NovelToon NovelToon
I Adopted Paranormal Dad

I Adopted Paranormal Dad

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Reinkarnasi / Pendamping Sakti
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Matatabi no Neko-chan

Setelah sembilan belas kehidupan yang penuh penderitaan, Reixa terbangun kembali di usianya yang kesembilan tahun. Kali ini dengan gilanya, Reixa mengangkat seorang pria sebagai ayahnya, meninggalkan keluarganya setelah berhasil membawa kabur banyak uang.
Namun, siapa sangka Reixa membangkitkan kemampuannya dan malah berurusan hal di luar nalar bersama ayah angkatnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7

"Bagaimana keadaannya, Dokter?" tanya Saverio pada seorang dokter paruh baya yang tengah memeriksa Reixa. Nada suaranya terdengar serius, mencerminkan kekhawatiran yang mendalam.

Dokter itu menutup buku catatannya dengan tenang. "Kondisinya cukup stabil. Setelah ini, dia boleh pulang, asal tetap menjaga istirahat dan tidak memaksakan diri," ucapnya singkat namun tegas, sebelum beralih menatap Reixa. "Jangan lupa kontrol lagi dalam seminggu."

Mendengar kabar itu, mata Reixa berbinar. Gadis kecil itu nyaris melompat dari tempat tidur, andai tubuhnya tidak terasa masih lemah. Dia sudah muak mencium aroma obat-obatan khas rumah sakit yang membuat perutnya mual. Dalam beberapa kehidupan sebelumnya, ia pernah mengalami tragedi mengerikan di tempat seperti ini, termasuk meninggal dengan tragis di ruang operasi. Kenangan itu membuat punggungnya dingin.

Saat dokter berbalik hendak pergi, tatapan Reixa tak sengaja bertemu dengan sesosok gadis remaja yang berdiri di dekat pintu. Wajah gadis itu tampak murung, matanya redup, seolah ingin mengatakan sesuatu. Reixa terdiam. Sosok itu tidak seperti manusia biasa. Ia mulai menyadari bahwa gadis itu bukanlah pasien lain, melainkan sesuatu yang hanya bisa dilihatnya.

Kilasan peristiwa tiba-tiba muncul di kepala Reixa, seperti adegan film yang diputar cepat. Ia melihat masa lalu gadis itu: sakit-sakitan, diabaikan oleh ayahnya, kehilangan ibunya, hingga akhirnya dibunuh secara keji oleh sepupunya sendiri. Tubuh gadis itu dikubur di bawah lantai apartemen tanpa ada yang tahu. Kebohongan yang disusun rapi membuatnya diingat hanya sebagai remaja yang "kabur" bersama kekasihnya.

Reixa terengah, menyentuh pelipisnya. Kilasan itu terlalu jelas, terlalu nyata. "Om..." panggilnya lirih pada Saverio, yang langsung menoleh dengan ekspresi khawatir.

"Ada apa, Rei? Kau sakit?" Saverio menghampirinya, memperhatikan perubahan raut wajah gadis kecil itu.

Reixa menunjuk ke arah sosok gadis yang kini berdiri diam di sudut ruangan. "Om, kau lihat dia?" tanyanya, suaranya hampir berbisik.

Saverio menatap ke arah yang ditunjuk, tetapi hanya mengerutkan kening. "Tidak ada siapa-siapa di sana, Rei. Kau pasti masih lelah."

Reixa menggigit bibirnya, menunduk. Dalam hati, ia tahu apa yang dilihatnya adalah sesuatu yang nyata, meski hanya untuknya. Gadis itu masih berdiri di sana, menatapnya dengan ekspresi memohon. Suaranya bergema samar di kepala Reixa. "Tolong aku..."

"Hai..."

Suara lembut itu tiba-tiba terdengar, membuat Reixa berjengit kaget. Ia menoleh, tetapi tidak ada siapapun di sana—kecuali pria tampan bersurai putih yang berdiri di dekat jendela dengan ekspresi datar. Sosok itu memandangnya seolah tak terpengaruh oleh suasana.

Reixa menelan ludah, mencoba menenangkan diri. Dalam hati, ia berpikir bahwa berurusan dengan makhluk tak kasat mata seperti ini jauh lebih baik daripada berurusan dengan manusia yang sering kali menyakitinya di kehidupan sebelumnya. Setidaknya, mereka tidak mengkhianati.

"Ada apa, Kak?" tanya Reixa, memberanikan diri untuk membuka percakapan. Suaranya bergetar, tapi rasa ingin tahunya tak bisa ditekan.

Sosok gadis remaja itu melayang mendekat, wajahnya penuh dengan kesedihan. "Aku ingin beristirahat dengan tenang," katanya lirih, namun suaranya terdengar jelas di telinga Reixa. "Bisa tolong beritahu ayahku? Dia adalah dokter yang memeriksamu tadi. Bilang padanya, aku dikuburkan di lantai kamar apartemenku."

Reixa memandang sosok itu dengan tatapan bingung dan ragu. "Kenapa tidak kau saja yang memberitahunya?" tanyanya spontan.

Gadis itu menunduk, bibirnya bergetar. "Dia tidak bisa melihatku... tidak pernah bisa mendengarku. Kau satu-satunya yang bisa," pintanya dengan suara yang hampir bergetar.

Reixa tampak berpikir sejenak, menimbang permintaan tersebut. Dia kemudian melirik pria bersurai putih yang masih diam di tempatnya. Sosok pria itu mengangguk pelan, memberi semacam dukungan tanpa kata.

"Baiklah," akhirnya Reixa menjawab, meskipun ada keraguan di dalam dirinya. "Aku akan mencoba. Semoga dia percaya padaku."

Senyum tipis muncul di wajah gadis itu. "Terima kasih," ucapnya pelan sebelum perlahan menghilang seperti kabut yang diterpa angin.

Reixa menghela napas, memejamkan mata sejenak untuk menenangkan diri. Namun, dalam hatinya, ia sudah bertekad untuk menjalankan permintaan tersebut, apa pun risikonya.

"Kamu sudah boleh pulang siang ini, Nak," ucap dokter itu seraya melepaskan infus dari tangan Reixa dengan hati-hati.

Mata Reixa berbinar ceria, seolah-olah dunia yang suram kini penuh warna. Dia menoleh pada Saverio dan berseru penuh semangat, "Hore! Om Rio, akhirnya aku bebas!"

Saverio hanya tersenyum tipis sambil mengelus puncak kepala Reixa dengan lembut. Bagaimanapun, gadis kecil itu kini sudah resmi menjadi tanggung jawabnya sebagai anak asuh. Dia merasa lega melihat semangat hidup kembali di mata Reixa setelah beberapa hari suram di rumah sakit.

Dokter itu menyimpan peralatannya dengan tenang, sebelum tersenyum tipis ke arah mereka. Namun, saat dia bersiap pergi, suara kecil Reixa menghentikannya.

"Pak Dokter," panggil Reixa polos, membuat dokter paruh baya itu menoleh dengan alis sedikit terangkat.

"Ada apa, Nak?" tanyanya dengan suara ramah.

"Aku bermimpi semalam," ujar Reixa sambil menatap dokter itu dengan wajah serius, berbeda dari biasanya. "Dalam mimpiku, ada sesuatu yang terkubur di lantai kamar di apartemen yang Pak Dokter tinggali."

Perkataan Reixa membuat sosok tak kasat mata yang berdiri di samping dokter itu tersenyum penuh harap, seolah momen yang ditunggu akhirnya tiba.

"Hmmm? Pak Dokter punya anak perempuan, kan?" tanya Reixa lagi, nada suaranya penuh rasa ingin tahu.

Dokter itu terdiam, ekspresinya berubah kaku sejenak sebelum menjawab pelan, "Ya, benar."

"Apakah anak Pak Dokter sakit?" tanya Reixa tanpa ragu. "Aku bermimpi dia meninggal di kamarnya. Kalau nggak percaya, Pak Dokter bisa cek kok."

Kata-kata itu menusuk seperti duri kecil yang tidak terlihat, tapi sangat terasa. Wajah dokter itu tampak menegang sesaat, meskipun ia mencoba mempertahankan ketenangannya.

Saverio, yang ikut mendengar percakapan itu, bertanya dengan nada penuh rasa ingin tahu, "Kau sungguh bermimpi seperti itu, Rei?"

Reixa mengangguk cepat. "Aku udah sering mimpi seperti ini, Om. Setelah orang tuaku meninggal, aku bermimpi paman dan nenek membenciku. Eh, kejadian. Mereka bahkan mengusirku," katanya dengan nada polos khas anak-anak.

Saverio menatap Reixa, sedikit heran. "Bukannya dia yang ngotot pergi dari rumahnya sendiri?" pikirnya dalam hati. Namun, ia memilih tidak menyuarakan kebingungannya.

Dokter itu masih diam, matanya tampak menerawang, seolah ada sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya. Akhirnya, dengan suara pelan, ia berkata, "Aku akan memeriksanya nanti. Terima kasih sudah memberitahuku, Nak."

Sosok tak kasat mata di samping dokter itu tampak semakin cerah, seolah beban berat mulai terangkat dari dirinya. Reixa hanya menatap sosok itu, memberikan senyuman kecil sebelum berbisik pada dirinya sendiri, Semoga kau bisa istirahat dengan tenang.

.

Sebuah kamar tidur khas perempuan remaja tampak sunyi, meski memancarkan nuansa ceria dengan beberapa foto dan piagam terpajang di dindingnya. Di tengah-tengah ruangan, beberapa penyidik berkumpul, memusatkan perhatian pada lantai keramik yang tampak mencurigakan.

"Kenapa keramiknya terpasang tidak rata seperti ini?" tanya Dirga dengan dahi berkerut, entah kepada siapa.

"Maksudmu?" sahut Reiva, ikut mendekat dengan tatapan penasaran.

Dirga menunjuk ke arah lantai. "Coba perhatikan keramik-keramik ini. Secara keseluruhan, pemasangannya rapi dan presisi, meskipun mereka disusun secara acak. Tapi lihat keramik yang ada di tengah ruangan itu."

Reiva mengamati arah tunjuk Dirga. "Benar. Keramik itu terlihat berantakan, seperti dipasang buru-buru," ucapnya perlahan.

Dirga menunduk, memperhatikan lebih detail. "Sepertinya ada sesuatu yang terkubur di bawah lantai ini. Semennya masih terlihat baru dibandingkan keramik lainnya."

Reiva mengangguk pelan. "Ayo kita bongkar," katanya dengan nada tegas.

Dokter yang telah memanggil tim penyidik setelah mendengar cerita Reixa, berdiri tak jauh dari situ. Wajahnya tegang, matanya tak lepas dari aktivitas para penyidik yang mulai menggali lantai keramik di kamar mendiang putrinya. Setiap goresan sekop pada lantai semakin menambah beban di hatinya.

Setelah beberapa saat, mereka akhirnya menemukan sesuatu. Dengan hati-hati, tim penyidik mengangkat sesosok jasad perempuan muda yang tubuhnya terkubur di bawah lapisan semen. Bau anyir bercampur dengan suasana tegang yang memenuhi ruangan.

Dokter itu terpaku. Matanya menatap kosong ke arah jasad yang mulai teridentifikasi sebagai putrinya. Sosok yang selama ini ia abaikan karena terlalu larut dalam pekerjaannya. Penyesalan yang mendalam menyelimuti pria itu, menghapus semua kata-kata yang semula ingin diucapkannya.

Salah satu penyidik menatapnya dengan empati. "Kami akan segera melakukan identifikasi resmi, Pak. Tapi dugaan awal kami, ini putri Anda."

Dokter itu memejamkan matanya sejenak, berusaha menahan air mata. Tatapannya penuh kesedihan dan rasa bersalah yang tidak akan pernah bisa ditebus. "Maafkan Ayah..." bisiknya pada dirinya sendiri, meskipun dia tahu suara itu tak akan pernah sampai kepada putrinya.

 

Keesokan harinya, berita tentang penemuan jasad di kamar apartemen seorang dokter menjadi sorotan media. Reixa memperhatikan layar televisi di ruang tamu bersama Saverio. Nama dokter itu disebutkan beberapa kali, dan wajahnya yang muram terpampang jelas.

"Om, itu dokter yang kemarin." Reixa menunjuk layar dengan ekspresi bingung.

Saverio mengangguk, menyesap kopi paginya. "Ya, itu dia. Sepertinya kasus ini menarik perhatian besar. Tapi kurasa dia masih dalam masa berat sekarang."

Reixa terdiam sejenak, lalu menatap Saverio. "Om, kalau aku ada di posisinya, kira-kira aku bakal nyesel nggak? Kalau aku jadi anak itu..."

Saverio menoleh, menatap Reixa dengan serius. "Semua orang punya penyesalan, Rei. Tapi yang penting adalah bagaimana kita memperbaikinya. Kamu sudah melakukan sesuatu yang berarti untuk dokter itu dan putrinya. Itu sudah luar biasa."

Reixa tersenyum tipis. "Aku cuma bilang apa yang aku lihat, Om. Tapi... Kalau anak itu tenang sekarang, aku rasa itu sudah cukup."

 

Di rumah sakit, dokter itu duduk termenung di kursinya, memandangi foto putrinya yang masih tergantung di meja kerjanya. Ia merasa hampa, meskipun kebenaran akhirnya terungkap.

"Maafkan ayah..." gumamnya pelan, suaranya serak menahan tangis.

Di sudut ruangan, arwah gadis remaja itu berdiri, kini dengan senyum yang lebih cerah. Dia mendekati ayahnya, meski tahu bahwa ia takkan terlihat atau terdengar.

"Terima kasih sudah menemukanku, Ayah," bisiknya lembut, sebelum perlahan-lahan menghilang.

Sebuah rasa damai yang aneh menyelimuti dokter itu, seolah-olah meski tanpa kata, dia tahu bahwa putrinya telah memaafkannya.

 

Malam itu, Reixa terbangun dari tidurnya karena mendengar suara pelan di dekat jendela. Dia membuka mata dan melihat sosok gadis bersurai putih berdiri di sana, dengan senyum lemah tapi penuh rasa terima kasih.

"Terima kasih, Reixa. Karena kamu, aku bisa pergi dengan tenang."

Reixa hanya bisa menatapnya, terlalu terkejut untuk merespons. Gadis itu melambaikan tangan sekali lagi sebelum menghilang, meninggalkan ruangan itu dalam keheningan.

Reixa menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke tempat tidur. "Satu selesai," gumamnya pada dirinya sendiri. "Semoga kali ini aku bisa tidur nyenyak."

Tapi jauh di dalam hatinya, Reixa tahu bahwa ini hanyalah awal dari banyak hal lainnya yang akan ia hadapi. Dan meskipun berat, dia berjanji pada dirinya sendiri untuk terus melangkah, apa pun yang terjadi.

Saverio Archandra

Reixa Rheantari

(10 tahun)

Reixa versi remaja

1
Astuty Nuraeni
Reixa masih 10 tahun pak, tentu saja masih kanak kanak hehe
Ucy (ig. ucynovel)
secangkir ☕penyemangat buat kak author
Ucy (ig. ucynovel)
reinkarnasi ya
Citoz
semangat kk 💪
Buke Chika
next,lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!