menyuruh beberapa orang untuk mengawal tempat prakteknya ini. Para pengawal itu pasti sedang berada di depan ruang tempat Sasha aborsi," terang anak buah Windi.
Mereka sudah tahu bagaimana cara kerja dokter Eliza, dan dia tidak mudah diprovokasi.
Dokter Eliza sangat menjaga privasi pasiennya, kalau pun mereka saudara dari pasien, dan pasien sendiri tidak mau bertemu dengan keluarganya, maka dokter Eliza juga tidak akan mengizinkan mereka masuk.
Tanpa berlama-lama lagi, keduanya langsung masuk, begitu juga dengan dua anak buah Windi.
Dari luar tampak begitu aman, begitu membuka pintu, beberapa orang sedang berjaga di sana.
Wajah para penjaga itu tampak sangar, mereka langsung menebak kalau Anya dan teman-temannya pasti hendak membuat keributan di sana.
"Hei, siapa kalian?" tanya para penjaga itu.
Untuk sesaat, Anya dan Windi terpaku melihat dua anak perempuan yang memakai seragam SMA berada di sana. Tak perlu ditanya lagi, mereka berdua pasti hendak melakukan hal yang sama seperti Sasha.
"Mau apa kalian?" bentak penjaga bertanya, saat tak satu pun di antara mereka yang memberikan jawaban.
"Lihat di belakang kami!" suruh Windi dengan gaya khasnya.
"Kami ingin mengobrak-abrik tempat ini," sambung Anya tanpa takut dengan tiga orang yang bertubuh tinggi dan besar itu.
"Jangan macam-macam di sini! Bos kami tidak ada urusan dengan kalian!"
Mendengar keributan di luar ruangan, dokter Eliza pun keluar.
"Dok, itu pasti kakak saya. Tolong jangan biarkan dia masuk ke sini!"
Dokter Eliza menoleh sejenak, dan ia kemudian tersenyum ke arah Sasha diiringi dengan anggukan kepalanya.
Sasha yang sudah tiduran di bankar mulai merasa tidak tenang. Ia tahu yang dilakukannya saat ini tidak benar, tapi dia tidak mau menanggung malu hingga akhir hidupnya dengan membawa anak di luar nikah itu.
Sekarang dirinya telah menjadi bahan pergunjingan warga disebabkan dengan video yang viral itu, dan jika anak itu lahir, dia juga akan menderita seumur hidupnya, itulah yang Sasha pikirkan saat ini.
"Mbak yang tenang ya, tetap rileks. Saya yakin kalau dokter Eliza pasti bisa mengatasi masalah ini," kata si suster yang ikut menenangkan Sasha.
"Apa hal seperti ini sering terjadi, Sus?" tanya Sasha, keningnya mulai berpeluh.
"Sudah dua kali yang seperti ini terjadi, dan ini yang ketiga kalinya. Beberapa bulan yang lalu juga terjadi hal serupa, tapi ini yang datang adalah keluarga dari pihak lelaki, mereka tidak ingin cucunya digugurkan," ungkap suster itu bercerita.
Sasha terdiam, ia mulai berandai. Andai saja keluarga Arya juga begitu, mungkin dia tidak akan merasa sesakit ini. Mungkin keluarga Arya juga tidak mau merawat anak yang ada dalam perutnya sekarang, Arya saja yang seharusnya bertanggung jawab malah lebih memilih pergi, mana mungkin orang yang sama sekali tidak berbuat kesalahan mau bertanggung jawab untuk anak yang dikandungnya saat ini.
Tak terasa Sasha malah meneteskan air matanya, mengingat betapa bodohnya dia sebagai seorang perempuan yang tanpa pikir panjang mengorbankan kehormatannya demi lelaki brengsek seperti Arya.
Di luar ruangan, suasana semakin memburuk dan tak terkontrol.
"Maaf, Dok. Kami hanya ingin membawa Sasha pulang," kata Anya. Ia masih mencoba bersikap baik.
"Maaf juga karena saya tidak akan membiarkan kalian membawanya pergi dengan mudah. Dia pasien saya, dan dia juga tidak mau kalian mengganggunya! Jadi, tolong kalian pergi dari sini, selagi saya masih bersikap baik." Dokter Eliza menyuruh mereka keluar, tangannya menunjuk ke arah pintu yang masih terbuka.
"Kami tidak akan pergi sebelum berhasil membawa dia keluar dari tempat ini," tambah Windi.
Dokter Eliza menarik napas dalam-dalam, dia tidak ingin terjadi kekacauan di tempat kerjanya. Namun, melihat keteguhan hati dua gadis di depannya, tentu mereka tidak bisa diingatkan secara halus, jadi dokter itu terpaksa menyuruh anak buahnya untuk membereskan Anya dan temannya.
"Saya tidak punya waktu untuk meladeni kalian, jadi maaf kalau harus melakukan hal kasar. Jonas, Vanno, seret anak-anak ini keluar!" suruhnya seraya berlalu pergi dan kembali ke ruangan, tempat di mana Sasha masih menunggunya dengan harap-harap cemas.
"Bos, sebaiknya kalian segera pergi menyusul dokter Eliza. Biar kami yang melawan tiga preman pasar ini," kata Yogi.
Anya dan Windi pun beranjak dari sana, perkelahian sengit tak bisa dielakkan. Tempat praktek dokter Eliza jadi kacau balau dalam sekejap, dan dua orang kepercayaan Windi berhasil mengalahkan mereka.