Pinky, gadis rusuh dan ceplas-ceplos, tergila-gila pada Dev Jaycolin meski cintanya selalu ditolak. Suatu kejadian menghancurkan hati Pinky, membuatnya menyerah dan menjauh.
Tanpa disadari, Dev diam-diam menyukai Pinky, tapi rahasia kelam yang menghubungkan keluarga mereka menjadi penghalang. Pinky juga harus menghadapi perselingkuhan ayahnya dan anak dari hubungan gelap tersebut, membuat hubungannya dengan keluarga semakin rumit.
Akankah cinta mereka bertahan di tengah konflik keluarga dan rahasia yang belum terungkap? Cinta Gadis Rusuh & Konglomerat adalah kisah penuh emosi, perjuangan, dan cinta yang diuji oleh takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Pinky melangkah di koridor hotel dengan langkah santai, matanya tajam mengamati sekitar. Sesekali, ia melirik ke arah tangga yang menuju lantai atas. Dari kejauhan, ia melihat seorang pria berdiri tegap di anak tangga, wajahnya penuh wibawa. Ia tak bisa mengalihkan pandangan dari pria itu.
"Kenapa pria ini terasa tidak asing? Siapa dia?" gumam Pinky pelan, namun cukup jelas untuk didengar oleh dirinya sendiri.
Di anak tangga, pria itu, Dev Jaycolin, berdiri dengan tenang, memandang lurus ke depan seakan tak peduli pada hiruk pikuk di sekitarnya. Seorang pria muda, asisten pribadinya, mendekat dan berbisik.
"Tuan, acara akan segera dimulai," ujarnya penuh hormat.
Namun, Dev hanya mengibaskan tangan dengan malas, pandangannya tetap tajam. "Biarkan saja," jawabnya singkat sambil melangkah menaiki anak tangga dengan gaya penuh percaya diri.
Pinky memperhatikan gerak-gerik Dev dengan penuh rasa penasaran. Mendadak, ia menyunggingkan senyum, wajahnya berubah ceria. "Ternyata kamu, pria yang di kolam itu," katanya dengan nada cukup keras.
Langkah Dev terhenti. Ia menoleh perlahan ke arah Pinky, ekspresinya berubah dalam sekejap. Matanya yang tajam kini dipenuhi dengan kecurigaan, dan raut wajahnya menjadi begitu menakutkan.
"Ternyata kamu sangat tampan," lanjut Pinky tanpa gentar, matanya berbinar. "Saat itu terlalu gelap, jadi aku tidak bisa melihat wajahmu dengan jelas."
Dev mengabaikannya. Tanpa sepatah kata, ia menuju ke arah koridor dan mulai menjauh, berusaha menghindari interaksi lebih lanjut dengan gadis itu.
"Eh... aku sedang bicara denganmu! Kenapa diam saja?" tanya Pinky sambil berusaha menarik ujung gaun pengantin yang panjang agar lebih leluasa mendekat.
Melihat itu, asisten Dev memotong, menatap Pinky dengan sopan namun tajam. "Nona, apakah Anda pengantin Jimz?"
"Benar!" jawab Pinky tanpa ragu, ekspresinya tetap penuh percaya diri.
Pinky lalu melanjutkan dengan nada polos, "Tuan, apakah adikmu baik-baik saja? Aku hampir melukainya saat itu." Ucapannya sontak menghentikan langkah Dev.
Dev berhenti seketika, bahunya menegang. Ia mengepalkan tangan, seolah menahan diri agar emosinya tidak meledak.
Pinky mendekat, sedikit tersenyum. "Aku sempat memikirkan adikmu. Apa dia masih bisa diselamatkan atau tidak? Tapi sekarang melihatmu di sini, berjalan dengan baik, seharusnya itu tidak masalah."
Emosi Dev memuncak, suaranya berat namun dingin ketika ia berkata, "Kalau kau bicara lagi, percaya atau tidak, aku akan melemparmu ke jurang."
Namun Pinky tetap tenang, bahkan tersenyum tipis. "Kenapa kau malah emosi? Aku hanya perhatian padamu."
Dev menggeleng pelan, menatap Pinky dengan pandangan tajam. "Lebih baik kau kembali menjadi seorang pengantin daripada ikut campur dalam urusanku." Ia berbalik, bersiap meninggalkan tempat itu.
Namun Pinky tidak menyerah. "Hei, sebentar. Apakah kau bisa membantuku, untuk kali ini saja?" pintanya dengan nada memelas.
"Nona, bantuan apa yang Anda maksud?" Asisten Dev yang menjawab, berusaha menjaga jarak antara bosnya dan gadis aneh ini.
"Tolong bawa aku pergi dari sini!" seru Pinky penuh harap.
Dev menatapnya dengan ekspresi dingin. "Lebih baik kau menjauh dariku mulai detik ini. Jangan sampai aku melihatmu lagi," kecamnya sebelum melangkah pergi.
"Sombong sekali!" gumam Pinky, namun ia tiba-tiba melihat seseorang menaiki tangga. Wajahnya berubah pucat. Dengan cepat, ia meraih lengan Dev dan menariknya masuk ke salah satu ruangan di koridor.
"Tuan!" seru asisten Dev, bingung melihat tindakan mendadak Pinky.
"Lepaskan tanganmu!" bentak Dev, suaranya tajam, mencoba melepaskan diri dari genggamannya.
Namun Pinky menoleh dengan wajah panik. "Tolong, jangan bicara dulu. Pria itu adalah ayahku. Aku tidak ingin dia tahu aku di sini!" bisiknya terburu-buru.
Dev mendesah panjang, jelas tidak ingin terlibat. "Jangan libatkan aku," balasnya dingin.
Namun suara bentakan Dev memancing perhatian Mark, pria yang dimaksud Pinky. Mark berhenti di depan ruangan, matanya menyipit, curiga. "Siapa yang ada di dalam?" tanyanya pada asisten Dev.
"Atasan saya sedang berbicara dengan kliennya," jawab asisten itu dengan tenang, mencoba menghalangi langkah Mark.
Sementara itu, di dalam ruangan, Dev mencoba meninggalkan kamar, tetapi Pinky menahan langkahnya. Ketakutan yang memuncak mendorongnya melakukan sesuatu yang tidak terduga. Ia mendorong Dev ke dinding dan, tanpa ragu, mencium bibirnya.
Mata Dev membulat. Ia membeku, tidak percaya gadis yang baru saja ditemuinya melakukan hal ini. Pinky, di sisi lain, hanya berharap aksinya berhasil membuat pria itu terdiam.
Pinky memeluk leher pria itu dengan erat, tubuhnya menempel pada Dev, membuat pria itu tak bisa melepaskan diri dari ciuman mendadak gadis tersebut. Dev mencoba menarik wajahnya, namun kekuatan Pinky yang penuh ketakutan justru semakin erat.
Langkah kaki terdengar mendekat dari luar, membuat jantung Pinky berdetak semakin cepat. Namun, tidak lama kemudian, suara itu mereda dan menjauh. Mark, tanpa mencurigai apa pun, akhirnya pergi dari koridor.
Mendengar langkah kaki yang semakin jauh, Pinky melepaskan ciumannya. Wajahnya memerah, tetapi matanya tetap penuh percaya diri.
Dev menatap gadis itu dengan tajam, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Ia mengelap bibirnya dengan kasar menggunakan punggung tangannya, tatapan penuh frustrasi. "Apa kau sudah gila? Kau adalah seorang gadis. Kenapa tidak bisa menjaga jarakmu?" tegurnya dengan nada tajam.
Namun Pinky, bukannya merasa bersalah, justru tersenyum tipis. "Aku telah memberikan ciuman pertamaku padamu. Bagaimana kalau kita menikah saja?" katanya dengan nada santai, seolah-olah hal itu adalah tawaran yang masuk akal.
Dev menghela napas panjang, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. "Tidak waras!" jawabnya singkat, lalu berbalik meninggalkan gadis itu. Wajahnya mencerminkan frustrasi yang luar biasa.
Beberapa saat kemudian, acara pertukaran cincin dimulai di aula besar yang dipenuhi tamu undangan. Musik lembut mengalun, menciptakan suasana sakral. Pinky berjalan perlahan ke pelaminan, mengenakan gaun putih panjang yang memukau. Namun, sorot matanya tampak kosong, seperti sedang memikirkan sesuatu.
Pengantin pria, Jimz, berdiri dengan senyum lebar di hadapan Pinky. Ia mengambil cincin emas dari kotak beludru kecil, bersiap untuk menyematkannya ke jari manis calon istrinya.
Di tengah kerumunan tamu, Ruby duduk dengan anggun, senyumnya penuh arti saat ia menyaksikan momen itu. Sementara itu, di sisi lain, Dev duduk di kursi tamu dengan malas, ekspresinya datar. Tangannya menopang dagu, menunjukkan betapa ia tidak tertarik pada acara yang berlangsung.
"Tuan," bisik asistennya yang berdiri di sampingnya, mendekat untuk memberikan informasi. "Dengar kabar, pihak pengantin pria mengalirkan banyak uang kepada keluarga pengantin wanita agar pernikahan ini segera terlaksana. Mereka bahkan tidak peduli siapa menantu mereka."
Dev menoleh sedikit, memberikan pandangan dingin kepada asistennya. "Hubungan mereka tidak akan bertahan lama," komentarnya dengan nada datar.
Tiba-tiba, suara langkah terburu-buru terdengar di pintu aula. Seorang wanita cantik dengan rambut hitam panjang masuk, wajahnya memerah karena emosi. Tubuhnya terlihat sedikit berisi, membuat gaun ketat yang dikenakannya tampak sesak.
"Jimz!" serunya dengan nada tinggi, memecah suasana khidmat. Semua mata langsung tertuju padanya, termasuk Dev yang kini sedikit menegakkan tubuhnya, penasaran. "Berani sekali kau menikahi wanita lain! Bagaimana dengan anak kita?" lanjutnya penuh amarah, matanya menatap Jimz tajam.
"Anak?" gumam Pinky, suaranya hampir tak terdengar. Ia menoleh ke arah Jimz dengan ekspresi bingung dan terkejut.
Keributan kecil mulai terjadi di antara para tamu. Bisik-bisik terdengar dari berbagai sudut aula.
Jimz tampak pucat. Keringat dingin membasahi dahinya saat ia mencoba memberikan penjelasan.
Namun, wanita itu tidak memberinya kesempatan untuk berbicara. "Kau pikir aku akan membiarkanmu hidup bahagia setelah meninggalkanku dan anak kita begitu saja?" katanya dengan suara lantang, membuat suasana semakin tegang.