Setelah dituduh sebagai pemuja iblis, Carvina tewas dengan penuh dendam dan jiwanya terjebak di dunia iblis selama ratusan tahun. Setelah sekian lama, dia akhirnya terlahir kembali di dunia yang berbeda dengan dunia sebelumnya.
Dia merasuki tubuh seorang anak kecil yang ditindas keluarganya, namun berkat kemampuan barunya, dia bertemu dengan paman pemilik tubuh barunya dan mengangkatnya menjadi anak.
Mereka meninggalkan kota, memulai kehidupan baru yang penuh kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Mereka akhirnya tiba di rumah setelah senja merangkak menuju peraduan. Saat Althea membuka pintu rumah, Reina dengan cepat mendorong gadis itu ke samping dan menarik Ivanna yang berjalan di belakang Leon, menggantikan posisi Althea dengan gesit. Baru saja mereka melangkah masuk, seekor kelelawar terbang dengan kecepatan tinggi, meluncur langsung ke arah mereka.
"Plak!"
Kelelawar itu mendarat dengan nyaman di wajah Ivanna, membuatnya terkejut. Althea yang hendak berteriak marah, tiba-tiba terdiam saat melihat raut wajah Reina yang penuh amarah mengarah ke kelelawar hitam tersebut.
"Gaaahhh!!" Ivanna hanya bisa memekik terkejut, merasakan kelelawar itu dengan santai mengemut ujung hidungnya. Dan lebih parah lagi, kelelawar itu menampar wajah Ivanna dengan sayapnya sambil berpura-pura muntah.
"Wow, Jeremy. Kau tampaknya sedang sakit, ya?" ujar Reina dengan nada datar, sambil menyingkirkan kelelawar itu dari wajah Ivanna.
Ivanna hanya bisa melongo, sementara Althea menyembunyikan senyum di balik telapak tangannya, merasa geli melihat kejadian yang tidak terduga tersebut.
"Seharusnya kau nyemil buah, bukan hidung manusia." lanjut Reina, masih menatap tajam kelelawar itu seolah memberi peringatan. Kelelawar itu terdiam sejenak, seolah mengerti peringatan dari Reina, lalu dengan malas terbang menjauh, meninggalkan Ivanna yang masih tampak terkejut.
Althea menahan tawa, meskipun situasi tersebut cukup menggelikan. Ivanna yang kini bebas dari "serangan" kelelawar, tampak mengusap wajahnya dengan ekspresi cemberut.
"Terima kasih, Nona Reina," kata Ivanna, meskipun suaranya masih sedikit terengah-engah.
Reina hanya mengangguk santai, wajahnya kembali datar, sebelum melanjutkan langkahnya ke dalam rumah. "Tidak masalah. Kalau kau nyaris jadi makan malam kelelawar, itu akan jadi masalah baru."
Althea yang melihat kejadian itu, menggelengkan kepala sambil tersenyum, merasa sedikit kasihan pada Ivanna, meskipun hal tersebut sangat menghibur.
✨
Jeremy memainkan gelas yang berisi setengah minuman merah sambil bersiul-siul bahagia, mengabaikan Lud yang menatap tajam dirinya.
Pria itu mengedipkan matanya genit ke arah Lud saat menyadari tatapan mematikan yang menghunus seakan mengulitinya, membuat Lud merinding jijik.
"Tak sia-sia aku menyuruh Reina bereinkarnasi di tempat itu, hihihi~" ujar Jeremy sambil memasang wajah bahagia.
Tatapan tajam Lud berubah menjadi rasa penasaran. "Keberadaan raja telah ditemukan? Dimana?"
"Hais! Apa-apaan tatapanmu itu, Lud? Kau ingin menyatakan cinta padaku?" tanya Jeremy pongah sambil menyugar rambutnya dengan percaya diri, yang sukses membuat Lud kesal setengah mati dan ingin membunuh pria itu.
"Aku tahu diriku ini sanga~t tampan. Tapi tolong kondisikan tatapan menyebalkanmu itu, Lud. Salah-salah, aku bisa kebablasan dan tak sengaja mencongkel matamu itu."
Pria itu kalap karena emosi lalu mengeluarkan sihir api dan mengarahkan pada Jeremy yang sibuk mengoceh sambil memasang wajah yang menurutnya menyebalkan di matanya.
'Wusshh'
'Blarr!'
Serangan Lud hampir mengenai wajahnya dan berhasil meledakkan dinding yang berada di belakang Jeremy. Rambut pria itu berkibar akibat hembusan api yang melesat dengan kecepatan tinggi dan membakar beberapa helai rambutnya. Meleset sedikit, sudah pasti wajah tampannya berubah menjadi gosong.
"Wah~ Meleset~ Aku tak menyangka kau semakin payah," Jeremy meledek Lud habis-habisan, membuat pria itu melancarkan serangan hingga membuat ruangan mewah bernuansa hitam itu hancur berantakan.
"Sialan kau!!"
Lud memaki keras, matanya berkilat penuh amarah saat melihat betapa santainya Jeremy menghindari serangan-serangan api yang terus dilancarkan. Ruangan yang semula mewah itu kini penuh dengan reruntuhan dinding dan kepulan asap yang memenuhi udara.
Jeremy hanya tersenyum licik, tampaknya menikmati keributan yang tercipta, sementara Lud semakin terprovokasi. Dengan sekali gerakan, Lud mengumpulkan energi dalam telapak tangannya, siap untuk meluncurkan serangan yang jauh lebih besar.
"Ini terakhir kalinya, Jeremy!" Lud mengancam, suaranya serak karena amarah yang menggebu.
Namun, sebelum serangan bisa dilancarkan, Jeremy dengan santainya mengangkat telunjuknya, seolah tak peduli dengan ancaman yang begitu nyata di hadapannya.
"Tunggu dulu, Lud," kata Jeremy sambil terkekeh. "Aku tidak ingin merusak ruangan ini lebih jauh. Lagipula, kamu tahu kan, aku lebih suka menghancurkan sesuatu yang lebih berharga. Seperti misalnya, kesabaranmu."
Lud menghentikan gerakannya sejenak, mengerang kesal. "Tapi, aku sudah cukup sabar. Kau terlalu banyak bicara, Jeremy."
Tapi Jeremy hanya tertawa, tampaknya tak merasa terancam sama sekali, seakan tahu bahwa Lud tak akan benar-benar menyerangnya dengan penuh kekuatan. Meskipun begitu, tatapan Lud tetap tajam, penuh kebencian.
"Kalau begitu, Lud, mari kita lihat seberapa lama kesabaranmu bertahan," ujar Jeremy, nadanya berubah menjadi penuh tantangan.
Lud menggertakkan giginya, kemudian menyimpan sihir api yang sudah terakumulasi dalam tangannya. "Sampai kapanpun aku akan menunggu, tapi tidak untukmu, Jeremy."
Dengan itu, Lud berbalik, pergi meninggalkan Jeremy yang masih dengan tenang memiringkan kepalanya, senyum licik tak hilang dari wajahnya.
"Ah, aku harus mengunjungi Reina." Ucapnya sambil menguap lebar. Jeremy berubah menjadi kelelawar dan menghilang dari sana.
🐾
"Thea, kapan sekolahmu dimulai?" tanya Reina sambil menusuk salad buahnya dengan garpu, matanya sedikit memperhatikan ekspresi Althea yang terlihat agak cemas.
"Tiga hari lagi, Kak. Aku merasa berdebar," sahut Althea sambil menyeruput jus apelnya, memandang ke arah Reina dengan sedikit kebingungan, namun masih terlihat sedikit cemas.
Reina tersenyum nakal dan mengedipkan matanya. "Apa kau akan membuat kehebohan, misalnya meledakkan ruang OSIS atau mencongkel ban kendaraan orang yang mengganggumu? Kalau itu terjadi, kau bisa menghubungi aku, ya."
Althea menatap Reina dengan sedikit kaget, namun tak bisa menahan senyum. "Kak Reina, aku nggak se-ekstrem itu, kok. Tapi... mungkin aku akan lebih berhati-hati," jawab Althea, sedikit mengelak.
Leon yang duduk di sebelah mereka hanya bisa menghela napas mendengar penuturan putrinya, jelas-jelas merasa sedikit cemas mendengar cara Reina menggoda Althea. "Reina, jangan terlalu mempengaruhi Thea dengan ide-ide anehmu," katanya, sambil menyandarkan punggungnya di kursi.
Leon menyandarkan tubuhnya lebih dalam ke kursi, menatap Reina dengan tatapan tajam, lalu mengeluarkan nada sarkastik, "Ah, tentu saja. Dengan pengaruhmu yang luar biasa, Thea pasti akan menjadi model yang sempurna untuk kekacauan di sekolah."
Reina membalas tatapan Leon dengan senyuman penuh sindiran. "Oh, Ayah, jangan terlalu khawatir. Aku hanya memberikan saran yang bisa membantu Thea agar lebih dikenal di sekolah, siapa tahu bisa jadi populer," ujarnya, sambil mengedipkan mata dengan santai.
"Populer? Atau lebih tepatnya 'terkenal' karena kehebohan yang dia buat? Kau tahu betul, Reina, bahwa beberapa hal memang lebih baik tetap tidak dikenalkan," balas Leon dengan nada sarkastik, sedikit mengerutkan dahinya.
Reina menyandarkan tubuhnya ke meja dengan ekspresi yang tak kalah tajam. "Jadi, menurutmu, aku harus mengajarkan Thea untuk duduk diam seperti anak yang baik-baik saja, menunggu perhatian datang dengan cara yang membosankan? Itu bukan caraku, Ayah," jawab Reina dengan suara manis, tapi ada ketegangan di balik kata-katanya.
Leon menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi, namun senyum sinisnya tidak hilang. "Tentu, karena cara ‘memperkenalkan diri’mu dengan ledakan adalah cara terbaik untuk membuat teman-teman yang tepat, kan?"
"Kalau begitu, Ayah harus berterima kasih pada metode kami, kan?" Reina membalas, masih dengan senyum yang tidak terkesan jujur. "Mungkin, kalau aku lebih halus, kau akan lebih suka."
Leon mengangkat tangannya dengan sinis. "Aku lebih suka cara yang aman, Reina. Bukan cara yang bisa membuatku harus ikut membersihkan kekacauan yang kalian buat."
Reina tertawa pelan, menatap Leon dengan mata yang penuh permainan. "Oh, jadi Ayah lebih suka hidup tenang tanpa ada sensasi sedikit pun, ya? Pasti membosankan," sindirnya sambil memainkan garpu di tangannya.
Leon menatap Reina dengan tatapan tajam. "Sensasi, eh? Jangan terlalu bangga dengan kegilaanmu, Reina. Mungkin jika kau berhenti sebentar untuk berpikir, kau akan sadar bahwa ada cara lain untuk mendapatkan perhatian tanpa harus membuat orang lain sibuk membereskan masalah yang kau buat," jawabnya, nada suara sedikit lebih rendah, tapi tetap tegas.
Reina mendekatkan wajahnya ke meja, melirik Leon dengan senyum sarkastik. "Oh, Ayah, aku cuma ingin menunjukkan padamu bahwa dunia ini tidak melulu tentang rencana yang rapi dan penuh aturan. Kadang, sedikit kekacauan bisa jadi sesuatu yang menyenangkan." Dia mengejek, "Kau harus coba lebih sering, Ayah. Aku yakin, hidupmu akan lebih berwarna."
Leon memiringkan kepalanya, merenung sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan suara dingin. "Kehidupan memang penuh dengan warna, Reina, tapi jangan sampai kau mengecat dindingnya dengan warna yang membuat semuanya hancur. Kadang, kekacauan justru membawa lebih banyak masalah daripada yang kau bayangkan."
Reina mendengus kecil, lalu membuang pandangannya ke arah jendela, seakan merenung. "Mungkin... tapi aku tetap lebih suka memilih jalan yang penuh tantangan. Dan kau tahu, Ayah, aku tak akan berhenti karena sesuatu yang membosankan. Aku ingin hidup dengan penuh petualangan."
Leon menyandarkan punggungnya pada kursi, menatap putrinya dengan sorot mata yang tak bisa sepenuhnya menyembunyikan kekhawatirannya. "Petualangan... yang satu ini pasti akan menguras kesabaranmu. Aku hanya berharap kau menyadari batasan sebelum segalanya terlambat."
Reina hanya tersenyum lebar. "Tenang, Ayah. Aku tahu apa yang aku lakukan. Lagipula, aku punya kau sebagai 'penjaga', bukan?"
Althea yang sejak tadi hanya diam mendengarkan percakapan antara Leon dan Reina, akhirnya ikut bersuara dengan nada cemas. "Kak Reina, jangan terlalu keras pada Ayah... Kalau ada masalah, kita bisa bicara baik-baik, kan?" Althea menatap Leon sebentar sebelum kembali menatap Reina dengan tatapan lembut.
"Jangan khawatir, Thea," ujar Reina sambil tersenyum sinis, "Ayah hanya khawatir karena dia terlalu terbiasa hidup dengan aturan yang ketat. Tapi kita kan tahu, hidup itu butuh sedikit bumbu, sedikit kegilaan. Jadi, jangan takut untuk mencoba sesuatu yang berbeda."
Althea menghela napas, mencoba menenangkan suasana. "Tapi... Kak Reina, Ayah benar juga. Kadang-kadang terlalu banyak kegilaan bisa membuat semuanya jadi lebih rumit, kan? Aku... aku cuma gak mau ada yang terluka."
Reina menatap adik angkatnya dengan lembut dan mengangguk pelan. "Aku paham, Thea. Aku hanya bercanda. Jangan terlalu dipikirkan." Namun, ada kilatan lain di mata Reina yang menunjukkan bahwa dia tidak sepenuhnya bercanda.
Leon yang mendengar itu hanya menggelengkan kepala, mencoba menahan kekhawatirannya. "Kalian berdua memang tak akan pernah berhenti membuatku pusing," gumamnya, namun tetap tersenyum tipis.