Axeline tumbuh dengan perasaan yang tidak terelakkan pada kakak sepupunya sendiri, Keynan. Namun, kebersamaan mereka terputus saat Keynan pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikannya.
Lima tahun berlalu, tapi tidak membuat perasaan Axeline berubah. Tapi, saat Keynan kembali, ia bukan lagi sosok yang sama. Sikapnya dingin, seolah memberi jarak di antara mereka.
Namun, semua berubah saat sebuah insiden membuat mereka terjebak dalam hubungan yang tidak seharusnya terjadi.
Sikap Keynan membuat Axeline memilih untuk menjauh, dan menjaga jarak dengan Keynan. Terlebih saat tahu, Keynan mempunyai kekasih. Dia ingin melupakan segalanya, tanpa mencari tahu kebenarannya, tanpa menyadari fakta yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutzaquarius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Sementara itu, di rumah keluarga Wiratama, Keyra terlihat khawatir dengan keadaan putrinya. Dia berulang kali mengetuk pintu kamar Axeline, namun tidak ada jawaban apapun dari dalam.
"Sayang, buka pintunya! Ini sudah siang, nanti kau terlambat," panggil Keyra dengan nada khawatir.
Hening, tidak ada jawaban dari Axeline. Keyra menggigit bibirnya, rasa khawatir semakin menghimpit dadanya. Tanpa membuang waktu, ia kembali ke ruang makan dimana suami dan putranya berada.
"Dad, Axeline tidak menjawab saat aku mengetuk pintu kamarnya. Dia juga tidak mau membuka pintunya," ujar Keyra panik.
Alexio segera meletakkan cangkir kopinya dan berdiri. "Tenang, sayang. Jangan panik, oke? Kita kesana sekarang." Alexio dan Keyra bersama-sama ke kamar Axeline. Sementara Axel masih terdiam di tempat duduknya dengan pikiran tidak tenang.
"Tidak biasanya Axeline bangun terlambat. Apa karena dia kelelahan? Semalam, dia mengatakan jika akan pulang terlambat. Apa terjadi sesuatu pada Axeline?" Memikirkan hal itu, membuat firasat buruk menyelimuti hatinya. Dia segera bangkit dan menyusul orang tuanya.
Sesampainya di sana, Axel melihat ayah dan ibunya yang masih berdiri di depan pintu kamar adiknya. "Bagaimana mom, dad?" Tanya Axel.
Alexio menghela nafas. "Adikmu tidak membuka pintu kamarnya," sahut Alexio, mencoba untuk tidak khawatir.
"Ya sudah, kita dobrak saja." Axel dan Alexio bersiap untuk mendobrak pintu kamar Axeline. Namun, sebelum mereka sempat melakukan nya, tiba-tiba gagang pintu bergerak dan pintu kamar terbuka perlahan.
Axeline berdiri di ambang pintu dengan wajah yang sedikit pucat. "Ada apa?" Tanya Axeline dengan suara yang terdengar tenang.
"Astaga, sayang. Kenapa kau tidak membuka pintunya, hah? Kau membuat kami khawatir," ujar Keyra memeluk putrinya erat.
Sementara itu, Alexio menatap putrinya dengan tajam. "Kau baik-baik saja, kan, sayang?" Tanya Alexio.
Axeline tersenyum kecil, meski ada sedikit rasa gugup di dalam sorot matanya. "I-iya, aku baik-baik saja, Dad. Tadi aku sedang mandi, jadi tidak mendengar kalian memanggil," ujarnya.
Keyra menghela nafas lega. "Syukurlah, mommy pikir kau kenapa-kenapa. Tapi, kenapa kau belum bersiap? Kau tidak pergi magang?"
Axeline menggeleng pelan. "Aku lelah, mom. Jadi, aku ijin sakit tadi." Axeline menampilkan senyum tipisnya, berusaha terlihat santai.
Lagi-lagi, Keyra menghela nafas lega. Dia menepuk pipi putrinya dengan lembut. "Ya sudah, kau istirahat saja. Nanti, mommy antar makanan untukmu."
Axeline tersenyum dan mengangguk pelan saat Keyra dan Alexio pergi dari sana. Namun, Axel masih berdiam diri di depan pintu, menatapnya dengan penuh rasa curiga.
Axeline mengeryit tajam. "Kenapa kakak masih di sini? Kakak tidak ke kantor?" Tanya Axeline, mencoba bersikap biasa.
Axel menyipitkan matanya. "Kau yakin tidak menyembunyikan sesuatu dari kami?" tatapan Axel begitu menusuk, seolah mencoba mencari kebohongan Axeline.
Namun, Axeline mampu menutupi rasa gugupnya dengan sangat sempurna dan bersikap santai.
"Memangnya, apa yang harus aku sembunyikan darimu, hah? Dasar menyebalkan. Sana pergi! Aku mau istirahat." Tanpa menunggu jawaban, Axeline menutup pintu, dan menyandarkan punggungnya perlahan.
Dia menutup mulutnya dengan telapak tangan, menahan isakan yang ingin keluar. Tapi, air matanya perlahan menetes, membasahi kedua pipinya. Namun, ia segera menghapusnya, takut keluarganya akan curiga.
Dengan langkah tertatih, ia menuju tempat tidur. Setiap gerakannya begitu menyakitkan, terutama di bagian tubuhnya yang masih terasa perih.
Begitu sampai di tempat tidur, ia membaringkan tubuhnya, menarik selimut, menutupi tubuhnya rapat-rapat, seolah ingin menghilang dari dunia ini.
Malam telah berganti siang, dan rumah keluarga Wiratama kini dipenuhi dengan kehadiran Keyvan dan Nayya. Mereka datang setelah mendengar kabar jika Axeline sakit, sekaligus berkunjung dengan membawa beberapa bingkisan.
Di ruang tamu, Keyra menyambut mereka dengan wajah senang, namun juga sedikit bingung. "Astaga, Kak. Axeline baik-baik saja. Kenapa kalian harus repot-repot datang membawa semua ini?" tanyanya, menatap bingkisan yang mereka bawa.
Keyvan mendengus, "Kenapa? Apa tidak boleh?" gerutunya saat mendengar reaksi adiknya.
Keyra menghela napas. "Bukan begitu. Sebenarnya, Axeline tidak sakit. Dia hanya lelah saja. Tapi memang, sejak tadi pagi, dia tidak keluar dari kamarnya."
Mendengar itu, Keynan yang ikut bersama kedua orang tuanya langsung tertegun. Kedua tangannya mengepal erat, berusaha menahan emosi yang tiba-tiba menyeruak. Bayangan isak tangis Axeline semalam kembali memenuhi pikirannya.
"Boleh aku melihatnya, Aunty?" tanyanya, mencoba bersikap setenang mungkin. "Aku hanya ingin memastikan jika dia baik-baik saja dan tidak mendapat perlakuan buruk di perusahaan. Karena, dia seperti ini setelah aku mengambil alih perusahaan." Tatapan Keynan terlihat dingin dan datar, namun ada ketegangan yang berusaha ia sembunyikan.
Axel, yang sejak tadi memperhatikan, terlihat menyipitkan mata. Ada sesuatu yang terasa aneh.
Sejak awal Keynan pulang, pria itu tidak pernah menunjukkan sikap bersahabat pada Axeline. Bahkan selama ini, ia terlihat mengabaikan keberadaannya.
Lalu kenapa sekarang tiba-tiba ingin memastikan keadaannya? Bukankah itu terasa, mencurigakan?
Keyra, yang tidak menyadari ketegangan di antara mereka, hanya mengangguk dan tersenyum tipis. "Silakan, dia ada di kamar lantai dua. Ada namanya di depan pintunya."
Keynan mengangguk pelan. Tanpa banyak bicara, ia segera melangkah menuju lantai atas.
Namun, Axel masih duduk di tempatnya, matanya penuh selidik saat memperhatikan sosok Keynan yang menghilang di tangga.
Keynan berhenti di depan pintu dengan nama Axeline tertempel di sana. Dia menarik napas dalam, jemarinya perlahan terangkat, menyentuh kenop pintu sebelum mendorongnya pelan. Begitu pintu terbuka, pandangannya langsung tertuju pada sosok Axeline yang terbaring di tempat tidur, tubuhnya tertutup selimut hampir tak terlihat.
Dengan hati-hati, Keynan menutup pintu kembali dan menguncinya. Langkahnya pelan saat ia mendekat.
"Ada apa, Mom? Aku baik-baik saja. Aku hanya ingin tidur sekarang," suara Axeline samar-samar terdengar lemah, saat menyadari kehadiran seseorang.
"Ini aku, Keynan."
Tubuh Axeline seketika membeku. Tangannya mengepal, mencengkeram erat selimut yang membungkus tubuhnya seolah itu bisa melindunginya.
"Aku ingin bicara denganmu, Axeline."
Axeline menahan napas, berusaha meredam tangisnya. Namun, bayangan kejadian itu menghantamnya tanpa ampun. Rasa takut menguar dalam setiap hembusan napasnya, dan air matanya jatuh sebelum sempat ia cegah.
"T-tidak ada yang perlu kita bicarakan, Kak. J-jika kau ingin aku menghindar, maka aku akan melakukannya," suaranya bergetar, parau dan penuh ketakutan.
Keynan mengatupkan rahangnya. Rasa bersalah semakin menyesakkan dadanya. Tanpa berpikir panjang, ia menarik selimut Axeline, menyingkirkannya begitu saja.
Axeline terkejut. Tubuhnya otomatis meringkuk, kedua lengannya memeluk diri sendiri, seolah ingin menghilang.
Keynan mengusap wajahnya dengan kasar, lalu duduk di sisi tempat tidur. "Aku minta maaf, Lin," ucapnya lirih, penuh penyesalan. "Aku mengaku salah. Tapi, semua itu di luar kendaliku." Tangannya terulur, meraih jemari Axeline yang dingin dan gemetar, berusaha membantunya untuk bangun.
"Aku tahu kesalahanku tidak bisa termaafkan. Tapi ... tapi aku tidak bisa bertanggung jawab, Lin. Maaf."
Deg.
Hati Axeline mencelos. Pandangannya mengabur karena air mata yang tidak henti mengalir. Kata-kata Keynan terasa seperti batu besar yang menghancurkan sisa kekuatan yang ia miliki.
"Kau harus ingat, Lin. Kita saudara. Kita tidak mungkin menikah. Jadi, aku mohon kau mengerti." Suara Keynan terdengar berat, seolah setiap kata yang keluar dari mulutnya menusuk dirinya sendiri. Dengan tangan gemetar, dia merogoh saku, mengeluarkan sesuatu, lalu menyerahkannya pada Axeline.
"Aku benar-benar minta maaf. Aku harap kau tidak membenciku." Setelah mengatakan itu, Keynan berbalik dan melangkah keluar, meninggalkan Axeline yang hanya bisa terisak dalam diam.
Namun, dia tidak benar-benar pergi. Begitu pintu tertutup, Keynan menyandarkan punggungnya di sana, mendengar suara tangis Axeline yang makin lirih namun menyayat hati.
Tangannya mengepal erat, jemarinya mencengkeram hingga buku-buku jarinya memutih.
"Maaf, Lin. Tapi aku tidak ingin kau mendapat ujaran kebencian dari orang-orang saat mereka tahu apa yang terjadi pada kita. Aku tidak yakin, kau akan kuat menghadapi mereka. Jadi, lebih baik biarkan semua seperti ini," batinnya, menahan napas yang terasa semakin berat.
Keynan menutup matanya, merasakan perih yang menghantam dadanya tanpa ampun. Namun, seperti sebelumnya, dia hanya bisa menahan semuanya dalam diam.
...****************...