Niat hati memberikan pertolongan, Sean Andreatama justru terjebak dalam fitnah yang membuatnya terpaksa menikahi seorang wanita yang sama sekali tidak dia sentuh.
Zalina Dhiyaulhaq, seorang putri pemilik pesantren di kota Bandung terpaksa menelan pahit kala takdir justru mempertemukannya dengan Sean, pria yang membuat Zalina dianggap hina.
Mampukah mereka menjalaninya? Mantan pendosa dengan masa lalu berlumur darah dan minim Agama harus menjadi imam untuk seorang wanita lemah lembut yang menganggap dunia sebagai fatamorgana.
"Jangan berharap lebih ... aku bahkan tidak hapal niat wudhu, bagaimana bisa menjadi imam untukmu." - Sean Andreatama
ig : desh_puspita27
---
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 - Hama
Sean memang hanya sakit biasa, bukan Couvade Syndrome seperti yang Mahdania duga. Setelah sempat membuat Agam naik darah, terbukti kecurigaan mereka sama sekali tidak benar.
Setelah dirawat sehari semalam, keadaan Sean perlahan membaik. Namun, dia belum diizinkan pulang sebelum benar-benar pulih. Keadaannya memang cukup mengkhawatirkan, bibir Sean masih tampak pucat saat Zalina menyuapinya makan siang.
Sebenarnya bisa sendiri, tapi berhubung istrinya yang berinisiatif, Sean tidak menolak sama sekali. Mungkin Zalina perhatian lantaran tangan Sean yang diinfus, tapi dia lupa masih ada tangan satunya.
"Lain kali kalau memang sudah merasa tidak enak badan itu bilang, jangan dipendam."
Istrinya mulai bersuara, Sean menatap wajah Zalina yang saat ini tampak fokus menatap makan siang Sean. Makanan hambar, tidak ada rasanya menurut Sean. Anehnya, dia tidak menolak setiap Zalina menyodorkan sendok ke mulutnya.
"Hm."
Malas menjawab, lelah atau kenapa? Kira-kira begitulah pertanyaan Zalina kala mendapat respon Sean. Tatapannya sejak tadi tidak berhenti, selalu terfokus pada sang istri yang kini mengerutkan dahi.
"Iya, aku dengar, Zalina."
Seakan mengerti apa yang istrinya pikirkan, Sean bicara dengan senyum miring di sana. Senyum yang membuat Zalina sedikit merinding karena memang terlihat asing. Apa mungkin karena mereka hanya berdua saja? Entahlah, yang jelas Sean tampak berbeda.
"Mas kenapa? Apa ada sesuatu di wajahku?" tanya Zalina yang pada akhirnya mengungkapkan keresahannya lantaran sejak tadi tidak henti Sean tatap.
"Kau tidak bosan, Zal?" Bukannya menjawab pertanyaan Zalina, dia justru balik bertanya.
"Bosan? Bosan kenapa?"
"Cantik terus, apa tidak bosan?" tanya Sean lagi dan berhasil membuat istrinya memerah seketika.
Sejak tadi dia pandangi, semakin lama semakin betah dan lidahnya mendadak gatal ingin memujinya. Sebenarnya ingin dia utarakan hanya dengan kata istriku cantik sekali, tapi Sean tidak ingin mengutarakannya blak-blakan semacam itu.
"Cuma senyum, jawab dong."
Sean tertawa sumbang melihat reaksi istrinya. Terlihat jelas jika tidak pernah digoda laki-laki, hanya dengan pertanyaan semacam itu saja Zalina bahkan memerah dan menghindari tatapan Sean. Lantas, bagaimana jika Sean berbuat lebih.
"Suapan terakhir, kata dokter harus habis."
Tidak ada yang lebih menarik bagi Sean kecuali kala wanita salah tingkah. Saat ini sang istri tengah dibuat memerah akibat gombalan receh Sean yang seharusnya tidak berpengaruh apa-apa bagi kaum hawa.
Selang beberapa lama, saat-saat manis itu harus terusik dengan kehadiran keluarganya yang datang lebih cepat. Tidak lengkap, beruntung antek-antek Mikhail tidak ikut serta, pikir Sean kala melihat Mikhail dan Zia yang kini masuk bersama mertuanya.
Zalina yang menyadari kehadiran mertuanya sontak berdiri dan menyambut keduanya. Bersama Mikhail memang sudah pernah ketika akad dan sebelumnya, tapi bersama Zia, belum sama sekali.
Zalina terdiam sejenak, dia menatap kagum wanita mungil yang telah melahirkan sosok Sean. Cantik, benar-benar cantik dan tampak awet muda. Tidak hanya selesai di sana, Zia juga begitu baik menerima menantunya.
"Ya, Tuhan ... mimpi apa Sean dapat yang begini."
Sama halnya seperti Zalina, Zia juga mengagumi menantunya. Dia sudah memiliki Syila sebagai menantu yang sopan, dewasa dan juga tegas dalam kelembutannya. Menurutnya wajar saja karena Zean memang memiliki kemungkinan untuk mendapatkan istri seperti itu.
Namun, untuk Sean? Sungguh, saat ini Zia merasa ingin sujud syukur melihat menantunya. Wanita itu merengkuh tubuh Zalina erat-erat, bahagia tak terucap dan Zia meneteskan air mata Sean mendapatkan pendamping bak bidadari ini.
"Ya Tuhan, Kiyai ... terima kasih sudah merelakan putrinya untuk menjadi pendamping putra kami. Masya Allah, semoga pak Kiyai tidak menyesali keputusan ini. Jujur, saya sudah angkat tangan dengan putra saya ini," tutur Zia benar-benar tidak mampu membendung perasaannya.
"Kampret, maksud Mama apa?"
Sean membatin, mungkinkah di mata mamanya dia semengkhawatirkan itu. Pria itu menatap dalam diam mertuanya yang juga tertawa dan mengucapkan hal yang sama pada Zia.
"Saya percaya Allah tidak pernah salah dalam menentukan takdir, terlepas dari bagaimana cara mereka bersatu saya yakin Zalina adalah tulang rusuk Sean yang hilang satu," tutur kiyai Husain yang berhasil membuat Sean melayang, penyakitnya mungkin akan sembuh saat ini juga.
Pertemuan keluarga ini tampak manis, Sean dapat melihat bagaimana usaha Zia dalam menyesuaikan diri. Lihat, dia bahkan menggunakan hijab demi bertemu keluarga kiyai Husain, sementara Mikhail dengan peci yang membuatnya terlihat lucu di mata Sean.
.
.
"Assalamualaikum, Kiyai!!"
Ketukan pintu disertai suara yang cukup familiar dan bisa dipastikan mengganggu ketenangan muncul seketika. Zean dan Keyvan menyusul, dengan membawakan keranjang buah di sana. Zean yang menyadari keberadaan kiyai Husain di dalam ruangan sontak menepuk bibirnya, sungguh dia pikir hanya ada Sean serta keluarganya di sini.
"Waduh ada Kiyai sungguhan."
Tidak Sean, tidak Zean sama saja. Mikhail hanya bisa berdehem dan membuang kegugupannya. Jangan ditanya semalu apa, ingin sekali dia melempar wajah Zean dengan sapu lidi.
"Heheh Abi, Umi Assalammualaikum."
Zean mencium punggung tangan mereka bergantian. Tidak sulit untuk Zean mencuri hati seseorang, dahulu saja dia mampu menjadi menantu idaman hanya karena dia yang sopan dari hal kecil semacam ini.
"Putramu begitu mirip, tampan sekali ... yang ini siapa, pak Mikhail?"
"Ini Evan, menantu saya yang paling tua," tutur Mikhail mengenalkan menantu mode serius yang memang konsisten dengan wajah datar dan sikap dinginnya.
"Wah, aku pikir putramu juga karena mirip dari wajahnya."
Bukan orang pertama yang mengatakan hal itu, sudah banyak. Bahkan sejak Evan baru dikenalkan sebagai menantu oleh Mikhail.
Sementara Evan berkenalan serius bersama kiyai Husain, Zean kini menghampiri Sean yang kini duduk di pembaringan. Wajahnya terlihat mengejek, dan Sean sangat sadar itu.
"Waduh, Kiyai masa begini saja sudah sakit ... kau tahajud setiap malam atau apa sampai tumbang begini?" tanya Zean berbisik lantaran khawatir ada yang mendengar pertanyaannya.
"Kau mau mati? Berhenti memanggilku kiyai!!" bisik Sean dengan giginya yang kini bergemelutuk.
"Ahahahah serius aku tanya, kau sudah menerobosnya? Kalem, Sean apa kau tega?"
"Ck, sudah menjauh sana, badjingan ... kenapa kau menyebalkan sekali."
"Eits jaga mulutnya, masa menantu kiyai bicara kasar."
"Ya Tuhan, kenapa aku harus dikandung bersamaan manusia ini?"
.
.
- To Be Continue -