Zen Vessalius adalah nama yang pernah menggema di seluruh penjuru dunia, seorang pahlawan legendaris yang menyelamatkan umat manusia dari kehancuran total. Namun, waktu telah berubah. Era manusia telah berakhir, dan peradaban kini dikuasai oleh makhluk-makhluk artifisial yang tak mengenal masa lalu.
Zen, satu-satunya manusia yang tersisa, kini disebut sebagai NULL—istilah penghinaan untuk sesuatu yang dianggap tidak relevan. Dia hanyalah bayangan dari kejayaan yang telah hilang, berjalan di dunia yang melupakan pengorbanannya.
Namun, ketika ancaman baru muncul, jauh lebih besar dari apa yang pernah dia hadapi sebelumnya, Zen harus kembali bangkit. Dengan tubuh yang menua dan semangat yang rapuh, Zen mencari makna dalam keberadaannya. Mampukah ia mengingatkan dunia akan pentingnya kemanusiaan? Atau akankah ia terjatuh, menjadi simbol dari masa lalu yang tak lagi diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Vessalius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7 PERASAAN YANG TERSIMPAN
Zen terbangun dengan mata yang sedikit berat, sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui jendela kastil, memberikan kehangatan di ruang tidur. Namun, yang lebih mengejutkan adalah keberadaan Selvina yang tertidur duduk di samping tempat tidurnya. Zen terdiam sejenak, sedikit terkejut, memikirkan mengapa Selvina bisa berada di sana. Ia merasa sedikit canggung, tetapi perasaan itu cepat hilang begitu ia melihat wajah Selvina yang tenang dalam tidurnya.
Selvina mulai terbangun, merasakan Zen yang sudah bangun. "Selamat pagi, Zen," katanya dengan suara lembut, sedikit menguap dan mengusap matanya. "Aku... tidur di sini, ya?"
Zen mengangguk, masih merasa sedikit bingung. "Iya, sepertinya begitu," jawabnya pelan, meskipun ia merasa lega melihat Selvina dalam keadaan baik-baik saja.
Tanpa banyak bicara, Selvina segera beranjak dan mulai menyiapkan diri untuk membasuh wajahnya dan mempersiapkan makanan pagi. Zen melihatnya dengan sedikit khawatir, namun ia juga merasa ada sesuatu yang berbeda dari dirinya. Sebuah perasaan yang mulai tumbuh, mungkin bukan hanya sebagai teman, tapi lebih dari itu—sesuatu yang lebih dalam. Sebuah perasaan yang sulit untuk dipahami sepenuhnya.
Sambil melihat Selvina yang sedang sibuk menyiapkan makan, Zen mulai bertanya pada dirinya sendiri, "Apakah ini perasaan yang sama seperti ketika aku mencintai Lyra dulu?" Pertanyaan itu berputar di kepalanya, namun jawaban yang ia harapkan tak kunjung datang. Ia merasa canggung, tidak tahu harus bagaimana menghadapi perasaan ini.
Selvina yang sedang menyiapkan makanan, sesekali menoleh ke Zen, merasakan ada yang berbeda. Ia juga tak bisa mengabaikan perasaan yang tiba-tiba muncul dalam dirinya—perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Entah mengapa, setiap kali ia berada di dekat Zen, hatinya terasa lebih hangat dan tenang. Namun, ia tak ingin terburu-buru. Ia ingin memastikan apa yang ia rasakan, apakah itu hanya perasaan simpati atau sesuatu yang lebih.
Setelah selesai menyiapkan sarapan, Selvina menatap Zen dengan senyum lembut, dan Zen pun mendekat ke meja makan. Mereka berdua duduk bersama dalam keheningan, menikmati sarapan yang telah disiapkan. Meskipun tak ada kata-kata yang diucapkan tentang perasaan mereka, ada kehangatan yang tak bisa disangkal. Perasaan itu ada, meski belum diungkapkan.
Setelah sarapan selesai, Zen dan Selvina melanjutkan dengan merapikan kastil. Meskipun kastil sudah terlihat megah dan terawat, masih ada beberapa barang yang perlu disesuaikan agar lebih nyaman untuk ditempati. Mereka berdua bekerja bersama, menyusun perabotan, membersihkan sudut-sudut yang belum terjamah, dan memikirkan berbagai hal kecil yang bisa membuat kehidupan mereka di kastil ini lebih lancar.
Di tengah-tengah kegiatan tersebut, Zen memandang sekitar kastil yang besar dan mulai berpikir tentang masa depan mereka. "Mungkin sudah saatnya kita mempertimbangkan untuk mempekerjakan seseorang," ucap Zen, masih memandang beberapa bagian kastil yang membutuhkan perhatian lebih.
Selvina menatap Zen dengan cermat. "Apa maksudmu? Seperti pelayan atau pembantu?" tanyanya, sedikit mengernyitkan dahi.
"Ya, bukan hanya untuk pelayan," jawab Zen, "Tapi juga untuk mengurus segala kebutuhan di kastil. Ada banyak tugas yang harus dilakukan, seperti memasak, membersihkan, dan mungkin beberapa pekerjaan lainnya. Kita tidak bisa melakukannya sendiri setiap hari."
Selvina mengangguk, merenung sejenak, sebelum akhirnya berkata, "Aku setuju. Kita butuh seseorang yang bisa diandalkan untuk itu. Tidak hanya itu, dengan adanya seseorang yang membantu kita, aku bisa fokus untuk belajar lebih banyak dan membantu kamu dengan tugas-tugas lainnya."
Zen setuju, dan mereka mulai mendiskusikan jenis kandidat yang mereka cari. "Kita butuh seseorang yang tidak hanya cekatan, tetapi juga bisa dipercaya," Zen menambahkan. "Seseorang yang bisa menjaga privasi kita dan merawat kastil ini dengan baik."
Mereka kemudian sepakat untuk mencari seseorang yang memiliki keterampilan dalam merawat rumah, serta kemampuan dalam memasak dan mengatur kegiatan di kastil. Mereka juga memikirkan agar kandidat yang mereka pilih haruslah orang yang memiliki kepribadian yang ramah dan bisa bergaul dengan para penghuni Lumoria yang lain.
Setelah merundingkan semua hal tersebut, Zen memutuskan untuk mengumumkan kebutuhan mereka kepada para penghuni Lumoria. Ia ingin menciptakan suasana yang terbuka dan adil, di mana siapa saja yang tertarik bisa melamar. "Aku mengumumkan kepada semua, bahwa aku selalu raja Lumoria sedang mencari pekerja untuk mengurus kastil ini," kata Zen pada suatu kesempatan di depan para Lumoria. "Tugasnya akan mencakup mengurus makanan, membersihkan kastil, dan membantu hal-hal lainnya yang mungkin diperlukan."
Pengumuman ini menyebar dengan cepat di antara para penghuni Lumoria. Beberapa di antara mereka mulai berpikir untuk melamar pekerjaan itu, sementara yang lain merasa senang karena mereka bisa ikut berkontribusi dalam mengatur kastil yang kini menjadi tempat tinggal Zen.
Selvina dan Zen menunggu untuk melihat siapa yang akan melamar, merasa sedikit cemas namun juga berharap dapat menemukan seseorang yang tepat untuk mengurus kastil mereka dengan baik.
Eryon dengan cepat menghampiri mereka.
Zen dan Selvina terkejut mendengar usulan dari Eryon. Mereka saling berpandangan, sedikit canggung. Zen mencoba menahan tawa, tetapi terlihat jelas bahwa ia merasa sedikit tidak nyaman dengan percakapan yang tiba-tiba berubah arah.
"Eh, Eryon... jadi kamu ingin menjadi pengajar?" Zen akhirnya berkata dengan suara yang agak gelisah, mencoba mengalihkan topik. "Itu ide yang bagus, sih. Tapi... kenapa kamu tertarik jadi guru di kerajaan?"
Eryon, yang tampaknya tidak merasa canggung sama sekali, mengangkat bahu dan menjawab dengan santai, "Aku hanya merasa jika ada yang bisa aku ajarkan, itu akan sangat berguna untuk generasi penerus. Siapa tahu, nanti ada anak-anak yang membutuhkan bimbingan tentang cara mengendalikan sihir atau ilmu pengetahuan lainnya. Aku pikir, aku bisa membantu."
Zen mengangguk, setuju dengan ide tersebut. "Itu ide yang bagus, Eryon. Tapi untuk saat ini, kita harus fokus pada pekerjaan lainnya dulu."
Namun, Eryon tampaknya tidak begitu peduli dengan topik pekerjaan. Dengan tatapan nakal, dia menatap Zen dan Selvina, lalu bertanya dengan suara yang lebih menggoda, "Lalu, kapan kalian berdua akan memberitahuku kapan hubungan kalian akan lebih serius? Aku melihat ada banyak ketegangan di antara kalian. Apakah kalian berencana untuk memulai keluarga atau...?"
Selvina langsung merasa wajahnya memerah, matanya sedikit terbuka lebar karena terkejut. "E-Eryon!" teriaknya, mencoba menutup percakapan yang semakin menjadi. "Jangan bicara seperti itu!"
Zen yang juga merasa tidak nyaman, mulai tertawa canggung. "Haha... Eryon, jangan mengajukan pertanyaan seperti itu, kami baru saja mulai hidup di sini. Tentu saja... kami akan memikirkan hal itu nanti."
Eryon malah semakin usil, "Oh, jadi masih ada yang belum jelas, ya? Aku hanya ingin tahu kapan kalian akan memberi tahu dunia kalau Raja dan Ratu Lumoria akhirnya bersatu." Dia memberikan senyum lebar, dengan tatapan penuh keceriaan.
Zen yang sudah sedikit kesal namun tetap mencoba bersikap tenang, menyarankan agar Eryon fokus kembali pada hal-hal yang lebih penting. "Baiklah, Eryon, mari kita fokus pada pekerjaan yang ada di depan kita dulu, dan urusan pribadi akan kami pikirkan nanti."
Selvina yang masih merasa canggung, menunduk sedikit, merasa sedikit malu dengan obrolan yang tidak terduga ini. Meskipun dia tak dapat menyangkal bahwa hatinya mulai merasa lebih dekat kepada Zen, masih banyak yang harus mereka pelajari dan kerjakan bersama.
Eryon akhirnya tertawa, merasa puas dengan usilannya yang membuat suasana sedikit lebih ringan. "Baiklah, baiklah... aku akan diam untuk sekarang. Tapi ingat, kalian berdua tak bisa lari dari kenyataan, suatu hari kalian akan sampai ke sana juga."
Dengan senyum lebar, Eryon pun berbalik dan meninggalkan mereka untuk melanjutkan tugas lainnya, sementara Zen dan Selvina tetap berdiri di sana, sedikit bingung tetapi juga tertawa ringan, berusaha melupakan percakapan yang baru saja terjadi.
"Sepertinya kita harus lebih berhati-hati kalau Eryon ada di sekitar," kata Zen, mengusap wajahnya yang sedikit merah. "Dia benar-benar tidak tahu batasan."
Selvina hanya bisa tertawa malu, "Ya... sepertinya begitu."
Zen dan Selvina duduk berhadap-hadapan di ruang seleksi, meja di depan mereka dipenuhi dengan berbagai dokumen dan berkas data diri dari para pelamar. Masing-masing membawa harapan besar untuk menjadi bagian dari keluarga kerajaan Lumoria. Ruangan yang sebelumnya sunyi kini terasa penuh dengan atmosfer ketegangan dan antusiasme.
Selvina membuka satu per satu berkas pelamar, sementara Zen melihat dengan cermat, mempertimbangkan siapa yang akan mereka pilih untuk posisi-posisi yang mereka butuhkan. Ada begitu banyak pelamar yang memiliki kemampuan unik dan spesialisasi mereka sendiri, seperti sihir alam, penyembuhan, hingga keahlian bertani yang langka.
"Banyak sekali pelamar yang terlihat berpotensi," kata Zen sambil melihat beberapa berkas yang menonjol. "Tapi kita hanya bisa memilih sedikit, harus hati-hati."
Selvina mengangguk, matanya bergerak cepat dari satu berkas ke berkas lainnya. "Aku rasa kita harus memilih mereka yang benar-benar bisa membantu dalam pekerjaan sehari-hari, terutama dalam urusan rumah tangga dan pemeliharaan kastil. Tentu saja, kita juga perlu memastikan mereka memiliki kemampuan yang luar biasa."
Zen tersenyum melihat kegigihan Selvina. "Aku setuju. Kita butuh orang-orang yang tidak hanya bisa bekerja keras, tapi juga bisa menjaga keharmonisan di sini."
Mereka berdua mulai memilah dengan cermat. Dari sekian banyak pelamar, mereka akhirnya memutuskan untuk memilih 10 orang yang dirasa paling memenuhi kriteria mereka.
Untuk posisi pengurus Kastil, mereka memilih tiga orang yang memiliki kemampuan luar biasa dalam merawat bangunan dan ruang-ruang istana. Salah satunya memiliki keahlian dalam memelihara struktur bangunan magis yang terkait dengan sihir kuno, yang tentu saja sangat berguna untuk menjaga kestabilan kastil.
Untuk mempersiapkan makan, dua pelamar yang terpilih ternyata memiliki kemampuan luar biasa dalam meracik bahan-bahan alami menjadi hidangan yang tidak hanya lezat, tetapi juga dapat meningkatkan kekuatan sihir. Zen dan Selvina melihat ini sebagai peluang besar untuk meningkatkan kualitas hidup mereka di kastil.
Untuk perawatan kebun, mereka memilih dua pelamar yang mampu berkomunikasi dengan alam. Mereka memiliki keahlian dalam merawat tanaman yang tak hanya menghasilkan bahan makanan, tapi juga tanaman obat yang sangat dibutuhkan untuk pengobatan dan sihir.
Dan terakhir, untuk ajudan kepercayaan, Zen dan Selvina memilih tiga orang yang memiliki kemampuan organisasi luar biasa dan mampu bekerja dalam tekanan. Mereka juga memilih orang-orang yang bisa dipercaya dengan tugas-tugas penting dalam menjaga keamanan dan kesejahteraan kerajaan.
Setelah membuat keputusan yang sulit, Zen dan Selvina saling bertukar pandang, merasa sedikit lega karena telah menyelesaikan proses seleksi. "Ini langkah pertama untuk membangun kerajaan yang lebih kuat," kata Zen, menatap para pelamar yang sudah berkumpul di luar ruangan.
Selvina tersenyum. "Iya, kita akan memulai perjalanan panjang ini bersama mereka. Semoga mereka bisa menjadi bagian penting dalam kerajaan kita."
Mereka berdua berdiri, siap untuk mengumumkan hasil seleksi. Setelah mempersiapkan diri sejenak, mereka membuka pintu ruang seleksi dan menghadap para pelamar yang sudah menunggu dengan penuh harap.
"Kami telah memilih 10 orang yang akan bergabung bersama kami untuk mengurus Kastil dan kerajaan ini," kata Zen dengan suara yang tegas namun penuh kehangatan. "Kami berharap kalian semua akan memberikan yang terbaik."
Zen berdiri tegak di depan para pelamar yang kini berbaris rapi, menunggu dengan antusias. Dengan suara yang penuh wibawa, Zen mulai berbicara kepada mereka:
"Selamat datang kepada kalian yang terpilih. Kalian telah menunjukkan bakat dan kemampuan yang luar biasa, namun perjalanan kalian belum selesai. Kami, kerajaan Lumoria, akan memberikan tanggung jawab yang besar kepada kalian. Bukan hanya untuk mengurus kastil dan kerajaan, tetapi juga untuk menjaga rahasia kami yang sangat penting. Kepercayaan ini adalah sebuah kehormatan, dan di sini kalian akan dipertaruhkan bukan hanya dengan kemampuan, tetapi juga dengan nyawa kalian."
Para pelamar mendengarkan dengan seksama, dan beberapa di antara mereka mulai merasa tegang mendengar kata-kata Zen. Zen melanjutkan:
"Jika kalian memilih untuk tetap tinggal dan menjalankan tugas ini, maka kalian harus siap menjaga segala rahasia yang ada di dalam kerajaan ini. Kalian akan menjadi bagian dari inti kerajaan, dan setiap tindakan kalian akan mempengaruhi masa depan kita semua."
Selvina yang berdiri di samping Zen, mengangguk setuju dengan pernyataan tersebut, menambah keseriusan suasana di ruangan itu.
"Apakah kalian siap dengan tugas besar ini?" tanya Zen, suaranya penuh ketegasan.
Para pelamar mengangguk dengan penuh keyakinan, meskipun beberapa di antara mereka tampak sedikit ragu. Zen tersenyum tipis dan melanjutkan:
"Baiklah, sekarang aku akan memperkenalkan kalian satu per satu. Kalian akan diberi tugas sesuai dengan keahlian kalian. Mulai dari pengurus kastil, pengolah makanan, perawat kebun, hingga ajudan kepercayaan kerajaan. Masing-masing dari kalian akan menjalankan tugas dengan penuh dedikasi dan kesetiaan."
Zen pun mulai memanggil nama-nama mereka, satu per satu:
Arius Velhan, seorang pria tinggi besar dengan kemampuan luar biasa dalam merawat bangunan dan struktur magis. Ia akan bertugas sebagai Pengurus Kastil.
Lina Merik, seorang wanita dengan keahlian dalam memasak dan meracik bahan makanan magis, akan bertugas sebagai Koki Kerajaan.
Galen Druun, seorang ahli sihir alam yang mampu berkomunikasi dengan tanaman, akan mengurus Perawatan Kebun.
Mira Valtor, seorang wanita muda yang cerdas dan berbakat dalam meracik obat-obatan alami, akan bertanggung jawab dalam Perawatan Kebun dan menyediakan bahan untuk pengobatan.
Dorin Thale, seorang pria yang mahir dalam organisasi dan pengelolaan administrasi, akan menjadi Ajudan Kepercayaan yang akan menangani urusan penting kerajaan.
Ellen Faelrin, seorang wanita dengan kemampuan luar biasa dalam berkomunikasi dan mengatur kegiatan kerajaan, akan menjadi Ajudan Kepercayaan.
Thorn Luthar, seorang pria berbadan kekar dengan keterampilan bertarung, akan menjadi Pengurus Keamanan Kastil.
Sylas Grey, seorang penyembuh berbakat yang memiliki kemampuan luar biasa dalam menyembuhkan luka dengan sihir, akan menjadi Perawat di kerajaan.
Valerie Thorne, seorang ahli dalam menjaga kebersihan dan kesehatan, akan bertanggung jawab dalam Pembersihan Kastil dan memastikan kesehatan seluruh penghuni kastil.
Kael Myrion, seorang mantan tentara yang sangat terampil dalam taktik dan strategi, akan menjadi Pengawal Kepercayaan Zen dan Selvina.
Zen menatap mereka satu per satu, memastikan mereka mengerti tanggung jawab yang mereka ambil. Setelah memastikan semuanya siap, Zen berkata dengan tegas:
"Kalian telah dipilih karena kemampuan kalian, dan karena kami percaya bahwa kalian adalah orang-orang yang dapat kami percayakan untuk menjaga keselamatan kerajaan. Ingatlah, rahasia kerajaan adalah hal yang sangat berharga. Kalian harus siap mempertaruhkan nyawa untuk melindungi itu. Jika kalian setuju, kami akan mulai bekerja bersama."
Setelah upacara pelantikan selesai, para pekerja baru bergegas kembali ke tempat tinggal mereka untuk mengemas barang-barang yang akan mereka bawa ke kastil. Mulai esok pagi, mereka akan tinggal di sana, memulai peran mereka sebagai bagian dari keluarga kerajaan Lumoria. Namun, di tengah kesibukan itu, suasana sedikit berbeda terjadi di salah satu sudut halaman kastil.
Kael Myrion berdiri dengan santai, kedua tangannya bersilang di dada, sesekali melirik Selvina yang tampak sibuk memberikan instruksi kepada para pekerja lainnya. Tatapan Kael penuh dengan canda, dan senyum usil di wajahnya tidak dapat disembunyikan. Ketika Selvina mendekat ke arahnya, ia langsung membuka mulut.
"Selvina, kau benar-benar cocok jadi kepala pelayan atau mungkin... kepala singa?" goda Kael dengan nada ringan, matanya berkilat nakal.
Selvina berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam seperti seekor singa betina yang bersiap menerkam. "Kael Myrion, kalau kau mau bercanda, lakukan itu di tempat lain. Kau adalah ajudan kerajaan sekarang. Bersikaplah layaknya seorang profesional!"
Kael hanya terkekeh kecil, mengangkat alis seolah tak terpengaruh. "Baiklah, baiklah. Tapi bukankah tugas ajudan adalah membuat suasana lebih santai untuk tuannya? Jadi, bukankah aku melakukan pekerjaanku dengan benar?"
Selvina menghela napas panjang, jelas-jelas sudah kehilangan kesabarannya. "Santai? Apa kau pikir kerajaan ini tempat untuk bersantai? Dengar, Kael. Kau dipilih langsung oleh Zen. Itu tanggung jawab besar, bukan main-main!"
Zen, yang berdiri tak jauh, hanya bisa tertawa kecil melihat mereka. Baginya, pertengkaran ini seperti menonton pertunjukan singa melawan kucing usil. Ia mendekat dengan senyum di wajahnya, mencoba menenangkan Selvina.
"Selvina, mungkin Kael hanya perlu waktu untuk menyesuaikan diri. Lagipula, kita memang membutuhkan sedikit humor di tengah kesibukan ini, bukan?"
Selvina menatap Zen, lalu kembali menatap Kael yang sekarang memasang wajah serius, meski senyum kecil masih bermain di sudut bibirnya. "Aku hanya ingin semuanya berjalan dengan baik. Kael, kalau kau tidak serius, jangan salahkan aku kalau nanti aku yang turun tangan langsung!"
Kael mengangguk dengan cepat, akhirnya menyerah pada ceramah Selvina. "Baik, baik. Aku akan serius mulai sekarang. Tapi tolong jangan terlalu galak, Selvina. Kau akan membuatku takut untuk bicara!"
Selvina mendengus, tetapi sudut bibirnya sedikit melengkung, menandakan bahwa ia tidak benar-benar marah. Zen, di sisi lain, menepuk bahu Kael sambil tersenyum. "Kael, aku mengandalkanmu. Jangan buat Selvina marah lagi, atau kau mungkin akan kehilangan kesempatan untuk bersantai."
"Tentu saja, Yang Mulia," jawab Kael dengan nada penuh hormat, meski matanya masih bercanda. "Aku berjanji akan menjadi ajudan terbaik yang pernah kau miliki!"
Zen tertawa, sementara Selvina berbalik dengan langkah mantap menuju kastil. Zen mengikutinya tak lama kemudian, meninggalkan Kael yang kini berdiri sendirian. Dengan senyum kecil, Kael berbisik pada dirinya sendiri, "Menjadi bagian dari kerajaan ini sepertinya akan lebih seru dari yang aku bayangkan."
Malam perlahan menyelimuti kastil dengan keheningan yang menenangkan. Cahaya bulan menembus jendela besar, menciptakan bayangan lembut di sepanjang dinding batu kastil. Zen duduk di sisi tempat tidurnya, melepaskan napas panjang setelah hari yang penuh aktivitas. Ia merasa lelah, tetapi juga puas dengan kemajuan yang dicapai hari ini.
Ketukan ringan terdengar di pintu kamarnya. "Zen, aku hanya ingin memastikan kalau semuanya baik-baik saja," ujar suara lembut dari luar. Selvina.
Zen membuka pintu, memperlihatkan Selvina yang berdiri di sana dengan senyuman kecil di wajahnya. Rambutnya tergerai, matanya memancarkan kehangatan yang membuat Zen merasa nyaman.
"Terima kasih, Selvina. Aku baik-baik saja," jawab Zen dengan lembut. Ia berhenti sejenak sebelum menambahkan, "Bagaimana denganmu? Kau juga sudah bekerja keras hari ini."
Selvina tersenyum kecil, menunduk sedikit. "Aku baik-baik saja. Hanya ingin memastikan kau bisa tidur nyenyak. Selamat malam, Zen," ucapnya sebelum berbalik menuju ruangannya.
Zen menatap punggung Selvina yang perlahan menjauh. Ada keinginan aneh di hatinya, perasaan yang perlahan tumbuh dan tak dapat ia abaikan. Namun, ia hanya bisa menggenggam kenangan masa lalunya dan bertanya pada dirinya sendiri—apakah waktunya sudah tiba untuk membuka hatinya lagi?
Di sisi lain, Selvina juga membawa perasaan serupa saat ia masuk ke ruangannya sendiri. Sambil menutup pintu, ia bersandar dan menarik napas panjang. Perasaan itu ada di sana, bersembunyi di dalam hatinya, menunggu waktu yang tepat untuk diungkapkan. Ia tahu Zen masih terikat dengan masa lalunya, tetapi Selvina tidak bisa memungkiri bahwa ia menginginkan sesuatu lebih dari sekadar hubungan antara pelayan dan raja.
Keduanya menyimpan perasaan itu dalam diam, membiarkan waktu yang akan menjawab kapan hati mereka bisa menyatu atau tetap menjadi rahasia yang tersimpan rapi.
"Selamat malam, Selvina," Zen berbisik pelan sambil menatap langit-langit kamar, sebelum akhirnya memejamkan mata. Di ruangannya, Selvina juga mengucapkan hal yang sama dalam hatinya, berharap suatu hari, dunia akan tahu tentang perasaan mereka.
Bersambung!